Bayangan orang kota mengenai kampung atau desa selalu ideal: pemandangan hijau, alami, segar, dan ritme hidup yang lambat, tenang, damai dan hal lain yang tak ditemukan di kehidupan kota besar. Seperti lini masa Instagram para influencer maupun selebgram yang memukau, yang mendorong follower-nya untuk segera pesan tiket ke lokasi.
Image soal warga desa tersebut dari ratusan atau ribuan tahun lalu nyaris tak berubah sampai detik ini. Mereka ramah, gampang akrab, murah senyum, helpful dan tak ada aura negatif. Mereka tak pernah terburu-buru, bekerja santai, asyik tidur siang, hidup sederhana, tapi bahagia.
Bahkan masih ada yang beranggapan orang kampung lebih menjunjung nilai-nilai moral dibanding materialisme. Tak heran, banyak warga teman-temanku di Facebook yang berkomentar, kamu enak ya tinggal di kampung; enak tinggal di kampung gaji Jakarta. Namun, benarkah seperti itu faktanya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengalami Langsung
Bayangan yang telah bertahun-tahun menghuni kepala banyak orang itu, langsung ambyar ketika saya mengalami langsung tinggal bersentuhan bersama mereka.
Tahun 2024 ini adalah tahun ketiga saya tinggal di kampung, kampung sendiri, sebuah desa di salah satu kecamatan di kabupaten Wonogiri, usai hengkang dari calon mantan ibu kota negara. Kampung yang telah mendesain diri saya dari lahir sampai seunyu ini. Meski akamsi (anak kampung sini), saya tetap mengalami gegar budaya, syok, dan lebih berpotensi stres dengan banyak peristiwa yang saya alami selama ini.
Salah satunya beberapa minggu lalu. Ada salah satu teman yang berencana berkunjung ke rumah saya habis maghrib. Seperti biasa, setiap ingin bertemu seseorang, saya mempersiapkan diri sebaik mungkin. Minimal akan mandi dan makan lebih cepat. Karena yang akan datang ini adalah teman lama saya, saya mempersiapkan segala sesuatunya lebih istimewa.
Namun setelah jam yang ditentukan lewat, dia tak pernah muncul sama sekali. Celakanya, dia juga tidak memberi kabar alasan ketidakdatangannya. Nomor hape-nya pun tidak bisa dihubungi, baik melalui Whatsapp, SMS maupun langsung telepon/videocall.
Ternyata kejadian itu bukan untuk pertama kalinya. Sampai hari ini saya telah menjadi korban janji palsu sebanyak 8 kali (ya, saya catat nama-namanya). Diam-diam saya trauma dan enggan untuk janjian lagi, takut peristiwa yang sama berulang. Celakanya, keterangan waktu yang dipakai di sini adalah ba'da waktu salat, tidak memakai jam 19:00 WIB atau jam 12:00 WIB. Sehingga tidak ada konsep tepat waktu di sini.
Tak Berlaku Antre
Di kampung, pusat perbelanjaan paling lengkap adalah pasar tradisional. Belanja di sini menyenangkan, harga pangan/makanan lokal memang murah-murah. Sementara untuk barang-barang produksi pabrik harganya lebih mahal dibanding di lapak-lapak online. Pasar buka hanya pada hari pasaran saja, yang ditentukan berdasarkan kalender Jawa. Seminggu hanya buka dua kali, Pon dan Legi.
Sehingga banyak (mayoritas ibu-ibu) yang pergi ke pasar untuk menyiapkan stok dua hari ke depan. Selain itu juga yang ramai adalah beragam makanan yang susah ditemukan di wilayah lain.
Pasar buka hanya sekitar tiga jam. Mulai jam 5 pagi sampai jam 8. Jam-jam itu terasa hectic! Para pedagang makanan diserbu pembeli.
Anehnya, di sini tak berlaku antre. Semua minta dilayani lebih dahulu. Sayangnya, si penjual juga tidak mengedukasi pelanggannya untuk tertib. Melihat kondisi yang chaos itu, saya spontan teriak-teriak, antre, antre....
Ada beberapa ibu yang berusaha tertib, langsung menempatkan diri membentuk barisan. Ada satu ibu yang nekat nyerobot, mengambil sendiri, membungkus, dan membayarnya sambil nyerocos menyampaikan alasan pembenaran perbuatannya.
Mereka memang belum mengenal belanja online. Padahal untuk barang-barang tertentu harganya lebih murah, dan kalau beruntung dapat diskon atau ongkir gratis. Kebanyakan mereka sebenarnya sudah mempunyai smart phone android. Tapi tampaknya belum dimaksimalkan penggunaannya.
Jangankan para ibu, anak-anak muda pun belum punya digital minded. Bahkan salah satu anak muda pernah satu kali meminta tolong saya untuk membelikan barang di lapak online. Kenapa tidak belanja sendiri, padahal handphone-nya canggih?
Mereka belum mampu menyelesaikan hal-hal mendasar ini. Sementara di luar perkembangan teknologi (informasi) begitu membahana. Mayoritas warga memanfaatkan smartphone-nya hanya untuk sekadar Whatsapp-an atau Tiktok-an atau main game yang bersifat hiburan. Sehingga banyak orangtua yang memberikan cap negatif ketika anak-anaknya "bermain hape".
Jadi, kalau di kampung santai saja jika menghubungi teman atau saudara melalui telepon tidak pernah diangkat, atau di-Whatsapp tidak merespons secara real time. Yang masih berlaku adalah mendatangi langsung ke rumah, tanpa memikirkan apakah orang yang didatangi punya waktu, sedang sibuk, tidur, atau bercinta. Dan, mereka tak merasa bersalah sama sekali.
Harus Dipikirkan Ulang
Glorifikasi kampung sebagai tempat ideal untuk menjalani kehidupan yang lambat (slow living) agar kewarasan tetap terjaga, lebih bisa memaknai hidup, dan lebih bahagia tampaknya harus dipikirkan ulang.
Banyak yang beranggapan hidup di kampung lebih sehat secara mental karena tak ada tekanan. Faktanya justru sebaliknya. Tekanan sosial di kampung lebih nyata dan langsung. Tidak menyapa tetangga yang lewat saja jadi bahan bisik-bisik yang berkepanjangan. Mengecat rambut warna-warni apalagi. Tidak ikut kerja bakti, bisa-bisa dikucilkan. Sebagai single happy, tidak menikah bisa dibilang aib. Segala macam hal buruk dipersepsikan oleh mereka yang belum terbuka mindset-nya.
Begitupun soal anggapan pengeluaran di kampung lebih rendah. Benarkah? Sama sekali tidak. Memang tidak ada kafe atau tempat hiburan, namun kerukunan sosial yang harus dilakukan jika tidak mau diasingkan. Selain iuran-iuran wajib seperti iuran RT, iuran PKK, iuran komunitas, ada banyak iuran yang sifatnya tak wajib tapi sebaiknya dilakukan agar tak diasingkan. Di antaranya bezoek orang sakit, melayat, ada yang membangun rumah, kelahiran, pengeluaran untuk acara adat desa, dan puncaknya hajatan yang biasanya dilakukan selama dua hari satu malam. Jika kebetulan bulan baik, sebulan bisa mendapatkan undangan 8 sampai 10.
Tekanan lain yang tak kalah menantang adalah soal kecepatan internet. Karena memang infrastrukturnya belum mendukung, warga kampung punya sedikit pilihan, tidak seperti di kota besar yang bebas memilih provider.
Selain itu keterbukaan terhadap hal yang baru masih rendah. Mayoritas warga enggan berubah, masih lebih suka mempertahankan kebiasaan lama. Beberapa kali ketika dikenalkan hal baru, jawaban mereka seragam: belum perlu, di kampung belum bisa jalan.
Dengan kondisi kehidupan seperti itu, alih-alih bisa menerapkan slow living, bisa jadi justru sebaliknya, hidup akan lebih rumit dibanding sebelumnya.
Karmin Winarta mantan pekerja media di Jakarta
Simak juga 'Harta Karun di Bawah Kampung Perikanan Budidaya':