Kolom

Kecerdasan Diksi Pelaku Korupsi

Ahmad Khoironi Arianto - detikNews
Senin, 15 Jul 2024 16:00 WIB
Jakarta -
Apakah masih ingat dengan Sandi Semafor? Melalui bendera semafor itu, kita dapat mengirimkan pesan kepada orang lain tanpa dapat diketahui oleh publik. Ada pula Sandi Morse yang menggunakan kombinasi titik dan garis untuk melambangkan huruf atau angka. Setiap sandi memiliki keragaman bentuk agar tidak mudah dikenali.

Pada konteks sosiokultural, masyarakat Malang tempo dulu telah menggunakan sandi berupa bahasa walikan. Secara umum, bahasa diucapkan secara terbalik untuk mengecoh pendengar lain. Kata arek malang akan berubah menjadi kera ngalam, kata sekolah menjadi halokes, dan kata makan menjadi nakam.

Di Yogyakarta, bahasa walikan juga digunakan hingga kini oleh sebagian anak muda. Bahasa walikan khas Yogya ini memiliki pakem yang berasal dari aksara Jawa. Aksara di baris pertama (ha, na, ca, ra, ka) menjadi aksara di baris ketiga (pa, dha, ja, ya, nya), aksara di baris kedua (da, ta, sa, wa, la) menjadi aksara di baris keempat (ma, ga, ba, tha, nga). Kata 'mas' yang berasal dari aksara ma dan sa diubah menjadi da dan ba sehingga penyebutan 'mas' menjadi dab.

Lain halnya bahasa Betawi yang memberi sisipan dalam kosakata asli. Bahasa ini biasanya memberi sisipan -ok- setelah suku pertama dan membalik kata pada suku kedua, seperti 'bapak' yang melalui perubahan b + ok + kap sehingga menjadi bokap, 'gila' berubah menjadi g + ok + il, dan 'rumah' menjadi r + ok + um.

Sandi Korupsi

Penggunaan bahasa rahasia itu memiliki tujuan utama, yaitu untuk merahasiakan komunikasi, baik komunikasi biasa dalam konteks bersosial hingga komunikasi penting dalam konteks militer. Komunikasi rahasia juga kerap digunakan oleh pelaku korupsi untuk menyamarkan interaksinya. Para pelaku korupsi menciptakan kode agar timbul bias makna jika tertangkap.

Klasifikasi kode tersebut dapat berupa kode jumlah uang, seperti ton (miliar), kuintal (ratusan juta), dan kilogram (juta); kode tempat pertemuan, seperti pengajian dan liqo (pertemuan); kode sapaan, seperti kiai (anggota DPR), ustaz (pejabat Kemenag), dan pesantren (partai politik); kode jenis mata uang, seperti apel Malang (Rupiah) dan apel Washington (Dolar AS); dan kode partai politik, seperti merah digantikan dengan McGuires (PDIP), biru digantikan dengan vodka (Partai Demokrat), dan kuning digantikan dengan Chivas Regal (Partai Golkar).

Pemilihan diksi tersebut menunjukkan adanya kecerdasan berpikir pelaku korupsi dalam pemilihan kosakata. Bahasa rahasia tidak hanya berasal dari kosakata harian, tetapi juga kerap berasal dari kosakata bahasa asing yang tidak dipahami publik. Tujuannya jelas, untuk menyamarkan komunikasi. Contoh kasus suap dan gratifikasi Wali Kota Bekasi Rahmat Efendi yang menggunakan kode 'sumbangan masjid' untuk mengaburkan pemahaman orang lain tentang makna sesungguhnya dan pelaku dapat berkilah bahwa uang tersebut memang untuk diberikan ke masjid.

Pembuat sandi rahasia --apapun kepentingannya-- adalah orang yang cerdas. Mereka membuat 'bahasa baru' yang mudah dimengerti kawan, tetapi rumit bagi lawan. Menurut data Litbang Kompas berdasarkan data KPK dari 121 kasus dan 117 kepala daerah, pelaku korupsi memiliki latar belakang sarjana 50 orang (42,6 persen), magister 49 orang (41,9 persen), doktor sejumlah 14 orang (12 persen), SMA 2 orang (1,7 persen), dan Akabri dan Akmil masing-masing 1 orang (0,9 persen). Data tersebut membuktikan pelaku korupsi berasal dari golongan terpelajar.

Penyamaran dan Background Knowledge


Menyitat buku Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi, para koruptor menciptakan sandi korupsi karena mereka sadar setiap gerak-geriknya diawasi. Syarat utama keberterimaan sandi tersebut ialah adanya kesepakatan dan kesepahaman antarpenutur komunikasi. Makin samar kode korupsi, makin disepakati dan makin menunjukkan kerumitan pesan korupsi. Makin rumit kodenya, makin menunjukkan kepiawaian pelaku korupsi.

Kasus korupsi Bupati Labuhanbatu, misalnya, yang menggunakan kombinasi angka dan huruf untuk menyamarkan siapa yang akan menerima proyek. Bahkan, Wakil Ketua KPK saat itu Saut Situmorang menyampaikan bahwa kalau sampai (percakapan) jatuh ke orang lain maka yang lain tidak akan mengerti (maksud percakapan).

Kreativitas pelaku korupsi dalam menciptakan sandi juga dilatarbelakangi oleh background knowledge penutur. Mereka cenderung menggunakan istilah yang dekat dengan lingkungan mereka. Penutur dari kalangan religius, misalnya, kerap menggunakan istilah agama seperti juz, kiai, ustaz, dan pesantren serta penggunaan bahasa Arab seperti liqo (pertemuan). Adapula dari kalangan sarjana yang menggunakan istilah akademis seperti ujian, disertasi, halaman, lembar, dan bab.

Tidak menutup kemungkinan dalam perkembangan dunia digital saat ini juga dimanfaatkan oleh sebagian oknum untuk memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) untuk melakukan korupsi. Mereka akan semakin cerdas mengupas AI untuk kepentingan mereka dan beradu strategi dengan penegak hukum. Oleh karena itu, pemerintah perlu menguatkan lembaga penegak hukum, khususnya lembaga yang menangani korupsi.

Ahmad Khoironi Arianto Widyabasa Ahli Muda Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek



(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork