Jika kita kategorisasi ceruk suara berdasarkan usia/generasi, pendidikan, jenis kelamin dan agama, paslon nomor 02 itu juga unggul. PG juga unggul di segmen pemilih Islam terutama di kalangan NU dan Muhammadiyah serta kelompok Islam lain di luar dua organisasi besar itu. Di segmen pemilih Katolik dan Protestan, PG juga unggul dengan angka sekitar 60% (Exit Poll Kompas). Angka itu sepenarian dengan prosentase kemenangan di dua etalase pemilih mayoritas Kristiani (Katolik dan Protestan), yakni Nusa Tenggara Timur (62,3%) dan Sulawesi Utara (75,33%). Sementara etalase pemilih Hindu Bali (55%).
Ketiga wilayah itu bisa dikategorisasi sebagai basis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada praksisnya, pemilihan presiden dengan pileg (partai) memiliki hasil yang berbeda. Para loyalis PDIP memang memilih kader PDIP untuk caleg tetapi Prabowo untuk presiden. Sebabnya banyak, mulai dari Jokowi Effect; simpatisan PDIP mengikuti pilihan politik Jokowi, gaya kepemimpinan Megawati yang kaku hingga pemilihan Ganjar tidak mendapat restu total dari faksi-faksi PDIP.
Terima Apa Pun Hasilnya
Sebelum pelbagai quick count dirilis, prelatur Katolik Indonesia, Ignatius Kardinal Suharyo menyerukan agar menerima hasil pilpres jika sudah ditetapkan oleh lembaga yang berwewenang. Seruan Kardinal, kita maknai sebagai sikap demokratis yang mesti menjadi pegangan publik. Demokrasi adalah ketika rakyat bicara (James Fiskin, 2009). Rakyat bicara bisa kita maknai sebagai rakyat memutuskan. Legitimasi pemilu terletak pada keputusan rakyat. Keputusan rakyat mesti dihargai. Konsekuensi logisnya, pemenang pemilu mesti diterima sebagai presiden dan wakil presiden untuk lima tahun mendatang.
Kemenangan besar PG bukannya tanpa kritik. Pelbagai anomali yang ada dijadikan sebagai dasar argumentasi kubu lawan (paslon 03 dan 01) bahwa Pilpres 2024 diwarnai kecurangan. Perdebatan-perdebatan semacam itu masih menjadi tema diskusi publik hingga hari ini.
Terlepas dari deretan kritik pada kemenangan PG, angka 58% menjadi yang tertinggi sejak Pilpres 2024. Mengingat kemenangan itu mencakup pada semua kategorisasi ceruk suara, maka tak terbantahkan bahwa ini adalah kemenangan dengan legitimasi yang besar.
Dosa Bersama
Meski mendapat legitimasi besar, proses demokrasi yang kita lalui menyisakan banyak catatan. Agaknya, setiap pemilu selalu menyisakan catatan minor. Pemilu 2019 tercatat sebagai pemilu yang menegangkan tidak hanya pada tataran elite tetapi juga hingga lapisan bawah. Dua kubu besar yang berduel kemudian berekonsiliasi, ketika Prabowo menerima pinangan kabinet Jokowi.
Tampaknya, catatan khas Pemilu 2024 adalah kisruh etik Mahkamah Konstitusi dan segala biasnya. Kekuasaan dengan terus terang menyatakan dukungannya kepada PG. Aparatur negara dan kebijakan seperti bansos tidak bisa dilepaskan sebagai kebijakan politik yang sarat kepentingan elektoral. Catatan itu akan diingat, apalagi kubu pemenang saat ini menjadi bagian dari kisruh itu.
Tetapi rakyat telah berbicara dan membuat keputusan. Pemenang kontestasi telah ada. Namun, mengingat pelbagai polemik sebelum dan selama pemilu, kemenangan besar itu memiliki noktah-noktah hitam.
Vedi R Hadiz dalam wawancaranya dengan Rossi di Kompas TV medio November silam, sebelum pemilu, menyebutkan bahwa civil society tidak memiliki kaki di masyarakat. Konsekuensinya, kisruh moralitas MK hingga cawe-cawe kekuasaan tidak pernah menjadi concern arus bawah. Masyarakat "tidak peduli" dengan duel kepentingan di level elite. Persisnya, tidak ada jembatan antara civil society yang berada di dekat lingkaran kekuasaan (dan bisa kita katakan kalangan reformis) dengan akar rumput.
Tentu, ini menjadi auto kritik bagi gerakan masyarakat sipil ke depan. Gerakan masyarakat sipil, cendekiawan, dan kelompok kritis lainnya mesti melihat bahwa proses demokrasi yang tidak sehat adalah dosa bersama bangsa ini. Kita (gerakan masyarakat sipil, intelektual) tidak cukup keras menegur kekuasaan; tidak cukup giat membangun budaya dan kesadaran politik hingga akar rumput. Alhasil, akar rumput tidak terhubung dengan soal-soal di puncak piramida politik.
Purifikasi Politik
Dosa tentu memerlukan purifikasi (pemurnian). Kondisi aktual, kubu 01 dan 03 protes di Mahkamah Konstitusi. Belakangan, ruang publik terisi dengan serangan ke pemerintah dan respons balik pemerintah atas itu. Ini sangat menyehatkan ruang publik. Secara konsep, wacana pemakzulan Jokowi misalnya bisa kita sebut sebagai utopia. Salah satu pertimbangannya adalah proses hingga pembuktian itu membutuhkan waktu yang lama. Akan lebih lama lagi karena pasti akan ada tarik ulur yang besar dalam proses-proses semacam itu.
Kendati demikian, perbincangan semacam itu penting untuk hadir di ruang publik. Pertama, supaya publik menyadari bahwa penguasa (presiden) itu tidak kebal sebab kekuasaan itu ada di tangan rakyat. Publik harus menyadari itu. Kedua, pemerintah (presiden sekalipun) juga tidak bisa sewenang-wenang. Ia bisa diturunkan kapan saja, manakala ia memang dianggap menyalahgunakan kekuasaannya dan membahayakan keselamatan negara.
Baik publik maupun pemerintah mesti berdiri pada paradigma semacam itu. Konstitusi juga sudah mengatur mekanisme semacam itu. Pasal 7B UUD 1945 secara detail membicarakan mekanisme itu.
Terlepas dari protes kubu 01 dan 03 saat ini di Mahkamah Konstitusi, saya kira yang terpenting saat ini adalah komitmen bangsa ini untuk menyucikan kembali demokrasi kita dengan mengoreksi kembali kesalahan kita. Pada titik ini, media massa, kalangan intelektual dan juga gerakan masyarakat sipil mesti menjadi bagian dari pengawas jalannya kekuasaan. Civil society harus menapakkan kaki di akar rumput supaya kritisisme menjalar hingga ke arus bawah dan dengan sendirinya memberi pendidikan politik bagi warga negara; membangun budaya politik.
Selain komponen gerakan masyarakat sipil hingga intelektual, partai politik juga menanggung dosa yang sama. Karena itu, komitmen partai oposisi untuk menjadi pikiran alternatif menjadi penting. Dalam sistem politik multi partai, istilah oposisi itu kurang tepat. Tetapi secara substantif, mesti ada partai yang menjadi suar suara ide alternatif dari arus bawah.
Saat ini, tampaknya yang paling siap untuk menjadi oposisi adalah PKS dan PDIP. Jika itu terjadi, maka oposisi pemerintahan mendatang akan menarik. Dua partai yang persis berseberangan secara ideologis itu "terpaksa" duduk satu meja demi mengoreksi jalannya kekuasaan yang gemuk. Tetapi itu juga untuk menguji komitmen partai-partai di luar kekuasaan. Meski berbeda secara ideologi politik, tetapi ada kepentingan bersama yang diperjuangkan; menjadi suara pengingat bagi kekuasaan. Kepentingan partai harus lebih kecil dari kepentingan negara.
Dosa-dosa politik hari ini mesti menjadi catatan dan pengingat bagi kita, bahwa demokrasi kita masih tertatih-tatih. Kita butuh kesadaran dan terutama komitmen sebagai bangsa yang besar untuk menjadikan demokrasi sebagai identitas politik bangsa ini.
Edward Wirawan analis politik, peneliti Lembaga Terranusa Indonesia
(mmu/mmu)