Membayangkan Hari Tua
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membayangkan Hari Tua

Selasa, 20 Feb 2024 13:30 WIB
Surya Al Bahar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
A lonely man is sitting on the bed
Foto ilustrasi: Getty Images/Nes
Jakarta -

Tiap kali ditanya soal makanan favorit, saya selalu menyebut dua makanan, bakso dan mie ayam. Tidak begitu jelas juga apa alasannya, tetapi dua makanan itu membuat lidah saya tidak memiliki alasan untuk menolaknya. Saking sukanya, ketika saya menetap agak lama di suatu daerah, saya wajib mencicipi mie ayam di daerah itu. Kalau enak, mie itu akan jadi langganan. Jika kurang enak, saya akan cari lagi sampai bertemu mie ayam yang enak dan pas di lidah saya.

Bertandang ke banyak tempat makan, terutama mie ayam, tentu saya menemukan beragam keunikan. Baik dari tempatnya, penjualnya, sampai makanannya. Kadang tempatnya biasa, tetapi penjualnya ramah. Ada yang penjualnya biasa, tetapi tempatnya menarik. Ada juga penjual dan tempatnya biasa, tetapi makanannya enak. Meski begitu, bagaimanapun perspektif keunikannya, soal rasa mie-nya itu yang dicari para pelanggan. Apalagi dipadu dengan penjual dan tempatnya yang mendukung.

Belum lagi ketika para pembeli itu bercerita ke orang lain. Otomatis ia jadi marketing tanpa dibayar. Ia sukarela promosi ke mana-mana. Tanpa sadar, berkat marketing tanpa dibayar itu, jualan bisa laku besar, karena kekuatan mulut sifatnya menyambung dan tanpa henti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti warung mie ayam yang pernah saya kunjungi. Tempatnya tidak terlalu besar, tetapi penjualnya terbilang ramah. Rasa mie-nya sama seperti mie pada umumnya. Tidak terlalu menonjol dari segi keunikan rasanya. Kalau ramai, mungkin hanya bisa diisi sekitar sepuluh orang. Penjualnya suami istri berusia senja, sudah punya cucu tiga. Mereka tinggal serumah hanya berdua. Anaknya sudah menikah semua dan punya rumah masing-masing.

Di samping warung itu, mereka juga berjualan es sari tebu. Biasanya dijaga suaminya. Sedangkan yang warung mie dijaga istrinya. Mereka terlihat sangat kompak dan saling membantu. Saat itu saya sendiri yang datang sebagai pembeli. Sepanjang ia membuat mie sampai saya selesai makan, ia tak henti-hentinya bercerita. Apa saja dia ceritakan. Saya amati ceritanya dari awal sampai akhir, ia lebih banyak bercerita tentang anak-anaknya.

Dari ceritanya, dia terlihat sangat bangga dengan perjuangan anak-anaknya. Dari belum menikah, sampai menikah, setelah itu punya anak. Lanjut lagi punya rumah. Belum lagi ia bercerita tentang cucunya yang berumur sepuluh tahun itu. Lebih panjang lagi ceritanya. Bisa-bisa tidak selesai-selesai ceritanya.

ADVERTISEMENT

Namanya orang tua bercerita ke anak muda, maka ia tidak hanya bercerita, melainkan juga memberikan petuah yang bersumber dari pengalaman-pengalamannya, baik pengalamannya sendiri atau pengalaman orang lain. Cukup lama saya di tempat itu. Tidak ada satu pun orang datang lagi. Saya tidak punya cara menghentikan ceritanya. Sebagai orang yang lebih muda, yang bisa saya lakukan hanya mendengarkan.

Sekali-kali saya tanggapi jika ceritanya berhubungan dengan apa yang saya alami. Selebihnya saya hanya fokus mendengarkan, senyum-senyum, dan menganggukkan kepala. Di situ saya mulai teringat, tugas anak ketika pulang ke rumah orangtua tidak lain hanya untuk mendengarkan cerita mereka. Makanya, pada masa senja orangtua, anak sebisa mungkin hadir mendampingi mereka. Pada masa-masa itu, mereka hanya sekadar butuh teman bercerita.

Kisah Cinta

Gina S. Noer dalam film Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga sedikit mencuplik fenomena kehidupan orangtua pada masa senjanya. Bagaimana di film itu Linda dan Dewa masing-masing orangtua yang dirawat anak-anak mereka. Raja sebagai anak terakhir Dewa mau tidak mau harus mengorbankan dirinya untuk merawat ayahnya, meski ia sendiri ingin hidup mandiri seperti kakak-kakaknya. Sedangkan Asia anak Linda sadar bahwa ia memang harus menemani sisa hidup ibunya karena penyakit yang diderita.

Ketika Dewa bertemu Linda, mereka ternyata jatuh cinta. Usia tua tidak menghalangi mereka memadu cinta. Sebagai anak, Raja ikut senang karena ayahnya bisa menemukan cintanya lagi. Menurutnya, dengan cinta orang akan merasa lebih bahagia. Tidak bergantung berapa umurnya. Ia merelakan ayahnya untuk menikah lagi. Meski Asia semula ragu, berkat Dewa, lama-lama Asia menyetujui kesepakatan cinta kedua orangtua mereka.

Di film itu sebenarnya ada dua kisah cinta, antara Linda-Dewa dan Raja-Asia. Kisah cinta orangtua dan anak-anaknya. Namun saya tidak membahas kedua cinta mereka, melainkan bagaimana cerita Linda-Dewa pada masa tuanya dan konflik dengan anak-anak mereka.

Mereka punya anak-anak yang sabar menemani orangtuanya. Mulai dari menemani dan merawat Linda dari penyakitnya sampai pada puncaknya Dewa melakukan kecerobohan ketika malam-malam ia ditipu orang untuk mengirim sejumlah uang yang lumayan besar. Saat itu ia tidak tahu kalau ditipu orang.

Ia tiba-tiba ditelepon orang tidak kenal. Orang itu menipu dengan membuat cerita bohong kalau Raja kecelakaan. Sebagai orangtua tentu kaget mendengar cerita itu. Spontan ia langsung mengirimkan uang kepada penelepon tersebut. Lalu tiba-tiba paginya Raja pulang dengan keadaan sehat, tidak mengalami kecelakaan apapun.

Dari situ, Dewa merasa orangtua yang selalu merepotkan anak-anaknya. Akhirnya ia memutuskan pergi ke panti jompo. Ia tinggal di sana. Ia merasa di sana banyak teman. Tidak lagi merepotkan anak-anaknya. Ditambah lagi ada banyak orang seusianya, sehingga banyak orang yang bisa memahaminya.

Bayangkan, jika masa senja orangtua tidak ada anak di rumah. Mereka dibiarkan tinggal di rumah sendirian, lantas kepada siapa mereka bercerita? Apa yang saya alami tadi dengan penjual mie ayam itu karena ia merasa tidak punya teman bercerita. Jadi, ketika ada orang seusia anaknya, ia akan menganggap orang itu sebagai anaknya. Saat itu juga ia akan bercerita banyak hal. Menganggap sedang bercerita ke anaknya.

Logika sederhananya, orangtua bisa merawat anak-anaknya, berapapun jumlahnya, tetapi anak banyak belum tentu bisa merawat kedua orangtuanya.

Ahmad Baharuddin Surya tinggal di Lamongan, pengajar di Sekolah Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads