Membaca Peluang PDIP di Pilgub Jateng
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membaca Peluang PDIP di Pilgub Jateng

Selasa, 02 Jul 2024 11:10 WIB
Ganda Febri Kurniawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi PDI Perjuangan kalah dalam pilkada di beberapa daerah
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta -

Panggung perpolitikan nasional kembali memunculkan spekulasi setelah PDIP tidak mampu memenangkan calon presiden yang diusungnya. Mereka hanya mampu memenangkan pileg, dengan akumulasi suara terbanyak yaitu 25.387.279 dari total 84 daerah pemilihan. Itu artinya, selama lima tahun ke depan peta politik nasional akan sangat dinamis; PDIP tidak lagi memegang kekuasaan eksekutif dan akan berada di luar kekuasaan.

Beberapa kader Banteng bahkan telah mendeklarasikan diri bahwa mereka siap menjadi kontrol bagi kekuasaan yang akan berjalan. Ini tentu saja kabar yang kurang nyaman bagi presiden terpilih yaitu Prabowo Subianto, yang partainya sendiri (Gerindra) hanya berada di posisi ketiga dalam pileg. Prabowo dalam pidato-pidatonya membayangkan kekuasaan yang solid dengan dukungan semua partai besar, namun tampaknya jalan politik PDIP menolak ditundukkan dengan mudah.

Setelah pilpres, medan laga berikutnya yang menentukan yaitu pilgub (pemilihan gubernur). Indonesia memiliki tradisi yang unik bahwa Presiden terpilih biasanya akan menghegemoni kekuasaan daerah, yang artinya presiden juga akan ikut campur dalam proses pemilihan itu untuk menyangga kekuasaannya semakin kokoh dan tersentral. Presiden tidak ingin ada daerah yang tidak bisa dikendalikan, untuk itu 'penyeragaman visi' diperlukan dalam upaya mempercepat hilirisasi kebijakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melihat kondisi itu, saya menduga PDIP tidak akan tinggal diam. Jawa Tengah (Jateng) yang dikenal sebagai 'kandang Banteng' akan menjadi arena yang menarik untuk diamati. Dalam tiga kali pilpres, akhirnya kader Banteng ditumbangkan di kandangnya sendiri. Untuk itu, pilgub akan menjadi ajang pembuktian berikutnya bagi PDIP, apakah Jateng masih menjadi kandang mereka atau bukan.

Membaca Sisa Kekuatan PDIP

ADVERTISEMENT

Dominasi PDIP di Jateng masih terasa setidaknya hingga sebelum periode ini berakhir. Menurut data BPS 2024, di DPRD Provinsi, PDIP masih memiliki 42 kursi dari 119 kursi. Kader mereka adalah yang terbanyak dari segi tingkat pendidikan S1 dibanding partai lain, dan 11 di antaranya adalah perempuan. Mereka memiliki kader muda di DPRD, 14 orang, dan sisanya adalah kader senior yang berpengaruh.

Meskipun suara nasional PDIP dalam Pileg 2024 adalah yang terbanyak, namun perolehan kursi untuk DPRD Jateng justru menyusut, dari 42 menurun menjadi 32. Ini merupakan sinyalemen yang tidak bagu, bahwa dalam tradisi politik Indonesia, suara pileg biasanya mencerminkan pengaruh kader di akar rumput, karena dalam pileg sangat jarang mengandalkan kekuatan populisme, berbeda dengan pilpres dan pilgub.

Jika mengacu hasil Pilpres 2024, suara paslon yang didukung PDIP, yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sangat di luar ekspektasi, bahkan ramai di media nasional sindiran bahwa "Jateng kandang Banteng hanyalah mitos", yang membuat kader Banteng semakin 'menyala' dan sangat ambisius untuk memenangkan pertarungan di Jateng.

Namun demikian, saya membaca PDIP memiliki masalah serius dalam tubuh kepartaiannya yang berdampak langsung kepada hubungan mereka dengan akar rumput pasca keberpihakan Presiden Jokowi kepada Prabowo. Selama ini, Jokowi dianggap sebagai simbol kebangkitan PDIP pasca menjadi oposisi selama rezim SBY, sehingga efek Jokowi begitu terasa, begitu juga ketika ia tidak lagi berada di pihak PDIP. Meskipun, sebenarnya di dalam tubuh partai masih sangat terasa nuansa pro dan kontra terkait hal ini, yaitu beda persepsi antara kubu Puan dan kubu Hasto.

Kubu Puan bersikap lunak pada Jokowi, sedangkan kubu Hasto keras terhadap Jokowi dan rezimnya. Kondisi ini melahirkan dinamika baru dalam politik Indonesia yang akan berdampak langsung pada pilgub mendatang. Di Jateng sendiri, kubu Puan lebih dominan, selain Jateng menjadi provinsi asal Jokowi, wilayah ini, khususnya di Solo Raya, kental dengan pengaruh Sukarnoisme melalui tokoh-tokoh utama PDIP, seperti Puan Maharani, Bambang Pacul, dan Aria Bima. Sehingga memisahkan Jokowi dengan partai bisa berdampak pengulangan suasana pilpres dalam arena pilgub. Apabila yang menggerakkan roda politik PDIP nanti adalah mereka, bisa diprediksi kondisi PDIP akan melunak terhadap kandidat yang diusung oleh 'Jakarta'.

Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini, PDIP masih memiliki tokoh yang dapat mendongkrak suara pemilih, yaitu Ganjar Pranowo. Bekas Gubernur Jawa Tengah dua periode ini masih memiliki pengaruh di lingkungan kader maupun di masyarakat. Keterlibatannya di pilgub sebagai 'jenderal lapangan' akan menambah kekuatan PDIP secara langsung maupun tidak langsung, serta menjadi bagian dari kelompok Hasto yang akan memberi warna dalam pemilihan nanti dengan suara-suara khas oposisi yang diwacanakan.

Oposisi yang Mencari Bentuk

Sepanjang sejarah Indonesia, akan sangat sulit mendefinisikan istilah 'oposisi' karena kita menganut presidensialisme yang cenderung tersentralisasi secara politik. Maksudnya, setiap kekuatan pemenang akan berupaya menarik semua kekuatan di luarnya untuk masuk ke dalam struktur pemerintahan, membentuk rezim, sehingga presiden akan punya legitimasi yang tak mudah goyah.

Sistem ini secara otomatis telah menghapus diksi 'oposan/oposisi' dalam politik Indonesia, karena dengan situasi yang demikian, oposisi tidak mungkin akan kuat dan bertahan lama. Ada kecenderungan untuk 'menghabisi' oposisi dengan cara mengecilkan peranan dan kiprah, menjauhkan mereka dengan saluran-saluran kekuasaan, bahkan menutup akses.

Ini yang nantinya bisa terjadi kepada PDIP, bagaimana kekuasaan Prabowo akan mendiskreditkan dan 'membonsai' partai ini dengan berbagai metode, salah satunya membunuh langkah mereka dalam pilkada. Kekalahan PDIP di daerah adalah harga yang harus ditebus untuk menciptakan rezim yang kokoh tanpa oposan yang berwibawa.
Meskipun telah berpengalaman dalam menjadi oposisi, PDIP tetap memiliki pekerjaan rumah yang berat untuk membentuk struktur Oposan yang tangguh.

Sekarang adalah era transisi, di mana kader-kader PDI-P yang pernah mengalami menjadi oposan kini telah berusia lanjut, dan sedang dalam fase penyerahan tongkat estafet ke kader-kader muda.Membentuk kader muda yang ideologis dan 'keras' dalam mengkritik di situasi sekarang cukup sulit di tengah pragmatisme yang begitu kuat. Bukan cerita baru, seorang kader muda suatu partai berpindah partai hanya karena posisinya dinilai tidak menguntungkan. Di sinilah PDIP patut waspada, membentuk ciri khas oposisi yang punya karakter, yang siap berada di luar ataupun di dalam kekuasaan dengan ideologi yang jelas.

Pada situasi demikian, sekolah partai menjadi sangat penting sebagai pendidikan ideologi kepartaian, dan mampukah PDI-P memaksimalkan peran Megawati Institute untuk membentengi dan 'membantengkan' kader-kader mudanya, masih menjadi tanda tanya besar.

Pertaruhan Terakhir di Jateng

Kekalahan PDIP di Jawa Tengah akan berefek domino bagi eksistensi mereka di daerah-daerah. Operasi intelijen untuk menundukkan partai penguasa ini tentu saja akan dilakukan demi menjaga dan mempertahankan dominasi 'Jakarta'. Kekuasaan yang ultra-sentralistik tampaknya akan menjadi ciri khas rezim baru nantinya; hal ini bukan saja menjadi ancaman bagi siapa saja yang berupaya menjauh bahkan memusuhi kekuasaan seperti PDIP.

Media massa sudah banyak mengupas calon-calon potensial pengganti Ganjar Pranowo di Jawa Tengah. Di antaranya Taj Yasin Maimoen (PPP), Sudayono (Gerindra), Dico Ganinduto (Golkar), Yusuf Chudlori (PKB), Ahmad Lutfi (saat ini Kapolda Jateng), dan Hendrar Prihadi (PDIP). Semua tokoh yang telah disebutkan memiliki andil dalam perpolitikan di Jateng, nama-nama baru yang muncul menunjukkan dinamika yang berlangsung akan semakin seru.

Dari sekian banyak tokoh yang muncul itu, Hendrar Prihadi atau Hendi menjadi harapan besar bagi PDIP. Ia adalah bekas Wali Kota Semarang dua periode yang kini menjabat sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), lembaga setingkat menteri di bawah presiden. Ia digadang-gadang menjadi suksesor Ganjar, dan suara kader akar rumput nampaknya telah terkonsolidasi kepadanya.

Jika dinilai dari rekam jejak, Hendrar Prihadi patut diperhitungkan oleh calon lawan-lawannya. Ia dinilai berhasil mengawal pembangunan Kota Semarang menjadi semakin modern dan menarik banyak investor. Ia secara heroik mampu mengkonsolidasi akar rumput untuk memenangkan pilwalkot periode pertama secara 'tanpa keringat' -- memperoleh suara 716.693 suara atau 91,4 persen.

Meskipun begitu, ada satu faktor yang dapat mengubah keadaan, yaitu Jokowi. Semua pihak sedang menanti 'titah sang raja' dalam kontestasi politik di Jateng; biasanya titah ini terkait langsung dengan 'suksesor ideologis' yang diberi perintah untuk melanjutkan pekerjaan yang selama ini telah dirintis. Melihat keadaan pada pilpres, Jokowi efek begitu kuat terasa dan memberi bentuk pada karakterisasi Prabowo-Gibran sehingga mereka dapat unggul di Jateng.

Kali ini tentu saja berbeda. Kader-kader PDIP tampaknya lebih siap bertarung. Siapapun yang didukung Jokowi akan mereka lawan. Jateng adalah pertaruhan terakhir yang wajib dimenangkan untuk menjaga asa dan mencegah hegemoni 'Jakarta' meluas. Seperti yang dibayangkan Gramsci bahwa diperlukan perjuangan budaya dan ideologis oleh kelompok subaltern dapat menciptakan perlawanan, merombak struktur sosial, dan membendung hegemoni. Oleh sebab itu, langkah demi langkah perlu dihitung dengan cermat; apakah PDIP mampu melaksanakan tugas suci sebagai perwakilan subaltern ataukah mereka akan semakin jauh dari celah-celah kekuasaan.

Jawabannya kita peroleh akhir tahun ini.

Ganda Febri Kurniawan pengajar Sejarah Politik di FISIP UNNES

Simak juga Video: Cak Imin soal Duet Anies-Andika Perkasa di Pilgub Jakarta: PDIP Mau Nggak?

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads