Kolom

Vokasi, Insentif Super, dan Chilean Paradox

Octavianus Somalinggi - detikNews
Jumat, 12 Jul 2024 14:06 WIB
Jakarta -

Direktoral Jenderal Pajak (DJP) mempunyai insentif super. Insentif ini sanggup memberikan potongan berkali lipat dari insentif pajak lainnya. Namanya Supertax Deduction. Insentif ini terkait dengan kegiatan vokasi. Vokasi berupa pendidikan dan pelatihan kerja dengan tujuan menguasai kompetensi tertentu yang menghasilkan tenaga kerja siap pakai untuk swasta atau industri.

Kenapa harus vokasi? Harus kita sadari Indonesia masih krisis sumber daya manusia (SDM). Universitas juga harusnya adalah tempat riset bukan pencetak tenaga kerja. Jepang, Korea Selatan, dan Singapura adalah contoh negara memiliki sedikit sumber daya alam namun berhasil mencapai tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi melalui investasi besar-besaran dalam pendidikan dan pengembangan SDM.

DJP sebagai bagian dari negara sadar bahwa pendidikan adalah kebutuhan negara; sudah selayaknya negara berperan dalam pembiayaannya. Namun, di sisi lain kita tidak bisa melepaskan tanggung jawab itu hanya kepada pemerintah saja. Pemerintah dan masyarakat harusnya bergotong royong. Oleh karena itu, dalam hal ini pemerintah bersimbiosis dengan sektor swasta dan industri.

Gotong royong pun terjadi antara perusahaan dan mitra vokasi dalam hal ini Sekolah Menengah Kejuruan, Madrasah Aliyah Kejuruan, Perguruan Tinggi, Program Diploma hingga Balai Latihan Kerja. Semua pihak akan sama-sama diuntungkan. Pemerintah dalam hal ini mencapai tujuan filosofis yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sisi lain, perusahaan mendapatkan tenaga kerja yang kompeten di bidangnya dan tentunya mendapatkan insentif berupa pengurangan penghasilan bruto.

Kegiatan vokasi ini diawali dengan perjanjian kerja sama perusahaan dengan mitra vokasi terkait dengan kompetensi yang akan dikembangkan dan perkiraan biayanya. Biaya tadi nantinya dapat menjadi pengurang penghasilan bruto untuk menghitung pajak pada akhir tahun. Tidak tanggung-tanggung, pengurangan penghasilan brutonya pun dapat mencapai 200%. Hal ini diatur dalam PMK Nomor 128/PMK.010/2019.

Contoh gampangnya, PT Terbang mengeluarkan biaya terkait pembelajaran atau praktik kerja senilai 500 juta rupiah maka biaya yang dapat diklaim untuk mengurangi penghasilan brutonya adalah maksimal 200% dari 500 juta rupiah tadi yakni senilai satu miliar rupiah. Berlipat ganda bukan? Biaya-biaya terkait kegiatan vokasi tersebut antara lain biaya penyediaan fasilitas fisik khusus, honorarium kepada pengajar dan peserta, biaya sertifikasi kompetensi. Tentunya biaya-biaya tersebut perlu didokumentasi dengan baik oleh perusahaan dan dilaporkan kepada DJP.

Chilean Paradox

Pertumbuhan Indonesia ditopang oleh konsumsi dan daya beli. Jika produktivitas meningkat, maka pendapatan akan meningkat. Meningkatnya pendapatan akan meningkatkan daya beli. Sebaliknya, jika pendapatan menurun, maka daya beli akan berkurang. Jika daya beli kelas menengah yang semakin menurun tidak diimbangi dengan fasilitas yang layak, misalnya pendidikan murah, maka dalam jangka panjang dampaknya adalah Chilean Paradox.

Menurut data Bank Dunia 2016, berdasarkan pendekatan pengeluaran, dari total masyarakat Indonesia sebesar 261 juta jiwa, hampir separuhnya sebesar 115 juta jiwa adalah kelas menengah dan calon kelas menengah. Jumlah ini adalah akumulasi dari 53,6 juta jiwa (20,5 persen) masyarakat Indonesia yang masuk kelompok kelas menengah dan 61,6 juta jiwa (23,6 persen) masyarakat yang masuk kelompok calon kelas menengah. Jika tidak mendapat treatment dengan bijak, maka kelompok-kelompok ini akan berpotensi menjadi kelas miskin.

Chilean Paradox muncul karena kelas menengah yang selama ini rutin membayar pajak tetapi tidak mendapatkan subsidi atau bantuan sosial dari pemerintah kemudian menghadapi kenaikan biaya pendidikan, kenaikan biaya cicilan karena rupiah melemah, namun di sisi lain tidak mendapatkan fasilitas yang memadai. Oleh karena itu daya beli perlu ditingkatkan dengan cara memperbanyak pemasukan dari kompetensi yang dimiliki.

Untuk meningkatkan kompetensi, diperlukan investasi dalam kegiatan vokasi. Laporan OECD (2015) berjudul In It Together: Why Less Inequality Benefits All membahas bagaimana peningkatan produktivitas dapat mengurangi kesenjangan pendapatan jika didukung oleh kebijakan yang tepat. Laporan ini menekankan pentingnya investasi dalam pendidikan, pelatihan, dan kebijakan tenaga kerja yang inklusif.

Kebijakan pajak adaptif melihat perkembangan dunia kerja dan pendidikan. Total kompetensi yang dikembangkan dalam program Supertax Deduction berjumlah 453 kompetensi. Di antaranya kompetensi di sektor manufaktur, kesehatan, agribisnis, pariwisata, industri kreatif, dan ekonomi digital. Dalam jangka panjang tentunya pengembangan kompetensi dengan kegiatan vokasi akan meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya meningkatkan daya beli masyarakat termasuk kelas menengah sehingga akan mengurangi kemungkinan terjadinya Chilean Paradox di Indonesia.

Oleh karena itu kegiatan vokasi harus didukung dengan cara pemberian insentif agar semakin banyak perusahaan yang tergerak untuk memanfaatkannya. Pada masa sekarang, untuk memperoleh pekerjaan, ijazah pendidikan formal kurang relevan lagi. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang responsif terhadap perubahan dunia kerja. Perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang spesifik sesuai dengan bidang kerja yang ditawarkan.

Ketika produktivitas meningkat, perusahaan dapat menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dengan biaya yang lebih rendah. Dengan pendapatan yang lebih tinggi, perusahaan juga dapat membayar gaji yang lebih tinggi kepada pekerja mereka. Ketika pendapatan pekerja meningkat, daya beli mereka juga meningkat. Mereka dapat membeli lebih banyak barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, insentif pajak dalam investasi pendidikan mutlak diperlukan.

Octavianus Somalinggi penyuluh pajak KPP Pratama Jakarta Cengkareng




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork