Apakah "Sastra Masuk Kurikulum" ini benar-benar akan menjadi program yang membuat siswa/siswi merdeka ataukah justru sebaliknya, yaitu malah terbebani. Jangan-jangan bukan sastra yang masuk kurikulum, tetapi metode kaku kurikulum itulah yang memenjarakan sastra? Kita lihat bersama-sama nanti.
Berbagai tulisan kritik yang bermunculan di beberapa media online maupun cetak, dalam bentuk surat, opini, dan esai merespons kekeliruan yang ada di buku panduan yang diluncurkan di situs resmi dan dapat di-download secara bebas itu akhirnya mewarnai proses "Sastra Masuk Kurikulum", yang ternyata tidak melibatkan banyak pihak (terutama para sastrawan yang buku-bukunya dimasukkan tetapi tidak dihubungi secara langsung untuk dimintai persetujuan, seperti pengakuan Nirwan Dewanto dalam salah satu suratnya yang terbit di Majalah Tempo Digital).
Kritik juga masih berlangsung dan menyebar di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan Grup WhatsApp, baik dalam bentuk komentar-komentar atau opini singkat, kebanyakan fenomena itu berlangsung dalam "koridor" para penulis dan sastrawan yang notabene tidak terlibat dalam penyusunan buku panduan tersebut. Beberapa orang yang bukan penulis pun, yang kebetulan mengikuti berita dan memang gemar pada sastra ikut juga nimbrung di media sosial tersebut.
Tanggapan pun dibuat oleh salah satu kurator cum sastrawan yang "merasa" dituduh melakukan proyek "kanonisasi" sastra; ia menolak bahwa proyek penyusunan itu bukanlah upaya "kanonisasi" sastra. Umpan balik itu kembali mendapat respons yang berlawanan, juga dilancarkan oleh beberapa sastrawan cum kritikus sastra, menanggapi tanggapan salah satu kurator itu. Bahwa menurut mereka proyek tersebut tidak lain tidak bukan adalah bentuk kanonisasi sastra.
Dinamika itu terus berlangsung hingga kini, menyebabkan buku panduan itu di-take down dari situs resmi. Mungkin buku panduan itu tengah mengalami penyuntingan ulang dan revisi atas kesalahan yang menurut beberapa pengkritik bertebaran hampir di setiap halaman. Persoalan lain yang menjadi kontroversi adalah masuknya nama-nama para kurator seluruhnya, yang menyebabkan timbulnya tuduhan bahwa proyek penyusunan buku panduan itu bermasalah secara moral.
Melihat fenomena itu, terlihat bahwa dinamika sastra lebih "bergema" ketimbang dinamika di dunia pendidikan itu sendiri. Hampir tidak ada guru yang memang bukan penulis membuat tulisan yang sama mengenai "Sastra Masuk Kurikulum" tersebut. Artinya, hanya ada satu suara, yaitu "suara resmi" dari para sastrawan sendiri, baik yang di luar tim kurator maupun yang di dalam tim kurator.
Ke mana guru-guru itu? Tentu saja sibuk dengan tetek bengek lain yang sifatnya jauh dari sastra. Oleh karena itulah, mereka yang memang tidak biasa menulis tidak ikut menanggapi perihal ribut-ribut "Sastra Masuk Kurikulum" itu. Dengan kata lain, sastra yang masuk ke dunia pendidikan itu bisa jadi akan turut membuat para guru bertambah sibuk nantinya mengikuti bagaimana maunya kurikulum baru itu. Tentu saja, para siswa pun akan ikut dibingungkan dengan keadaan tersebut. Artinya, sastra tidak menjadi kemerdekaan belajar alih-alih malah menjadi "belenggu" baru bagi mereka.
Menambah Problem
Membaca dinamika dari dua dunia yang sejak awal telah dipisahkan ini (sastra dan pendidikan) menambah problem ke depannya. Memang di satu sisi adalah kabar baik, bahwa sastra bisa menjadi salah satu alternatif belajar para siswa, tetapi di sisi lain menjadi kabar yang kurang menyenangkan karena sistem yang masih jauh dari kata "merdeka" itu.
Pada salah satu wawancara, sastrawan Ahmad Tohari pernah menyatakan bahwa pendidikan zaman Belanda jauh lebih baik daripada pendidikan kita sekarang. Sebab, pada masa itu para murid diwajibkan membaca buku sastra yang jumlahnya dalam setahun melebihi jumlah yang terdaftar di buku panduan yang telah di-take down itu, yang di jenjang SD saja (6 tahun) tidak sampai seratus buku.
Jika pada zaman Orde Baru buku-buku sastra telah masuk ke perpustakaan, sekarang justru buku-buku itu telah "musnah" dari perpustakaan. Lalu, bagaimana murid-murid akan membaca buku-buku sastra yang terdaftar di buku panduan itu? Terutama buku-buku yang notabene karya sastra lama, apakah akan dicetak ulang? Ataukah hanya dikutip ke dalam buku pelajaran bahasa Indonesia seperti yang sudah-sudah?
Menjadi Penanda
"Sastra Masuk Kurikulum" menjadi penanda perlunya dialektika antara dunia sastra dan dunia pendidikan kita. Mesti ada sinergi antara para sastrawan dan para guru agar program itu ke depan benar-benar berjalan lancar. Mengingat kiprah Majalah Horison pernah melakukan program sastra masuk sekolah, tentu itu menjadi contoh yang sangat bagus tentang bagaimana para sastrawan masuk ke kelas-kelas dan mengajar murid-murid tentang sastra. Para sastrawan keliling Indonesia untuk mengadakan pelatihan dan diskusi sastra.
Apakah Kemdikbudristek akan mampu melakukan hal yang sama? Setidaknya tidak hanya mengupayakan sastra jadi kurikulum semata, tetapi menghadirkan buku-buku sastra dan mendatangkan para sastrawan untuk turut bersinergi dengan para guru agar program "Sastra Masuk Kurikulum" itu menjadi kenyataan dan bukan hanya mimpi-mimpi semata. Dengan begitu, yang dinamakan Merdeka Belajar itu menjadi terasa dan dirasakan, baik itu oleh para guru, murid, dan sastrawan.
Sebagai penutup, dinamika sastra dan pendidikan mesti terus dilakukan, bukan hanya soal ribut-ribut dan saling kritik lewat tulisan, tetapi bertindak secara nyata memajukan pendidikan membangun jiwa bangsa. Mengutip potongan sajak WS Rendra, penyair besar kita; perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Jika untuk mencapai "Merdeka Belajar" itu adalah suatu perjuangan, maka kata-kata saja tidak cukup; kata-kata harus dijalankan sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya dengan ketulusan hati.
Khanafi penulis dan editor lepas, founder penerbit buku Piramid
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini