Judul Buku: Lelaki Sunni di Kota Syi'ah; Penulis: Iqbal Aji Daryono; Penerbit: Mizan, Januari 2024; Tebal: 191 halaman
Lelaki Sunni di Kota Syi'ah karya Iqbal Aji Daryono (IAD) ini memuat kisah perjalanan IAD mengikuti ziarah Arbain di Irak, peringatan terbunuhnya Sayidina Husain cucu Nabi Muhammad, yang biasanya lekat dengan tradisi umat Syi'ah. Buku ini berisi kombinasi antara petualangan, perjalanan spiritual, renungan-renungan tentang persepsi manusia, dan semangat menjelajah sebagai ikhtiar pemenuhan dahaga akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada.
Dan, konon ini adalah buku pertama di Indonesia yang merupakan kesaksian atas apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan penulis langsung setelah kurang lebih sepuluh hari berjalan kaki dari Najaf ke Karbala, berbaur bersama jutaan orang Syi'ah. Judul bukunya mengingatkan saya pada kisah "Kesaksian Mantan Agen Syi'ah yang Menyusup ke Indonesia". Kisah itu ada di buku catatan perjalanan perdana IAD: Out of The Truck Box, yang terbit pada 2015 silam.
"Kesaksian Mantan Agen Syi'ah yang Menyusup ke Indonesia" menceritakan tentang masuknya para pengungsi Afganistan ke Balikpapan dan Pekanbaru yang kemudian melahirkan syak-wasangka bahwa mereka adalah pasukan rahasia Syi'ah yang akan men-syi'ah-kan Indonesia. Nah, di buku setebal seratus sembilan puluhan halaman ini pun kurang lebihnya juga sama, IAD berupaya meluruskan stereotip yang menurut sudut pandangnya keliru.
Memang sudah banyak informasi yang beredar mengenai mazhab Syi'ah lengkap dengan segala macam tradisi dan laku-laku ritual spiritualnya, namun sudut pandang IAD yang seringkali di luar kelaziman selalu memiliki daya pikat tersendiri sehingga saya pun penasaran dengan isi buku ini. Lagi pula saya juga tak ingin menjadi pemamah informasi yang pilih kasih.
Tapi karena separuh bukunya berisi foto-foto eksklusif anti-mainstream hasil jepretan IAD sendiri (yang tidak akan ada jika dicari di Google), saya malah jadi tertarik menyimak cerita jalan-jalannya dan kisah perjumpaannya dengan jenderal penggempur ISIS, alih-alih peduli dengan urusan fitnah-fitnah dan stigma buruk tentang Syi'ah yang dituturkannya. Saya pikir, perdebatan seputar Sunni-Syi'ah ini tidaklah lebih dari sekadar isu usang yang diulang-ulang.
***
Saya sepakat saat ada yang berpendapat bahwa strategi naratif IAD begitu mengagumkan. Ya, terkadang satu hal yang pada awalnya dibuat kokoh, mendadak dibatalkan, lalu didirikan lagi, kemudian diambrukkan. Betul-betul menakjubkan, dan tidak banyak penulis yang bisa seperti itu.
Dari detail yang dinarasikannya, saya seakan bisa merasakan terik langit yang memanggang sekujur badannya di sepanjang perjalanan. Juga seakan bisa merasakan ketakutannya, dengan berkamuflase dan tidak nekat show off melaksanakan ibadah salat ala Sunni sendirian di tengah ribuan umat Syi'ah. Sebab, itu terkesan provokatif sekali kan? Bagaimana jika nanti dia disangka mau macam-macam di kampung orang, lalu dipukuli dan diarak beramai-ramai?
Saya merasa seperti benar-benar sedang berada di sana, pada hari paling ajaib dalam hidupnya, hanya dengan membaca tulisan-tulisannya. Bahkan, saya seolah turut merasakan suasana hatinya saat dia menuliskan: "Muhammad Iqbal! Muhammad Iqbal!" Ahmed berteriak. "Do you wanna fly? Do you wanna ride helicopter?" (halaman 166)
***
Dari gambar kaver dan judulnya, sekilas buku terbitan Mizan ini terkesan sebagai bacaan yang berat. Namun berkat kepiawaiannya dalam ber-storytelling, lalu disempurnakan dengan gaya penulisan yang keren khas sang penulis, IAD mampu menyulap tema yang serius menjadi lebih santai, mengalir, dan enak dinikmati.
Kedalaman dan luasnya cakrawala pemikirannya dalam memandang setiap persoalan seringkali disamarkannya melalui kalimat-kalimat sederhana dan bahasa ringan yang mudah dipahami. Sisipan cerita-cerita recehnya lumayan menghibur, setidaknya membuat saya merasa seakan sedang membaca tulisan-tulisan IAD di media sosialnya. Seperti ketika sedang seru-serunya membahas ritual salat ala Syi'ah, lalu tiba-tiba dia iseng membicarakan fenomena pinjol di Najaf dan Karbala. Hufff...
Juga celetukan-celetukan konyolnya saat menuliskan keterangan gambar. Ya masa sih di kios pernak-pernik religius Karbala, dia malah cuma mau mencari magnet kulkas? Saat dia menunjukkan foto seorang pria pembawa bendera pun, alih-alih memberi caption yang lebih serius, eh malah dia menuliskan: "Paman datang dari desa. Bukan membawa rambutan dan pisang, melainkan memanggul panji perjuangan."
Belum lagi soal "Bang, satenya dua ratus tusuk, Baaang!" Sate klathak, wedang secang, dan lagu Denny Caknan pun turut dibawa-bawa ke dalam buku bertema Karbala, bagaimana saya nggak senyum-senyum sendiri coba?
Dan, bayangkan saja, di mozaik yang berjudul Tarian Asing, bisa-bisanya dia dengan usilnya menuliskan: "Ketika syair dengan nada rancak mulai dirapalkan, rantai dengan pisau-pisau tajam itu pun diayunkan ke arah punggung si pemegang sendiri, melayang cepat, daaan...Ups, enggak jadi, hehe. Maaf, yang barusan itu saya gambarkan dengan lebay semata untuk memenuhi imajinasi Anda tentang ritual Syi'ah berdarah-darah." (halaman 130)
Menggemaskan, bukan?
***
Bagi IAD, perjalanannya ke kota-kota suci umat Syi'ah itu telah membuka matanya atas selubung yang mengaburkan banyak hal, yang selama ini membuat prasangka merajalela. Bisa dibilang ini adalah perjalanan untuk membongkar kesalahpahaman, sebelum akhirnya dikemas menjadi sebuah buku penuh foto dan cerita yang sarat dengan spirit menahan diri dari membudayakan prasangka.
Tentu saja saya tidak hendak mengatakan bahwa semua itu sia-sia belaka, tapi tak peduli seberapa gigih upaya untuk menghalaunya, prasangka tetaplah prasangka. Dia akan terus ada menjadi bagian dari kehidupan. Bukankah dengan menyangka orang lain berprasangka, itu juga sebuah prasangka? Dan, bukankah prasangka itu lahir semata-mata karena orang lain melihat dari sudut pandang yang berbeda?
Informasi-informasi dengan bingkai tertentu terus membentuk kedangkalan-kedangkalan sudut pandang yang kemudian berjejalan menjadi asupan, tak henti mewarnai alam pikiran kita. Memang teramat nista jika kita membiarkan seluruh ruang di dalam otak kita dipenuhi prasangka. Tapi kalau cuma menyisakan secuil saja, barangkali akan berbeda. Bahkan, mungkin itu akan membatu kita agar tetap terjaga dan menjadikan kita lebih utuh sebagai manusia. Manusia dengan segala keterbatasannya, termasuk keterbatasan dalam kemampuan menepis segala prasangka.
***
Dalam batas-batas tertentu, hampir semuanya pasti sepakat bahwa perbedaan adalah rahmat. Tapi bukan IAD namanya kalau tidak melakukan lompatan-lompatan yang seringkali menerobos batas dengan menggugat asumsi-asumsi yang diyakini publik. Meski dia sadar betul bahwa sikap seperti itu membutuhkan nyali baja, membutuhkan orang yang tegar dan siap di-bully massa, dan membutuhkan orang yang cukup rese untuk menjalankannya. Dan, sialnya dia memenuhi semua kriteria itu.
Melalui buku ini, IAD menyuguhkan perspektifnya tanpa memaksa kita harus menyepakatinya. Sebab, menurutnya sikap-sikap ngotot memaksakan salah satu versi kebaikan dan nilai-nilai subjektif kita kepada orang lain merupakan penyebab bermunculannya konflik demi konflik.
Meski sebenarnya apa yang dia dapatkan selama perjalanan ini lebih untuk dirinya sendiri, tapi mudah-mudahan pesan perdamaian dan persaudaraan yang tersirat di dalamnya bisa lebih sampai ke pembaca, ketimbang sisi kontroversinya. Oh ya, ada satu pesan penting lainnya terkait egoisme spiritual: Kita mungkin tidak berebut harta, tapi berebut masuk surga. Betapa banyak kasus egoisme spiritual di sekitar kita yang pada akhirnya menciptakan arogansi tanpa disadari.
Sejujurnya, ada beberapa kawan yang sempat mengingatkan agar saya lebih berhati-hati dalam memilih bacaan. Tapi, rasa-rasanya kekhawatiran mereka itu agak berlebihan. Toh saya memandang Lelaki Sunni di Kota Syi'ah ini sekadar sebagai buku catatan perjalanan semata, bukan sebagai kitab suci yang sepenuhnya bisa saya yakini kebenarannya.
Namun, ada satu hal yang diam-diam saya yakini: bahwa IAD adalah sosok seorang anak yang patuh, sangat menghormati dan begitu menyayangi ibundanya (yang Muhammadiyah tulen itu). Selama Sang Ibu masih Muhammadiyah, saya percaya IAD tidak akan berani main-main dengan akidahnya.
Miki Loro Mayangsari ibu dua anak, tinggal di Surabaya
(mmu/mmu)