Kolom

Penguatan Start-Up B2B

Muwalliha Syahdani - detikNews
Senin, 24 Jun 2024 13:26 WIB
Ilustrasi: Shutterstock
Jakarta -

Perkembangan ekonomi suatu negara ditentukan terutama oleh perkembangan industrinya. Industri adalah ciri utama peradaban modern dari negara berkembang menjadi negara maju. Daftar negara maju di dunia seperti China, Amerika Serikat, Singapura, dan Jerman semuanya adalah negara industri dengan spesialisasi mereka masing-masing. Indonesia harus mengalami industrialisasi yang lebih masif dan keluar dari "UMKM Trap" yang selama ini membayanginya.

Hal yang dapat dilakukan untuk menjawab tantangan ini adalah penguatan sektor start-up business to business (B2B) bagi rantai nilai manufaktur besar di Indonesia. Kehadiran start-up B2B bisa mengisi kekosongan digitalisasi yang dialami oleh manufaktur besar. Mulai dari proses rekrutmen dengan bantuan aplikasi HR dan manajemen sumber daya dengan Enterprise Resource Planning (ERP), proses produksi dengan bantuan AI dan robot (yang tentunya bisa disediakan oleh start-up), hingga distribusi dan marketing dengan cara-cara yang lebih modern.

Masih Didominasi UKM

Sejauh ini landscape ekonomi Indonesia masih didominasi oleh Usaha Kecil dan Mikro (UKM). Tidak ada yang salah dengan dominasi ekonomi tersebut dikarenakan dominasi UKM terbukti cukup resilience ketika krisis ekonomi pada 2008 dan pandemi Covid-19. Namun, Indonesia tetap harus mengalami paradigm shift demi berjalannya industrialisasi yang menjadi prasyarat bagi negara maju.

Penguatan start-up B2B diperlukan sebagai pusat ide (knowledge center) dalam partisipasi Indonesia di rantai nilai global (global value chain). Apalagi, Indonesia termasuk ke dalam pusat pengembangan start-up di ASEAN dan nomor 6 di dunia dengan perusahaan start-up di negara ini mencapai 2.483 ((IndonesiaBaik, 2024; Katadata, 2023).

Pengembangan start-up juga menjadi satu keniscayaan Indonesia meraih predikat negara maju di tengah ketidakpastian global dan struktur ekonomi internasional yang terus berubah. Hal ini akan menjadikan Indonesia mengalami satu kondisi leapfrog --melompat seperti katak-- untuk melompat jauh ke depan menjadi negara maju.

Alih-alih membangun satu ekosistem manufaktur yang besar --tentunya memerlukan modal tidak sedikit-- Indonesia bisa menikmati modal pembangunan dari proses seedings ketika dimulainya start-up. Hal ini disesuaikan dengan struktur ekonomi Indonesia yang dijelaskan sebelumnya yaitu UKM dan 'rumah' bagi start-up. Adapun di satu sisi tetap mengoptimalkan pengembangan industrinya.

Masuknya start-up ke rantai nilai industri dengan kata lain meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses produksi. Ini yang disebut oleh Dr. Riza Noer Arfani (alm.) sebagai Just In Time (JIT). Just In Time adalah strategi manajemen yang dikembangkan oleh manufaktur besar untuk menyelaraskan pemesanan bahan baku dengan stok barang. Strategi JIT diterapkan oleh manufaktur di Jepang seperti Toyota.

Manufaktur harus bisa memperkirakan kapan waktu yang tepat untuk produksi sehingga dapat mengurangi biaya inventarisasi --dengan kata lain lebih efisien. Perusahaan start-up bisa masuk ke ceruk (niche) seperti ini untuk membantu manufaktur besar dalam digitalisasi proses operasional mereka.

Selain modal besar untuk membuat ekosistem manufaktur, tantangan lain yang dirasakan oleh manufaktur besar adalah mahalnya biaya digitalisasi. Proses transformasi digital setidaknya terjadi dalam tiga tahap. Pertama, digitizing atau proses transisi dari data analog ke data digital. Kedua, digitalization, di mana proses perubahan data tersebut terjadi lebih rumit dengan kombinasi sistem. Ketiga, transformasi digital, di mana sistem-sistem yang sudah dibuat saling terintegrasi ke dalam satu cloud bagi perusahaan.

Proses tersebut selain memerlukan modal infrastruktur juga modal konsultasi. Di sinilah start-up melakukan bypass jalan menuju digitalisasi secara penuh atau transformasi digital. Indonesia bisa mencontoh negara lain dengan model bisnis B2B yangs sudah matang. China, Amerika, Singapura, dan Jerman sudah mengoptimalkan manufaktur mereka dan menjadi negara industrialis yang maju. Start-up B2B di negara tersebut sudah mendapatkan valuasi hingga $100 pada 2023 (Applico, 2023).

Start-up B2B di keempat negara tersebut memiliki spesialisasinya masing-masing, mulai dari loka pasar (e-commerce), penyediaan perangkat keras, manajemen sumber daya perusahaan/Enterprise Resource Planning hingga pembuatan prototip dan CNC.

Sudah Memiliki Program

Lewat Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sebenarnya Indonesia sudah memiliki program Startup4Industry. Program ini menyasar kepada perusahaan rintisan berjenis IKM (Industri Kecil dan Menengah) dan Aneka. Kemenperin bertindak sebagai fasilitator dalam mempertemukan investor dan pembeli B2B yang cocok dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Program ini juga bisa memantik pengembangan ide dan pembiayaan proyek implementasi hingga 800 juta.

Selain itu, start-up yang sudah mengikuti kompetisi akan menerima manfaat bergabung ke dalam ekosistem Startup4Industry yang terdiri dari pemerintah, bisnis, dan start-up lainnya (Triple Helix Model). Melihat urgensi yang dimiliki Indonesia untuk mengejar ketertinggalan, pemerintah bisa melakukan patchwork ke arah pengembangan teknologi. Pemerintah perlu mengoptimalkan ekosistem start-up B2B yang sudah ada menjadi lebih responsif.

Pengembangan start-up khususnya di sektor B2B bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus: mengejar ketertinggalan Indonesia menjadi negara maju dan membantu manufaktur besar untuk melakukan proses digitalisasi.

Muwalliha Syahdani mahasiswa S2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork