Kolom

Bukber: Tradisi dan Ironi

Junaidi Abdul Munif - detikNews
Rabu, 03 Apr 2024 11:00 WIB
Jakarta - Buka puasa ditetapkan menjadi warisan dunia tak benda (intangible cultural heritage) oleh UNESCO pada 2023. Iran, Turki, Azerbeijan, dan Uzbekistan adalah empat negara yang mengajukan iftar ke UNESCO untuk dikaji sebagai warisan dunia bukan benda tersebut. Sayangnya, Indonesia tidak termasuk negara pengusul, meskipun tradisi buka bersama, bahkan tradisi di bulan Ramadan di Indonesia, cukup kaya dan berwarna.

Menurut Moller dalam Ramadan di Jawa (2005), tradisi Ramadan di Jawa, misalnya, merentang sejak bulan Sya'ban (nyadran, ziarah ke makam) dan setelah Ramadan (Idul Fitri, halal bihalal). Kita juga memiliki tradisi mudik (pulang kampung) sebagai konsekuensi tumbuhnya masyarakat urban, yang tinggal dan bekerja tidak di kampung masa kecilnya. Budaya ngabuburit semakin menambah Ramadan di Indonesia semakin bernuansa.

Iftar (membatalkan puasa) merupakan peristiwa kolosal yang dialami oleh setiap muslim pada saat Ramadan. Karena hadir saat Ramadan, ada dimensi ibadah dalam buka puasa. Buka puasa adalah batas dibolehkannya melakukan apa yang terlarang selama menjalankan puasa, dari Subuh sampai Maghrib.

Bermula dari Takjil

Dalam buka puasa kita mengenal takjil, yang artinya menyegerakan berbuka. Hal ini selaras dengan anjuran Nabi Muhammad bahwa dalam menjalankan puasa, Nabi SAW senantiasa menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Kemudian takjil menjadi istilah baru untuk jenis makanan yang disantap ketika membatalkan puasa. Istilah "berburu takjil" misalnya sangat akrab di telinga kita sebagai bagian dari "ritual" ngabuburit.

Buka puasa dapat dikategorikan ke dalam dua aspek. Pertama, berbuka dengan takjil, yaitu berbuka dengan makanan ringan (kurma, minuman, dan makanan kecil). Ini yang selaras dengan dhawuh Kanjeng Nabi untuk menyegerakan berbuka dengan dengan tiga biji kurma atau minum, kemudian menjalankan Salat Maghrib.

Kedua, buka puasa dengan makanan berat (nasi, makanan utama pengenyang dan pengembali energi) yang berlangsung setelah menyantap takjil. Dalam masyarakat dengan budaya kerja berat, buka puasa seperti ini mudah ditemui dengan alasan untuk segera mengembalikan stamina yang terkuras pada siang hari.

Kemudian muncul tradisi buka bersama (bukber); sekelompok orang memesan tempat di rumah makan atau rumah seseorang untuk makan berat (nasi, sayur, lauk pauk). Dan tentunya, didahului dengan melakukan santap takjil, minuman yang manis dan menyegarkan.

Berakar dalam Tradisi

Nilai kultural dari bukber berakar jauh dalam tradisi masyarakat komunal, seperti halnya di Indonesia. Masyarakat yang hidup dalam peribahasa Jawa, mangan ora mangan kumpul. Komunalisme menjadi benang merah untuk menyelami budaya bukber. Selain bukber, kita telah lama mengenal tradisi makan bersama dalam hajatan warga.
Dewasa ini bukber menjadi tradisi oleh institusi di Indonesia, baik instansi pemerintah, swasta, maupun ormas dan komunitas.

Bukber di insitusi biasanya juga menjadi sarana untuk membagi THR (tunjangan hari raya), baik berupa parsel lebaran atau "bonus" gaji. Pada Ramadan tahun lalu, Presiden Joko Widodo sempat melarang pejabat dan ASN untuk menyelenggarakan bukber karena alasan masih penanganan Covid-19 dan transisi dari pandemi ke endemi.

Bukber berlangsung semarak pada masa akhir Ramadan, menjelang libur cuti bersama Idul Fitri. Kondisi ini yang membuat antrean di rumah makan mengular, harus pesan tempat dan menu dulu agar tidak kecewa. Secara berseloroh, saya pernah menawarkan ke teman-teman untuk bukber pada awal-pertengahan Ramadan saja, saat tidak banyak antrean. Tapi usul ditolak karena keluar dari pakem.

Tradisi bukber pada akhirnya menjadi tradisi yang memiliki sifat inventif, bahwa komunitas yang tidak menyelenggarakannya akan dianggap keluar dari tradisi (Baso, 2005). Sebagai bagian masyarakat, tentu tidak mau dicap "berkhianat" dari tradisi. Hasrat untuk diakui sebagai anak kandung tradisi mesti ditebus dengan ongkos yang tidak murah, secara material maupun sosial.

Mulai Meredup

Namun, ada ironi yang hadir dalam maraknya bukber. Perkembangan sosial menyebabkan ikatan yang didasari kesamaan profesi dan preferensi organisasi, lebih kuat dibandingkan ikatan kekeluargaan dan ketetanggaan. Hampir kita tidak mendengar acara bukber yang diselenggarakan oleh komunitas tetangga. Kalaupun ada, nyaris lirih terdengar.

Ironi ini dapat kita lihat dalam tradisi halal bihalal; orang berkeliling ke tetangga untuk sungkem, meminta maaf, juga mulai berkurang. Nyaris hanya tetangga dekat dan kerabat yang lebih tua yang kita sambangi rumahnya. Nasib keluarga muda, seringkali hidangan lebaran utuh karena tidak ada yang berlebaran ke rumahnya.

Begitulah, dari hadis Nabi tentang takjil, berkembang sebuah moda kebudayaan buka bersama yang turut menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Bukber adalah peristiwa yang akan menjadi "prasasti sosial" bagi generasi mendatang. Kita tidak tahu, apakah nasib bukber akan seperti tradisi halal bihalal ke tetangga kiri kanan yang mulai meredup. Digantikan reuni dan piknik ke tempat wisata.

Junaidi Abdul Munif pendidik




(mmu/mmu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork