Kasus Bunuh Diri, Mengapa Terus Terjadi?

Kolom

Kasus Bunuh Diri, Mengapa Terus Terjadi?

Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy - detikNews
Selasa, 02 Apr 2024 11:15 WIB
perempuan tergeletak dilantai
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta -

Di tengah hiruk-pikuk politik Tanah Air, tiba-tiba kita dikejutkan dengan kasus bunuh diri yang ekstrem dilakukan satu keluarga di Penjaringan, Jakarta Utara (9/3). Satu keluarga itu "sangat berani" loncat dari gedung lantai 22, sangat menyeramkan!

Apa yang mendorong satu keluarga itu memilih bunuh diri? Mengapa harus bunuh diri? Bukankah hidup ini nikmat?

Bunuh diri adalah tindakan anomali dalam masyarakat yang religius. Idealnya, semakin tinggi religius suatu masyarakat, kasus bunuh diri ini terbilang ganjil. Tapi, mengapa bunuh diri kerap muncul dalam setiap periode waktu dari tahun ke tahun?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hampir setiap negara, kasus bunuh diri selalu eksis. Orang-orang yang memilih bunuh diri tak hanya ada di negara maju, di negara berkembang pun juga membludak meski banyak yang belum terekspos ke permukaan. Kasus bunuh diri ini seperti fenomena gunung es, yang terberitakan ke permukaan hanyalah gundukannya saja. Tapi di balik itu menyimpan bongkahan es yang jauh lebih besar ke dasar laut tapi belum terdeteksi.

Di Indonesia, data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan sepanjang 2022 terdapat 826 kasus bunuh diri.

ADVERTISEMENT

Perspektif Psikologi

Dalam perspektif psikologi, setiap individu adalah unik karena memiliki kekhasan potensi masing-masing untuk berkembang. Namun, kadang ada individu yang mudah tergelincir, tidak mampu bertahan dalam situasi pelik, sehingga pilihan terakhir ialah bunuh diri. Ketergelinciran individu yang memilih bunuh diri adalah karena disebabkan dua faktor yakni internal (masalah kesehatan mental) dan eksternal (situasional - ekonomi).

Dua faktor tersebut saling berkelindan tidak terpisah. Faktor eksternal bisa melemahkan faktor internal individu, maupun sebaliknya. Misalnya tekanan ekonomi (faktor eksternal) yang tidak bisa dikendalikan secara emosional (faktor internal) berakibat mendorong seseorang untuk bunuh diri.

Di sisi lain, faktor internal juga dapat melemahkan faktor eksternal, misalnya stres yang tidak bisa diatasi individu; meskipun hidup bergelimpangan harta, tapi karena stres, pilihan terakhir ialah bunuh diri. Dalam kasus ini dapat kita lihat di negara-negara maju seperti Amerika. Meskipun kehidupan ekonomi masyarakatnya sudah mapan, tapi ada saja individu yang memilih bunuh diri. Mengapa?

Membaca kasus bunuh diri tidak boleh sepenggal-sepenggal. Kasus ini harus kita lihat secara utuh. Untuk menelaahnya, saya coba meminjam gagasan Senge dan Hamilton yang mengembangkan teknik Iceberg Analysis. Teknik ini biasanya digunakan untuk mendeteksi mengapa seseorang menjadi ekstremis, juga dapat dipakai untuk menyelami apa alasan seseorang memilih bunuh diri.

Ada empat tahap yang diterangkan dalam teknik tersebut untuk membaca fenomena bunuh diri. Pertama, sebuah event yakni peristiwa bunuh diri. Kedua, pola dan tren seperti kebiasaan yang tampak. Ketiga, struktur penyebab yakni sistem kebijakan yang "cacat" sehingga memungkinkan seseorang memilih bunuh diri. Keempat, mental model adalah sumber keyakinan yang mendorong individu untuk bunuh diri.

Menyelam ke Dasar Gunung Es

Menelaah kasus bunuh diri menggunakan teknik Iceberg Analysis ini ibarat kita sedang menyelami ke dasar gunung es mulai dari gundukan yang ada di atasnya kemudian masuk ke bawahnya. Semakin kita menyelami satu per satu ke bawah kita akan dapati pola dan trennya. Terus semakin ke dalam, kita akan temui struktur penyebabnya. Turun ke bawah lagi kita akan dapati sumber utama berupa mental model yang mendorong individu memilih bunuh diri.

Kita mulai dari gundukan es di atas yakni peristiwanya adalah fenomena bunuh diri. Peristiwa ini kerap terjadi belakangan ini, dan mungkin ke depan pun akan muncul hal serupa. Bagaimana pola dan tren dari individu yang memilih bunuh diri itu? Ini pertanyaan berikutnya yang musti kita jawab.

Pola dan tren yang berkembang di sekitar tempat tinggal individu adalah kehidupan hedonis-materialistik alias hidup glamor. Lingkungan seperti ini yang memicu seseorang untuk memilih bunuh diri apabila tidak bisa ikut dalam arus desakan hedonis-materialistik tersebut. Misalnya hidup di perkotaan, tuntutan memperindah body image dan citra diri ini cenderung kuat --untuk merealisasikannya harus punya kekuatan finansial.

Ironisnya, individu yang memilih bunuh diri adalah mereka yang tidak punya kekuatan finansial sehingga tidak bisa menunaikan hasrat hidup glamor tersebut. Pola dan tren seperti ini yang memicu seseorang untuk lebih baik bunuh diri saja. Tentu, pola dan tren ini tidak muncul di ruang hampa. Ada struktur penyebab yang turut menguatkan pola dan tren itu terus resisten dalam waktu yang panjang.

Struktur penyebabnya adalah kebijakan pemerintah yang justru turut menguatkan pola dan tren tersebut semakin berkembang. Pada era pasar bebas sekarang ini, tuntutan hidup glamor adalah glory. Sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh pemerintah sekarang ini adalah desakan masuknya pasar bebas dengan segala perabotan yang dibawanya meliputi gaya hidup bebas dan glamor (hedonis-materialistik).

Kemajuan automotif dan teknologi yang ditandai oleh hadirnya mobil-mobil dari segala macam jenis juga mobil listrik, handphone bermerek dan seterusnya, ini semua mewabah di Indonesia tanpa ada kontrol dari pemerintah secara jelas. Ruang pasar bebas yang telah dibuka oleh pemerintah tanpa diberi masa transisi (berupa pengetahuan) bagi masyarakat bersiap-siap menghadapinya, ini justru menjadi bumerang bagi masyarakat yang tidak bisa memilikinya.

Hidup di tengah struktur penyebab seperti itu akan memaksa mental model seseorang untuk mengiyakan bahwa bunuh diri adalah pilihan tepat. Hal ini merupakan sebuah keyakinan dari individu yang tidak mampu resiliensi di bawah tekanan hidup glamor (hedonis-materialistik), apalagi minus kekuatan finansial. Beberapa faktor itulah yang mendorong mengapa seseorang memilih bunuh diri.

Dapat Diantisipasi

Menyelami kasus bunuh diri ini penting agar kita (terkhusus bagi pemerintah) dapat memahami faktor apa saja yang memicu terjadinya bunuh diri dan bagaimana mengantisipasinya. Kasus bunuh diri ini sejatinya dapat kita antisipasi dengan cara melakukan rethinking atas mental model si individu, redesigning sebuah kebijakan, dan reframing yakni memastikan munculnya kebiasaan baru yang nantinya menghasilkan reacting.

Melakukan rethinking atas mental model individu yang ingin bunuh diri ini dapat melalui proses konseling dan/atau psikolog secara profesional. Klien akan diberi intervensi seperti merubah keyakinan irasional menjadi rasional kembali. Ini penting untuk mengerem pilihan untuk bunuh diri. Selain itu, rethinking juga dapat melalui dukungan sosial, pertemanan, dan keluarga.

Kemudian redesigning sebuah kebijakan yang pro terhadap kemaslahatan bersama. Ini juga penting untuk diperhatikan demi mengerem pilihan seseorang untuk bunuh diri. Pemerintah harus merumuskan sebuah program seperti penyuluhan dan pendampingan yang diberi secara gratis kepada masyarakat kelas menengah ke bawah untuk lebih mawas diri dari gempuran teknologi automotif.

Selain itu, kebijakan yang diambil oleh pemerintah juga harus meningkatkan taraf ekonomi masyarakat dalam prinsip "keadilan sosial bagi seluruh rakyat" (sila ke-5 Pancasila), sehingga kesejahteraan itu bernilai kolektif bukan hanya milik masing-masing individu. Salah satu hal yang memicu bunuh diri adalah karena munculnya "jarak sosial" antara orang kaya dan miskin terlalu lebar. Hal ini perlu diatasi melalui redesigning kebijakan oleh pemerintah.

Terakhir, hasil dari semua proses itu adalah terciptanya reframing, yakni kebiasaan baru bagi individu untuk lebih resiliensi meskipun berada di bawah tekanan ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini yang nantinya mengarah pada munculnya reacting (peristiwa baru), yakni tidak muncul lagi kasus bunuh diri. Bukan berarti ke depan kasus ini bakal lenyap. Tapi, paling tidak kita dapat mengantisipasinya sejak awal.

Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy dosen Psikologi IAIN Ambon, Wakil Ketua Bidang Riset dan Inovasi KNPI Provinsi Maluku

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads