Menghadirkan Palestina di Mana-Mana
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menghadirkan Palestina di Mana-Mana

Rabu, 05 Jun 2024 11:30 WIB
Khalilatul Azizah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Graduates protest the conflict between Israel and the Palestinian Islamist group Hamas, during the commencement at Yale University, New Haven, Connecticut, U.S., May 20, 2024. REUTERS/Michelle McLoughlin     TPX IMAGES OF THE DAY
Mahasiswa Universitas Yale melakukan aksi bela Palestina saat wisuda (Foto: REUTERS/Michelle McLoughlin)
Jakarta - Siksa Israel di Jalur Gaza belum juga mereda. Selama hampir delapan bulan terakhir sejak 7 Oktober 2023, militer Israel terus melakukan rangkaian serangan di wilayah tersebut. Jutaan warga Palestina hidup terlunta, menjadi pengungsi di 'rumah' sendiri, tanpa ada makanan-minuman memadai, tanpa hunian, sanitasi, layanan kesehatan, dan tanpa penghidupan yang layak. Israel tengah melanjutkan proyek pembersihan etnisnya. Mulai dari kawasan Gaza Utara hingga ke titik selatan Jalur Gaza (Rafah) dibombardir tanpa ampun oleh rezim Zionis. Seperti tesis Ilan Pappe bahwa paradigma atas derita Palestina sejak 1948 bukanlah perang, melainkan pembersihan etnis.

Di setiap operasi militernya, Israel selalu berdalih ingin menumpas Hamas yang dituduh bersembunyi di tengah pemukiman sipil, sehingga warga Palestina terus pula diultimatum untuk berpindah ke 'zona aman', hingga mereka terpojok di Rafah. Hampir satu bulan kota tersebut menjadi target operasi militer Israel. Sungguh, wilayah aman yang bisa dihuni pengungsi Palestina seperti yang dikatakan Israel adalah ilusi. Ultimatumnya itu tak lain adalah pola terstruktur yang menjadi tameng untuk maksud terselubung Israel memberantas etnis Palestina, dengan dalih memburu Hamas.

Penolakan Israel pada proposal gencatan senjata yang diajukan Mesir dan Qatar awal Mei lalu, sementara Hamas telah menyetujuinya, memperlihatkan bahwa Israel sebetulnya tidak pernah berniat mencapai perdamaian bersama dan enggan melindungi warga sipil Palestina. Hingga kini, korban tewas di Jalur Gaza akibat bombardir Israel hampir menyentuh angka 36 ribu jiwa. Belum lagi korban luka yang telah mencapai lebih dari 80 ribu orang. Kita tak boleh diam. Suara pembelaan kita pada Palestina adalah senjata. Suatu sumbangsih berharga untuk menghadirkan dan melanggengkan kesadaran masyarakat tentang Palestina di mana-mana.

Hipokrisi Israel-Amerika

Bukan rahasia lagi jika negara-negara Barat, seperti Inggris, Prancis, Jerman, terutama Amerika Serikat mati-matian menyokong brutalitas Israel dengan mengirim bantuan persenjataan, dukungan politik, bantuan diplomatik, fabrikasi media untuk menggiring opini publik global agar bersimpati pada Israel, termasuk sumbangan veto AS atas berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB yang mencoba menuntut pertanggungjawaban rezim Zionis.

Israel dan para sekutunya tak pernah malu mempertontonkan hipokrisinya di muka dunia. Mereka telah bersekongkol secara jahat dalam pembantaian, genosida, teror, pembersihan etnis, serta apapun istilah yang mendefinisikan penjahat kemanusiaan yang kejam. Analisis Noam Chomsky dalam Pirates and Emperors: Pelaku Terorisme Internasional yang Sesungguhnya kiranya cukup membantu menjelaskan kemunafikan Amerika dan sekutu utamanya, Israel.

Ada setidaknya dua hal yang menjadi standar subjektif Amerika menurut Chomsky. Pertama, segala bentuk teror atau pembantaian ASβ€”baik secara langsung maupun tak langsungβ€”dikecualikan dari ukuran norma umum. Apa yang norma umum menyebutnya sebagai kejahatan, bagi AS adalah mekanisme pertahanan diri dari "sesuatu yang mungkin mengancam di masa depan."

Kedua, ketika ada serangan terhadap AS dari teroris atau yang dianggap teroris ditanggapinya secara sangat serius, bahkan sampai mewajibkan penggunaan kekerasan. Namun, untuk serangan teror yang dilancarkan AS kepada pihak lain bahkan dalam skala yang brutal dan lebih serius pun dinilainya bukan kejahatan sehingga tak perlu dibalas. Operasi 7 Oktober Hamas yang dibalas Israel dengan tragedi kemanusiaan maha dahsyat merupakan potret tesis kedua Chomsky ini. AS memang bukan eksekutor langsung serangan balasan yang begitu keji dan menakutkan itu, tapi Washington mendukung dan terlibat kuat di dalamnya.

Kekhawatiran Israel

Di dunia yang serba digital saat ini, hampir tidak mungkin menyembunyikan kejahatan skala besar terhadap kemanusiaan. Israel ketakutan jika kebiadabannya pada Palestina semakin menjadi suatu keyakinan umum. Karena itu, Israel dan sekutunya begitu reaktif dan getol membantah ketika ada perlawanan atau tekanan yang berpotensi besar menggeser opini publik lalu bersimpati pada penderitaan dan perjuangan pembebasan Palestina. Media menjadi senjata ampuh sekaligus medan tempur tersendiri yang digarap serius oleh Israel, antara lain melalui pembuatan buklet panduan komunikasi publik berjudul The Israel Project's 2009: Global Language Dictionary.

Buklet itu disusun untuk mengontrol pikiran publik agar terdoktrin oleh narasi versi Israel. Tidak heran jika cara dan isi komunikasi publik otoritas Israel serta proksinya menyangkut Palestina selalu serupa dan sebangun. Buklet setebal 116 halaman itu berisi 18 bab pembahasan dan 4 lampiran, mulai dari bab yang membahas taktik komunikasi Israel di kampus hingga bagaimana strategi komunikasi untuk mengisolasi Hamas yang dianggap sebagai hambatan bagi perdamaian.

Banyak fakta sejarah tentang perampasan tanah, kolonialisme, pengusiran besar-besaran rakyat Palestina yang dikaburkan dari penyusunan buklet tadi. Segala bentuk penderitaan serta dosa-dosa maha besar Israel sejak 1948 dikecilkan. Sementara itu, perlawanan orang Palestina atas kolonialisme Israel dicap paten sebagai aksi teror dan mengganggu ketertiban.

Selama ini Israel mendemonisasi Hamas sedemikian rupa, melabelinya teroris tapi abai pada aksi teror mereka sendiri selama puluhan tahun sejak 1948 kepada bangsa Palestina. Merebut perhatian dan kesadaran publik tentang penderitaan orang Palestina serta kejahatan Israel yang mati-matian ditutupi media Barat adalah sikap yang harus terus ditempuh.

Menjaga Harapan

Di tengah situasi yang rumit, tetap ada nyala harapan bahwa Palestina semakin tampak hadir dan menguat di banyak tempat. Gelombang demonstrasi dan aksi solidaritas masyarakat serta mahasiswa pro-Palestina terus terjadi di banyak negara. Dukungan pada Palestina pun terus menguat, hingga pada pertengahan April lalu ribuan mahasiswa di universitas-universitas ternama AS menduduki kampus masing-masing.

Bermula dari aksi mahasiswa di Columbia University pada 17 April 2024 yang berkemah di halaman kampusnya selama berhari-hari, aksi serupa kemudian tereplikasi di kampus-kampus terkemuka lain, seperti Yale, UCLA, MIT, New York University, Harvard, termasuk di beberapa kampus di Eropa, Australia, juga Asia. Mereka menuntut pihak kampus dan pemerintah untuk menghentikan segala bentuk dukungan terhadap Israel, menyeru kampus untuk menarik semua investasi dari perusahaan yang membantu Israel melakukan genosida, serta menekankan agar gencatan senjata segera dilakukan.

Tidak hanya mahasiswa, aksi protes tersebut juga diikuti oleh dosen hingga profesor. Para demonstran itu bukan hanya dari mahasiswa muslim ataupun Arab saja. Namun juga dari kalangan lintas etnis, agama, bahkan orang Yahudi itu sendiri. Artinya, tuduhan antisemitis yang selalu dilempar kepada pengritik Israel sebetulnya telah gugur, dan merupakan tuduhan yang dibuat-buat.

Sayangnya, aksi damai itu mendapat tanggapan keras dari pihak kampus. Tak kurang dari 2500 mahasiswa ditangkap oleh aparat kepolisian. AS serta negara-negara Barat kehabisan cara untuk menutupi kebusukan Israel dan borok kebijakannya, sehingga yang dilakukan adalah membungkam protes gerakan pro-Palestina dengan menangkapi para demonstran dan berbagai bentuk intimidasi lainnya.

Gerakan akademika ini bisa menjadi katalisator yang menginspirasi aksi massa yang lebih luas hingga dapat memberi tekanan lebih besar pada pemerintah juga kampus. Yang terpenting sekarang adalah menjaga dan meningkatkan momentum kesadaran serta solidaritas global untuk membela Palestina. Sudah saatnya kita berhenti mendengarkan propaganda manipulatif Israel dan pembelanya. Saat ini waktunya untuk mempercayai apa yang mata kita lihat dan nurani kita rasakan.

Khalilatul 'Azizah kolumnis Islamramah.co, peminat Kajian Timur Tengah

Simak juga 'Slovenia Resmi Akui Negara Palestina!':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads