Praz Teguh, komika, bercerita tentang pengalamannya berwisata ke Turki sebelum melaksanakan umrah belum lama ini. Ia mengeluhkan rasa kebab di Turki yang ternyata hambar, dan baginya lebih enak kebab yang dijual di pinggir jalanan Jakarta.
Saya yakin, banyak di antara kita, terutama yang berlidah lokal, yang pernah merasakan pengalaman yang sama. Seorang kawan, misalnya, datang ke restoran Prancis dan berakhir kecewa karena selain mahal, ia merasa makanannya kurang bumbu. Akhirnya sepulang dari sana ia malah langsung masuk dapur dan masak mie instan, ketimbang mesti tidur dengan perasaan sia-sia.
Pengalaman semacam ini tak lain disebabkan oleh banyaknya jenis makanan di Nusantara yang memiliki rasa yang kuat. Saking rumit dan pekat bumbunya, cukup untuk membuat lidah kita seakan mati rasa ketika mencicipi variasi makanan lain dari luar negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau dipikir-pikir, mestinya ada hal-hal yang menyebabkan banyak makanan di Indonesia yang mengandung kombinasi bumbu yang rumit. Tapi siapa sangka jika penyebabnya bisa jadi bukan melulu hal-hal grande yang serba adiluhung, melainkan juga dari kesederhanaan bernama waktu senggang.
Asal muasal waktu senggang
Banyak dari kita sering menganggap waktu senggang sebagai waktu yang kita habiskan dengan menatapi layar ponsel di sela-sela kerja, nonton Netflix sebelum tidur, atau scroll Tiktok semalam suntuk. Makin ke sini, makin sulit bagi kita untuk membayangkan waktu senggang tanpa kegiatan mengonsumsi konten. Padahal, jika kita merenungi sejarah panjang manusia, waktu senggang ternyata tidak se-gabut itu.
Waktu senggang dan aktivitas kerja sama-sama punya andil terhadap peradaban kita. Sebagaimana dicatat James Suzman, antropolog sosial, dalam Work: A History of How We Spend Our Time (2020), sejak manusia purba mulai memanipulasi batu menjadi kapak dan tombak, mereka bisa memperoleh dan memproses makanannya dengan lebih cepat. "Teknologi" peralatan batu ini membuat mereka lebih punya banyak waktu senggang.
Kemudian, masih menurut Suzman, proses manusia purba menemukan cara untuk membuat api juga tak bisa dipisahkan dari peran waktu senggang dan kebosanan yang menyertainya. Dengan adanya api, mereka bisa mengonsumsi makanan matang, yang tidak hanya lebih bersih dari bakteri, namun juga memberikan lebih banyak nutrisi bagi mereka.
Semakin banyaknya waktu senggang dan nutrisi berkualitas yang masuk ke dalam tubuh berarti ada keberlimpahan energi di dalam tubuh mereka. Dan, inilah yang mempercepat perkembangan otak mereka menuju manusia modern. Bayangkan, waktu senggang ternyata punya andil dalam evolusi otak manusia! Dan, peran waktu senggang ternyata tidak sampai di situ saja.
Warisan mindset pemburu-pengumpul
Sebelum manusia mulai bertani (menanam dan menyimpan bahan makanannya), mereka hidup dalam sistem pemburu-pengumpul (hunters-gatherers). Mereka hidup secara bersahaja dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan dengan kuantitas yang mereka butuhkan saat itu saja.
Menurut antropolog Marshall Sahlins, kaum pemburu-pengumpul punya lebih banyak waktu senggang dibanding ketika manusia sudah mengenal pertanian. Meskipun manusia yang sudah bertani memiliki peralatan yang lebih kompleks, namun pertanian ternyata membutuhkan lebih banyak dedikasi waktu dan tenaga dibandingkan dengan pola hidup pemburu-pengumpul.
Uniknya, mindset pemburu-pengumpul tadi seakan masih terbawa ketika masyarakat Nusantara sudah bertani dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang lebih kompleks. Iklim tropis yang didukung gunung-gunung berapi membuat tanah begitu subur, sehingga walau sudah bertani dan mengakumulasi komoditas, mereka masih bisa mengakses pangan secara liar.
Dari kakek dan nenek, masih bisa kita dengar cerita bahwa sayuran dan bahan-bahan bumbu makanan bisa secara mudah didapatkan dari alam liar di sekitar rumah. Bahan-bahan pangan tersebut bisa diperoleh siapa aja, dan hampir selalu tersedia karena diambil seperlunya saja.
Dukungan kondisi alam yang serba mudah dan keberlimpahan sumber pangan inilah masyarakat Nusantara agaknya tidak mengalami perjuangan sesulit masyarakat pertanian di kawasan-kawasan lain, sehingga mereka memiliki waktu senggang yang juga lebih banyak.
Rasa makanan kita berkah waktu senggang
Dan, berkat waktu senggang berlebih inilah, saya pikir, makanan-makanan--yang konon diakui dunia sebagai yang terenak--seperti rendang dan rawon bisa tercipta. Serius ini.
Rendang, misalnya. Memang, sebagian pakar menduga ada pengaruh kuliner India di dalam sekuali rendang. Namun siapa yang punya ide bahwa cita rasa rendang yang dahsyat itu harus dilalui dengan memasukkan beraneka macam rempah-rempah, dan mengaduk daging berbumbu itu selama berjam-jam?
Rawon, apalagi. Rawon, yang masyhur sebagai salah satu makanan berkuah terenak di dunia itu, diberi warna dan tekstur oleh keluak yang tak tergantikan oleh bahan-bahan lain. Rawon tanpa keluak adalah sebuah krisis identitas.
Tapi pernahkah terpikir di benak kita, keisengan macam apa yang dialami nenek moyang kita sehingga punya kehendak untuk memecahkan biji tanaman kepayang itu, tanpa tahu sebelumnya bahwa di dalam biji tersebut terdapat komoditas yang bisa dijadikan bumbu masak? Dan, siapa pula yang punya kepedulian berlebih untuk memecahkan keluak yang keras itu?
Saya yakin, pengetahuan-pengetahuan semacam itu lahir dari berlimpahnya waktu senggang. Dengan waktu senggang, nenek moyang kita bisa mengeksplorasi segala sesuatu yang berada di sekitarnya. Termasuk melakukan sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak memiliki arti dan manfaat, tapi bisa membawa manusia pada penemuan-penemuan baru yang bahkan berarti bagi peradaban.
Dan, jangan lupa, pekerjaan memasak, apalagi semakin rumit proses dan kombinasi bumbunya, pasti melibatkan banyak percobaan dan kegagalan. Siapa lagi yang bisa melakukan trial and error berkali-kali, jika bukan mereka yang punya banyak waktu luang?
Rawon tak akan lahir di dunia jika nenek moyang kita tak punya banyak waktu senggang untuk iseng bereksperimen dengan biji-bijian, akar-akaran, dan tanaman-tanaman lain yang tumbuh liar di sekitarnya. Rendang yang jadi kebanggaan kita itu pun hanya akan menjadi gulai daging biasa jika tak ada cukup waktu senggang untuk bereksperimen dan menghabiskan waktu untuk membuatnya.
***
Makin ke sini, waktu senggang semakin sering dipandang miring. Ia dipersamakan dengan kegiatan para penganggur, lebih-lebih saat semakin banyak orang beraspirasi untuk kerja "kantoran" seperti sekarang. Di sisi lain, jika pun waktu senggang itu ada, seringkali keburu tersita oleh layar ponsel kita.
Saya teringat bit lawak seorang komika asing yang sialnya saya lupa namanya. Intinya dia bilang, negara-negara yang kaum perempuannya bekerja, independen, dan punya kebebasan, pasti makanannya nggak ada yang enak. Ia menunjuk negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis. Sebaliknya, negara yang kaum perempuannya tertindas, pasti makanannya luar biasa enak, sembari menunjuk negara-negara Arab dan negara-negara Asia lainnya.
Memang, joke tadi sekilas terdengar seksis. Komedi memang sering datang dari ironi-ironi semacam itu. Tapi yang jelas, ketika semua orang sibuk, mau laki-laki atau perempuan, tradisi kuliner kita pun sebenarnya sedang berada dalam ancaman. Semakin sedikit orang punya orang punya waktu yang didedikasikan untuk memasak atau bereksperimen dengan bahan-bahan makanan yang tersedia.
Apalagi ketika sekarang semua orang terbiasa dengan segala hal yang bersifat instan. Bisa-bisa, berbagai pengetahuan yang terakumulasi dari masa-masa senggang tadi gagal terwariskan ke generasi-generasi selanjutnya. Bukan tidak mungkin di masa depan nanti rendang dan rawon yang autentik akhirnya menjadi santapan yang elitis, karena hanya tersedia di restoran-restoran mahal saja.
Bhagaskoro Pradipto tinggal di Jimbaran, Bali