Di antara doa yang mustajab dikabulkan, adalah ada pada seorang musafir. Sedikitnya ini diriwayatkan dalam hadis Ahmad dan Ibnu Majah yang berbunyi Ada tiga doa yang tidak diragukan lagi padanya (untuk dikabulkan): doa seorang musafir, doa orang yang dizalimi, dan doa orang tua kepada anaknya.
Beranjak dari hadis tersebut, sesungguhnya mudik merupakan bagian daripada pengertian seorang musafir. Dia yang melakukan perjalanan dari tempat rantau menuju kampung halamannya.
Dan dalam tradisi masyarakat Indonesia, mudik merupakan momen yang paling dinantikan kehadirannya. Rasanya tidak ada yang tak tergerak untuk berkontribusi dalam perjalan mudik. Baik pemerintah, swasta, organisasi kemasyarakatan, hingga pelaku ekonomi lainnya serempak meleburkan diri untuk berpartisipasi memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi pemudik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu di dalamnya itulah, sesungguhnya partisipasi yang dilakukan tidak kurang tidak lebih untuk memperoleh dari keberkahan mudik. Ada relasi sosial antara penjaga jalan dengan pemudik, ada relasi kuasa antara pemerintah dengan pemudik, ada keakraban antara supir dengan penumpang dan banyak lainnya.
Maka tidak heran jika pemerintah atau perusahaan menghadiahkan mudik gratis ke sejumlah penjuru Indonesia. Ada bingkisan bagi keluarga di rumah yang dititipkan perusahaan melalui pemudik. Serta ucapan terima kasih dari pemudik kepada mereka yang membantu, juga tak kalah sedikitnya.
Semuanya mengharapkan keberkahan dari pemudik jika diletakkan dalam konteks 'doa mustajab seorang musafir'.
Tidak terkecuali, yang juga tergerak dan berperan di dalamnya adalah lembaga penyiaran. Televisi dan radio menjadi corong penyampai informasi kepada masyarakat luas tentang kondisi faktual pemudik. Televisi dan radio membanjiri mediumnya untuk mengabarkan dengan cepat kepada pemirsa di rumah maupun di perjalanan. Mereka menjadi informasi yang ditunggu oleh masyarakat untuk memantau proses perjalanan mudik.
Dialektika kultural
Kementerian Perhubungan menyampaikan tren pergerakan masyarakat secara nasional berpotensi mencapai 71,7% dari jumlah penduduk Indonesia atau sebanyak 193,6 juta orang. Angka tersebut meningkat pesat dibandingkan potensi pergerakan masyarakat pada masa Lebaran 2023 yakni 123,8 juta orang.
Jumlah pergerakan yang besar tersebut, menyebar ke seluruh Indonesia. Ada yang menggunakan transportasi darat, laut dan udara. Gandrungnya masyarakat untuk melakukan mudik tidak lepas dari sisi dialektis secara kultural dan keagamaan.
Idulfitri merupakan perayaan kemenangan umat muslim setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Menahan rasa lapar dan dahaga, serta pantang untuk melakukan dosa dan hal tidak baik lainnya adalah aktivitas umat yang berdimesi kehambaan antara umat dan Tuhannya.
Sementara di sisi yang lain, mudik menjadi perantara masyarakat untuk merebahkan tubuh dan jiwanya kembali kepada kampung halamannya, yang melibatkan budaya, tradisi dan asalmuasalnya. Artinya, dalam mudik ada dimensi dialektika kultural antar pemudik dengan kampung halamannya.
Maka tidak heran, selain pentingnya kembali ke kampung halamannya, mudik juga berarti pada 'jeda' dari aktivitas lelah yang dilakukannya selama di kota-tempat asing yang diakrabinya oleh sebab sosial dan ekonomi.
Keragaman konten
Dialektika kultural inilah yang kadang luput dinarasikan oleh sebagian besar lembaga penyiaran. Benar bahwa lembaga penyiaran sudah bekerja keras untuk memberikan update informasi kepada masyarakat berkenaan mudik, menyampaikan informasi mengenai rest area, menyambungkan imbauan peraturan jalur lalu lintas kepada pengendara. Akan tetapi, tidak melulu secara proporsional pemberitaan informasi dilakukan untuk semua daerah.
Bisa jadi hanya di daerah pulau Jawa sebagai kantong arus mudik paling besar. Sementara di sisi yang lain, notabene yang cukup minimal atau tidak sebesar di pulau Jawa jarang terupdate.
Padahal jika mengacu pada dimensi kultural sebagaimana yang saya maksud, mustinya informasi juga ditampilkan secara proporsional dan berkeadilan. Karena, dengan keragaman budaya di Indonesia, sesungguhnya lembaga penyiaran bisa menjadikannya sebagai ruang penyerbarluasan keunikan dan potensi daerah-daerah di Indonesia.
Artinya bahwa, mudik tidak hanya sekadar perjalanan yang didalamnya berisi kelelahan atau kemacetan. Tetapi juga mengintegralkan dengan sisi budaya yang megah. Sehingga implementasinya tidak hanya tentang lalu lintas di trans jawa, jalur Selatan atau hal lainnya. Akan tetapi juga memotret dengan imbang yang juga terjadi di Sumatera hingga Papua. Dengan demikian, mudik dalam konteks informasi, lembaga penyiaran juga ikut 'menjeda' cara pandang dan kebudayaan yang tersentralisasi.
Sementara di sisi yang lain, banyak aturan yang juga bisa menjadi rujukan dalam mengakomodir kepentingan ini seperti Iklan Layanan Masyarakat atau kewajiban konten lokal di lembaga penyiaran. Termasuk juga, semangat Undang-Undang Penyiaran untuk mendorong demokratisasi penyiaran melalui diversity of content.
Harapannya, peristiwa 'musafir massal' ini bisa menjadi pelatuk untuk mendorong kesadaran inklusif lembaga penyiaran agar menyediakan siaran yang beragam. Bukan hal yang mustahil untuk dilakukan jika pijakannya adalah nilai, tidak melulu mengandrungi tren kepemirsaan.
Selamat mudik. Selamat rebah di pelataran kultur akarnya.
Ubaidillah. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat.
(rdp/rdp)