Asia Tenggara akan menghadapi transformasi demografis yang mengubah lanskap sosial-politik dan ekonominya. Cepatnya penuaan populasi menjadi ciri perubahan itu. Meskipun tidak hanya terjadi di kawasan ini, penuaan populasi akan membawa tantangan sekaligus peluang yang unik bagi negara-negara seperti Indonesia.
Statistik memberikan gambaran yang jelas. Berdasarkan penelitian Central European Institute of Asian Studies (CEIAS) 2024, jumlah anak usia 0-14 tahun di Vietnam diperkirakan akan berkurang 3,7 juta jiwa per 2050. Jumlah anak di Thailand akan menurun dari 10,7 juta menjadi 7,8 juta, dan di Indonesia dari 69,9 juta menjadi 61,6 juta pada periode yang sama.
Sebaliknya, Filipina menjadi satu-satunya negara yang diproyeksikan akan mengalami peningkatan jumlah demografi yang lebih muda, meskipun persentasenya menurun dari total populasi. Hal ini menunjukkan pergeseran tren yang luas luas menuju profil demografi yang lebih tua, dengan persentase penduduk berusia di atas 60 tahun akan melampaui persentase penduduk berusia di bawah 14 tahun di setiap negara Asia Tenggara dalam beberapa dekade mendatang.
Untuk membandingkan dua kelompok usia, di Singapura sekitar 2010, persentase orang berusia di atas 60 tahun melebihi persentase orang berusia di bawah 14 tahun. Thailand mencapai titik ini sekitar 2015. Vietnam akan menyusul pada 2035, Malaysia pada 2040, Indonesia sekitar 2045, dan Myanmar pada 2050. Negara-negara lainnya akan mengalaminya pada paruh kedua abad ini, dengan Filipina sebagai yang terakhir.
Implikasi
Implikasi dari pergeseran demografis ini sangat beragam dan kompleks. Penuaan populasi akan memberikan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada sistem perlindungan sosial, perawatan kesehatan, dan skema pensiun. Sebagai contoh, di Vietnam, hanya 40 persen dari mereka yang berusia di atas 60 tahun yang tercakup dalam sistem perlindungan sosial, sebuah angka yang dianggap tinggi di kawasan ini.
Dengan populasi lansia yang melonjak, permintaan terhadap layanan kesehatan akan meningkat secara dramatis, sehingga membutuhkan peningkatan anggaran pemerintah yang signifikan. Bank Dunia menyarankan agar Vietnam membelanjakan sekitar 8-9 persen dari PDB-nya untuk dana pensiun publik pada 2035, naik dari 2-3 persen.
Hal tadi menunjukkan bahwa penuaan populasi turut berimplikasi besar terhadap prioritas belanja publik. Pada gilirannya, ini akan berdampak pada pengurangan pengeluaran untuk pendidikan dan perumahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang pengalokasian sumber daya antara generasi muda dan generasi tua, sebuah dilema yang akan dihadapi oleh pemerintah Asia Tenggara pada tahun-tahun mendatang.
Pergeseran demografis di Asia Tenggara juga memiliki implikasi geopolitik yang besar. Dinamika geopolitik kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh pergeseran kekuatan militer dan ekonomi, seiring penuaan populasi. Populasi yang lebih tua dapat menyebabkan penurunan jumlah anggota militer, yang berpotensi berdampak pada kemampuan keamanan dan pertahanan nasional. Selain itu, beban ekonomi untuk mendukung populasi tua dapat mengalihkan sumber daya dari pengeluaran pertahanan, yang selanjutnya mempengaruhi keseimbangan geopolitik di kawasan ini.
Negara-negara di Asia Tenggara harus menyikapi dinamika perubahan ini dengan hati-hati. Kebijakan luar negeri dan strategi keterlibatan regional mereka mungkin perlu dikalibrasi ulang untuk memperhitungkan realitas demografis mereka. Seiring dengan penuaan populasi, mereka mungkin akan memprioritaskan upaya diplomatik yang menjamin stabilitas regional dan mendorong kerja sama ekonomi untuk mengurangi dampak dari penuaan tenaga kerja. Pendekatan mereka terhadap isu-isu regional dan tantangan global pun akan lebih berhati-hati, yang berdampak pada peran dan pengaruh di ASEAN dan sekitarnya.
Perubahan demografis dapat berdampak signifikan pada lanskap politik. Di satu sisi, David Hutt (2024) menunjukkan bahwa populasi yang menua cenderung mendukung kebijakan yang mempertahankan status quo dan lebih condong ke arah otoritarianisme sayap kanan. Hal ini dapat memicu peningkatan pengeluaran untuk pertahanan dan penerapan kebijakan nasionalis di negara-negara dengan populasi yang semakin tua.
Di sisi lain, generasi muda menunjukkan dinamika yang berbeda. Penelitian oleh World Bank (2017) dan Weiyu Zhang (2022) mengungkapkan bahwa generasi muda cenderung kehilangan ketertarikan dan kepedulian terhadap demokrasi. Namun, di Asia Tenggara, penurunan jumlah anak membebaskan orang dewasa muda dari tanggung jawab keluarga tradisional, yang berpotensi memicu peningkatan aktivisme politik.
Dengan anak muda yang enggan menikah dan memiliki anak (Kompas, 7 Maret 2024) membebaskan mereka dari tanggung jawab keluarga tradisional. Hal ini berpotensi memicu peningkatan aktivisme politik. Dengan tanggungan yang lebih sedikit, generasi muda lebih berani mengambil risiko, termasuk berpartisipasi dalam protes, yang dapat meningkatkan ketegangan sosial dan dinamika politik.
Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, tantangan penuaan populasi memerlukan strategi yang holistik. Pemerintah harus meningkatkan alokasi anggaran untuk layanan kesehatan dan perlindungan sosial bagi lansia, serta mengembangkan sistem pensiun yang berkelanjutan. Di sisi lain, pergeseran demografis juga membuka peluang untuk meningkatkan partisipasi politik generasi muda, yang kini memiliki lebih banyak waktu dan tanggung jawab yang lebih sedikit.
Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya harus mengadopsi pendekatan multidimensi. Ini termasuk peningkatan investasi di bidang kesehatan dan perlindungan sosial, pengembangan sistem pensiun yang berkelanjutan, dan menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi politik generasi muda. Kerja sama regional juga penting dalam berbagi praktik terbaik dan meningkatkan sumber daya bersama.
Perubahan demografis di Asia Tenggara, terutama penuaan populasi, akan membentuk masa depan politik dan ekonomi kawasan. Indonesia harus menyeimbangkan kebutuhan antara populasi muda yang aktif secara politik dan populasi tua yang membutuhkan sumber daya kesehatan dan sosial. Adaptasi kebijakan dan kerja sama regional akan menjadi kunci untuk mengatasi dampak yang kompleks dari dinamika demografis ini, termasuk implikasinya terhadap keseimbangan geopolitik di kawasan.
Contohnya, Indonesia dapat memanfaatkan forum regional seperti ASEAN untuk berkolaborasi dalam mengembangkan kebijakan yang mendukung lansia, seperti inisiatif kesehatan regional atau skema pensiun lintas negara. Selain itu, kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan dapat ditingkatkan untuk mengatasi potensi penurunan angkatan kerja militer akibat penuaan populasi. Dengan demikian, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara dapat memastikan stabilitas dan keamanan regional di tengah perubahan demografis.
Virdika Rizky Utama peneliti PARA Syndicate, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Shanghai Jiao Tong University
(mmu/mmu)