Obituarium

Penyair Jokpin Melintasi (Zaman) Media

M. Fauzi Sukri - detikNews
Senin, 29 Apr 2024 14:30 WIB
Penyair Joko Pinurbo (Foto: dok. Gramedia Pustaka Utama)
Jakarta -

Penyair Joko Pinurbo (11 Mei 1962 - 27 April 2024) berpulang dan kita diwarisi begitu banyak puisi yang quotable untuk kehidupan kolektif kita. Jokpin adalah penyair yang tidak punya beban puitis untuk memasuki puisi bernuansa petuah ataupun memasuki arena publikasi digital dengan apa yang disebutnya "puitwit". Justru, Jokpin serasa mendapatkan tempat baru untuk berkomunikasi dengan pembaca baru (digital) yang mulai tidak begitu akrab dengan media konvensional kertas.

Dalam sejarah medium bersastra di Indonesia (atau bahkan di dunia secara umum), setidaknya kita menyaksikan tiga zaman yang berubah dengan cepat: zaman manuskrip, zaman cetak modern, dan zaman digital. Para pujangga lawas yang berbasis keraton/kerajaan praktis hidup di zaman manuskrip, yang mulai memudar bahkan menghilang pada akhir abad ke-19. Para pujangga baru lahir dari teknologi cetak modern, dengan terbitan seperti majalah, koran, buku cetak modern, yang bangkit beriringan dengan kemunculan nasionalisme. Yang termutakhir tentu saja zaman digital sekarang.

Jokpin, yang sering terlihat sangat erat memegang rokok dan mengisap dengan bibir tebalnya, hidup pada puncak dan sekaligus akhir zaman cetak modern dan sekaligus merambah zaman digital. Pada akhir abad ke-20 itu, media cetak komersial mencapai puncak oplah dan media digital sebagai era baru media (sekaligus era baru perpuisian) sudah muncul untuk menjadi media baru yang kelak akan dirambah dengan asyik oleh Jokpin.

Tiga zaman itu (manuskrip, cetak, dan digital) menghasilkan corak estetika sastrawi yang berbeda: yang pertama sangat mengandalkan irama (formulaic form) yang bisa dilisankan dan dilagukan sesuai pakem yang berlaku; yang kedua memunculkan puisi bebas nan sunyi; yang ketiga menghasilkan puisi-puisi pendek yang ber-networking, meski masih sangat dipengaruhi estetika sastrawi puisi hasil percetakan modern --tentu klaim ini masih bisa diperdebatkan.

Jokpin memasuki dan hidup di dua zaman media: cetak dan digital. Jokpin sudah menulis sejak SD, meski hanya di awang-awang dengan jarinya (sebelum teknologi cloud ada di dunia). Maklum, orangtua Jokpin tak mampu membelikan kertas apalagi membelikan buku puisi. Namun, Jokpin mendapatkan kesempatan besar saat sekolah SMA di Mertoyudan yang punya perpustakaan dengan koleksi yang melimpah. Di sekolah ini, Jokpin juga bisa memuaskan haus membaca sekaligus menyalurkan keranjingan menulisnya pada majalah dinding sekolah meski dengan taruhan nilainya jeblok (Tempo, 6 Januari 2002).

Pada zaman kuliah di IKIP Sanata Dharma, Jokpin mematangkan corak puisinya, meski terhitung tidak begitu rajin mengirimkan puisi ke media cetak. Pada 1999, atas desakan penyair Dorothea Rosa Herliany yang sekaligus pemilik penerbit Indonesiatera, buku puisi pertama Jokpin yang disebutnya sebagai "buku puisi percobaan" terbit menyapa publik Indonesia. Judulnya: Celana, yang tak terdengar puitis tapi isinya mengentak publik sastra Indonesia.

Jokpin menggeluti dengan sangat serius benda-benda keseharian seperti celana, kamar mandi, atau organ tubuh. Pada 2001, Jokpin menerbitkan buku puisi Di Bawah Kibaran Sarung. Dengan dua buku puisi itu, Jokpin masuk sebagai salah satu penyair yang diperhitungkan dalam khazanah sastra Indonesia.

Dengan kelihaian berbahasa, Jokpin hadir dengan estetika bahasa yang sederhana tapi kaya imajinasi bahkan parodi yang tajam: trade mark puisi yang terus dibawa sampai akhir hidupnya. Tak mengherankan jika banyak publik pembaca sastra Indonesia kepincut dengan puisi-puisi Jokpin yang tampak sangat mudah dipahami tapi sekaligus menggelitik bahkan menonjok (ketak)kesadaran pemahaman umum.

Pada 2001 Jokpin mendapatkan tiga penghargaan: Dewan Kesenian Jakarta, SIH Award, dan hadiah dari Yayasan Lontar.

Menyambut Media Sosial

Jokpin termasuk yang paling antusias menyambut media sosial sebagai publikasi "puitwit" (puisi tweet), sebutan yang dipopulerkan Jokpin sendiri. Akun Twitter Jokpin @jokopinurbo sudah menghasilkan 837 tweet, 2,184 following, dan 147.3K follower (April 2024). Dari sekian banyak puitwit yang sudah terpublikasikan di Twitter-nya, ada beberapa yang terpilih dan terkumpul dalam dua buku puisi. Yang pertama adalah Haduh Aku di-follow (2013). Yang kedua adalah Surat Kopi (2019) --buku ini cukup signifikan perbedaannya dengan buku judul serupa yang terbit pada 2014 (Motion Publishing).

Berbeda dengan Haduh Aku di-follow yang berukuran lebar (20 x 20 cm) dan penuh dengan ilustrasi berwarna dan tampak bergaya instagramable, Surat Kopi tampil mungil (11 x 15 cm), tanpa ilustrasi, sampul hardcover, dan hampir satu puitwit untuk tiap halaman. Tampilan ini membuat buku Surat Kopi enak dipegang untuk dibaca di kamar kos, dalam kereta, di pesawat, di sela waktu istirahat kerja, kafe, atau saat beristirahat di tempat-tempat wisata, dan seterusnya. Hanya dalam beberapa menit atau sekitar satu jam, tanpa terasa kita sudah selesai membaca puitwit, dengan berbagai perasaan dan pikiran yang dihidangkan Jokpin.

Dalam zaman digital, cara generasi milenial membaca/menikmati puisi atau khususnya puitwit, cukup (banyak) berbeda dengan generasi cetak modern apalagi generasi manuskrip. Puitwit dihadirkan dalam ekologi bahasa networking dan broadcasting yang biasanya dibaca-dinikmati melalui smartphone. Tentu saja, kehadiran buku Surat Kopi dalam wujud cetak (via teknologi press) menggabungkan dua ekologi bahasa: dari tweet di media digital bertransformasi menjadi buku cetak modern. Dari ekologi bahasa yang dihidupi algoritma media sosial yang hampir selalu aktif (online) ke ekologi cetak dalam kertas dan tinta yang selamanya sunyi dan statis.

Bagi generasi milenial, membaca tidak selesai setelah titik di akhir kalimat (puitwit) atau di akhir buku. Tapi ada semacam kewajiban teknologis untuk menghadirkan kamera (daya visual dan shoot, bukan press) di halaman-halaman tertentu yang paling menyentuh hati atau pikirannya. Kata tidak hanya perlu dibaca, tapi juga wajib dipotret. Klik! Kemudian foto itu akan berpindah ke media sosial, berjejaring dengan warganet. Puitwit bisa juga diketik ulang lalu dihadirkan bersama foto unik, latar grafis yang menarik, atau bentuk visual lainnya dalam media sosial. Inilah cara-cara menikmati-membaca puitwit pada zaman media digital yang hampir tidak pernah terjadi di puisi zaman cetak modern apalagi zaman manuskrip yang tak mengenal kamera dan media sosial.

Di laman @jokopinurbo, kita sudah mendapatkan foto satu halaman puitwit yang dipotret agak miring ke kiri (agar lebih berselera seni secara visual): Saya tak pernah/ bercita-cita menjadi penyair./ Cita-cita saya ialah menjadi puisi/ yang tak dikenal/ siapa penulisnya. Pemotret dan pengunggahnya bukan Jokpin atau akun @jokopinurbo, tapi salah satu pembaca puitwit (@demabuku). Peristiwa pembacaan ala milenial ini tentu saja bisa kita temukan di berbagai akun media sosial lain. Dan puitwit Jokpin, seperti dalam buku Surat Kopi, punya kapasitas besar untuk diterima warganet dan tersebar di media sosial.

Perhatikan puitwit berjudul Penghasilan Tetap yang tampaknya cukup mewakili etos kerja generasi milenial yang lebih suka tantangan lebih besar daripada kemapanan struktural dunia kerja, lebih suka kerja kreatif dari kerja statis-birokratis, tapi tetap merasa religius: Cukupilah kami/ yang tak punya/ penghasilan tetap/ Yang tetap hanya/ pemberian-Mu.

Kita simak kata Jokpin yang semakin mewakili generasi milenial urban kosmopolitan di berbagai kota di Indonesia: Ketika aku berdoa/ Tuhan tak pernah/ menanyakan agamaku. Dalam tiap ketulusan doa, manusia sedang menghadapkan hatinya langsung kepada Tuhan. Tak perlu atribut dan identitas agama apa pun. Bagi Jokpin, doa adalah lebih iman daripada identitas agama apa pun.

Perhatikan puitwit ini bakal banyak dijadikan foto ber-caption pada Hari Ibu dan akan tersebar di banyak akun media sosial dengan berbagai ilustrasi, foto keluarga, atau gambar lainnya: Kasih ibu lebih keras/ dari kasih batu/ lebih lembut/ dari kasih susu. Dalam suatu masyarakat yang mengeras dengan pertentangan atau pertikaian, di mana batu atau kekerasan menjadi ungkapan dan senjata, atau saat kapitalisme memaksa orang menghargai komoditas dengan sengit nan fanatik, kita bisa mengingat "kasih ibu" yang lebih keras dari batu dan lebih lembut daripada susu.

Dalam buku Surat Kopi Jokpin masih tetap lucu, bijak mendalam, religius tapi berhasil melampaui sekat identitas dan fanatisme agama, dan rasa ironisnya masih hadir meski sudah tidak begitu kuat lagi. Diksi yang menjadi ciri khas Jokpin seperti 'celana', 'mandi', 'hujan', dan 'sarung' masih tetap hadir dalam Surat Kopi, dengan versi yang semakin sangat pendek sebagai akibat tuntutan media sosial (Twitter) yang membatasi jumlah karakter huruf.

Penanda Abad Digital

Buku puisi Surat Kopi sudah jadi salah satu buku best seller Jokpin. Buku Surat Kopi dan Aduh Aku di-follow telah sah sebagai salah satu penanda abad digital dalam khazanah perpuisian Indonesia. Bagi pembaca generasi milenial, terutama yang belum banyak bersentuhan puisi-puisi Jokpin sejak zaman cetak seperti puisi Celana (1999) atau Di Bawah Kibaran Sarung (2001) hingga Pacarkecilku (2002), maka puisi-puisi dari era digital seperti Aduh Aku di-follow (2013) atau Surat Kopi (2019) adalah sebentuk perjumpaan yang menarik, lucu, mengejutkan, dan sekaligus sangat akrab, seakan sahabat dekat sedang menemani hari-harinya.

Meski tergolong penyair tua, Jokpin masih akrab dan berjiwa milenial bahkan mungkin terlalu akrab dibandingkan dengan penyair yang lebih muda.

Penyair Jokpin sudah jadi sahabat Indonesia, baik di jagat cetak dan terutama di jagat media sosial. Dengan puisi-puisinya, Jokpin sudah jadi sahabat karib masyarakat Indonesia. Saat penyair Jokpin meninggal, media sosial merayakannya dengan sangat massal penuh rasa kehilangan. Maka, seperti unggahan di berbagai media sosial, rakyat Indonesia mengantarkan Jokpin ke puisi abadi: rest in poem.

M. Fauzi Sukri penulis buku 'Bahasa Ruang, Ruang Puitik' (2018)




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork