Saya terganggu dengan istilah "mengolah simpati". Istilah ini muncul sesaat setelah Donald Trump ditembak oleh Thomas Matthew Crooks. Diberitakan, pelaku seorang penyendiri karena sering dirundung teman-temannya. Itulah sebabnya, ada pengamat politik yang mengatakan bahwa bisa jadi pelaku adalah lone wolf, istilah yang dipakai untuk menunjuk teroris yang bertindak sendirian.
Mengapa saya terganggu? Kata 'mengolah' di sini dipakai untuk memanipulasi perasaan calon pemilih agar mantap memilih Trump (bagi fans-nya), meyakinkan swing voters, dan mengalihkan mereka yang anti Trump. Jika ini benar, maka survei pasca penembakan akan bicara. Tentu saja bukan lembaga survei bayaran yang do anything untuk memenangkan jagoannya, apalagi lembaga survei abal-abal.
Istilah 'mengolah' yang dipakai di sini memiliki tendensi bahwa timses melakukan berbagai upaya --termasuk playing victim-- agar orang yang didukung mereka menang. Bukankah korban selalu mendapatkan simpati publik, kecuali belakangan jadi antipati saat ketahuan berbohong? Dengan demikian, calon pemilih diarahkan atau dialihkan pilihannya bukan karena faktor-faktor penting.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya terbantu dengan penelitian yang dilakukan oleh W. Meliala, S.E, M.Si dari STIE Ottow Geisler Serui. Dalam tulisannya yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Penerapan Strategi Bertahan dan Menyerang untuk Memenangkan Persaingan yang dimuat di Jurnal Citizen Education, Vol.2, No. 2, Juli 2020, Meliala menyimpulkan:
Pertama, sebaik apa pun kandidat mempersiapkan berbagai sumber daya dan dana yang besar untuk merebut pangsa pasar pemilih yang ada, tidak akan pernah berhasil dengan baik apabila tidak ditopang dengan perencanaan yang matang dan strategi yang tepat untuk memenangkan persaingan.
Kedua, kandidat yang bijak adalah kandidat yang selalu tanggap dan peka terhadap berbagai perubahan peta politik dalam suatu negara.
Ketiga, kunci sukses seorang kandidat terletak pada loyalitas pengikutnya, oleh karenanya seorang kandidat harus mengenal secara lebih dekat pengikutnya, apa yang menjadi impian dan harapan-harapannya di masa depan.
Kiranya, hasil penelitian Meliala ini bisa dijadikan salah satu pedoman kunci bagi para kontestan pilpres, atau pilkada yang sebentar lagi berlangsung di Indonesia. Dengan demikian, kita bisa memilih mereka dengan akal sehat dan penilaian yang baik benar, bukan karena dipengaruhi oleh permainan (baca = manipulasi) emosi.
Blusukan sejati merupakan bentuk "turba" yang baik agar calon pejabat bisa belanja masalah dari akar rumput. Tentu saja blusukan itu perlu ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Blusukan pencitraan, sebaliknya, dilakukan oleh calon pejabat yang hanya ingin menang. Setelah menang, jangankan blusukan, untuk datang ke wilayah yang dulu rajin dikunjungi karena jumlah pemilih yang signifikan saja enggan, bahkan sampai akhir jabatannya.
Voter fraud bukan hanya mengkadali manusia, melainkan juga menipu Tuhan. "Senin sampai Sabtu, dia menipu umat, sedangkan hari Minggu dia menipu Tuhan," ujar seseorang kepada pejabat beragama Nasrani yang dianggap tidak punya iman dan integritas. Lebih parah lagi, legitimasi kemenangannya dipertanyakan.
Tidak lama setelah tragedi penembakan itu, saya mendapat email yang berbunyi: I am Donald J. Trump, and I will NEVER SURRENDER! I will always love you for supporting me. Unity. Peace. Make America Great Again. Email ini disertai foto Donald Trump mengepalkan tinjunya ke atas dengan wajah masih berdarah. Apakah yang ini pun manipulasi? Saya tidak punya kapasitas untuk menilainya, apalagi menghakimi. Bagi saya, yang bukan pakar pemilu, manipulasi pemilih haram hukumnya.
"We have a president who stole the presidency through family ties, arrogance and intimidation, employing Republican operatives to exercise the tactics of voter fraud by disenfranchising thousands of blacks, elderly Jews and other minorities," ujar Barbra Streisand.
"Pretending that voter fraud does not exist puts the integrity of our voting process at risk," tambah Mercedes Schlapp
Apakah Anda setuju dengan pernyataan Barbra dan Mercedes? Jika jawaban Anda 'Ya', marilah kita jaga pilkada November mendatang agar bebas dari cawe-cawe dari pihak mana pun yang menghalalkan berbagai cara untuk memenangkan jagoannya.
Xavier Quentin Pranata kolumnis
(mmu/mmu)