Mungkinkah Presiden Jokowi Dimakzulkan?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mungkinkah Presiden Jokowi Dimakzulkan?

Kamis, 25 Jan 2024 13:30 WIB
Rino Irlandi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Joko Widodo saat penyerahan Bantuan Program Indonesia Pintar tahun 2024 di Lapangan Tenis Moncer Serius GOR Samapta Kota Magelang, Senin (22/1/2024).
Presiden Jokowi (Foto: dok. Youtube Sekretariat Presiden)
Jakarta - Wacana melengserkan Presiden Jokowi tengah bergulir. Wacana itu mulai mencuat ketika Petisi 100 menemui Menko Polhukam Mahfud MD di kantornya. Menurut pemberitaan di berbagai media, Petisi 100 meminta Mahfud MD untuk memakzulkan Presiden Jokowi.

Istilah memakzulkan mengandung arti sebagai pencopotan pejabat publik dari jabatannya. Pencopotan itu dilakukan sebelum habis masa jabatannya. Artinya, permintaan Petisi 100 bermakna bahwa mereka ingin jabatan Jokowi sebagai Presiden dicopot sebelum Presiden baru dilantik pada 20 Oktober 2024 mendatang.

Bergulirnya wacana itu memantik tanggapan kritis dari berbagai pihak. Salah satu tanggapan dilontarkan oleh Jimly Asshiddiqie. Melalui akun X-nya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyebut permintaan tersebut sebagai proposal yang aneh.

Keanehan baginya disebabkan karena ketidakmungkinan pemakzulan untuk dilakukan. Bahkan, ia menyebut ide pemakzulan itu sebagai pengalihan perhatian. Menurutnya, isu itu timbul dari ketakutan akan kekalahan dalam pemilu.

Pihak istana pun tidak luput dari menanggapinya. Diwakili oleh Koordinator Staf Khusus Presiden, pihak istana mengistilahkan proposal pemakzulan itu sebagai mimpi politik belaka. Hal ini karena ketidakmungkinan untuk dilakukannya pemakzulan di tengah kondisi semua orang fokus pada pemilu.

Tanggapan lain datang dari Yusril Ihza Mahendra. Ahli hukum tata negara terkemuka itu mengatakan proposal pemakzulan sebagai inkonstitusional. Sebab, baginya sulit untuk menemukan pelanggaran konstitusional yang dilakukan presiden sebagai alasan pemakzulan.

Saya sejalan dengan para pengkritik itu. Proposal pemakzulan salah alamat. Petisi 100 seharusnya mengajukan proposal itu kepada DPR, bukan Mahfud MD selaku Menko Polhukam. Ini sesuai dengan prosedurnya yang diatur pada Pasal 7B ayat (1) UUD NRI 1945.

Tapi, mari kita bayangkan jika proposal pemakzulan itu benar-benar diajukan kepada DPR. Bagaimana peluang lengsernya Jokowi dari jabatannya sebagai Presiden? Apakah Presiden Jokowi akan "pensiun dini" sebelum waktunya? Atau, jangan-jangan, proposal pemakzulan itu hanyalah mimpi di siang bolong?

Tidak Mungkin

Pertama-tama, saya ingin menegaskan posisi saya pada kasus ini. Saya berpendapat bahwa wacana pemakzulan tidak mungkin terealisasi. Oleh karena itu, apa yang diharapkan oleh Petisi 100 hanyalah angan-angan belaka. Presiden Jokowi tak akan lengser sebelum 20 Oktober 2024.

Untuk alasannya, saya ingin kita menyiginya dari aspek prosedural dan substantif. Kedua aspek yang dimaksudkan berkaitan dengan hukum dan politik pemakzulan presiden. Dimana secara substantif pelanggaran hukum menjadi satu-satunya alasan presiden dapat dimakzulkan.

Merujuk pada 90 persen konstitusi presidensial dan semi-presidensial secara global, pelanggaran hukum itu terbagi pada berbagai klausul. Biasanya, mereka terbagi menjadi klausul ketidakmampuan, tindakan kriminal atau kejahatan pidana, dan dasar pelanggaran hukum lainnya. Bagaimana dengan Indonesia?

Saat merumuskan perubahan UUD NRI 1945, anggota PAH I BP MPR merumuskan klausul tentang pemakzulan presiden. Klausul itu dinormakan menjadi constitutional article. Ia berisi sebab-sebab yang dapat menjadi alasan seorang presiden dimakzulkan. Berbagai alasan itu ada pada Pasal 7A UUD NRI 1945.

Menurut Pasal 7A UUD NRI 1945, penyebab presiden dapat dimakzulkan adalah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pertanyaannya, apakah Jokowi melakukan salah satu pelanggaran tersebut?

Dalih yang dilontarkan Petisi 100 untuk memakzulkan Jokowi adalah cawe-cawe yang dilakukannya jelang Pemilu 2024. Tanpa analisis yang mendalam, jika alasannya hanya ini, maka tentu ia tidak memenuhi semua unsur pelanggaran hukum yang disyaratkan. Kecuali, ditemukan bukti bahwa cawe-cawe itu diikuti dengan pelanggaran hukum lainnya yang memenuhi unsur Pasal 7A UUD NRI 1945.

Sementara itu, dari aspek prosedural, pemakzulan presiden adalah proses politik yang berat. Butuh dukungan politik yang besar untuk merealisasikannya. Kesulitan prosedural itu dibuktikan dengan hasil studi tentang proposal pemakzulan presiden di berbagai negara yang didominasi oleh kegagalan.

Menurut data Tom Ginsburg, Aziz Hug, dan David Landau (2019), antara 1990 dan 2018 setidaknya ada 210 proposal pemakzulan di 63 negara. Proposal pemakzulan itu diajukan untuk melawan 127 kepala negara yang berbeda. Hasilnya, hanya 10 proposal pemakzulan yang berhasil mencopot presiden dari jabatannya.

Upaya-upaya yang berhasil itu terjadi pada Fernando Collor, Carlos Andres Perez, Albert Zafy, Alberto Fujimori, Joseph Extrada, Gusdur, Rolandes Paksas, Fernando Lugo, Dilma Rouseff, dan Park Geun-Hye. Sementara, sisanya harus gugur baik pada tahap proposal, pemungutan suara, kepala negara meninggalkan jabatannya sebelum dimakzulkan dan tahap-tahap lainnya.

Tingkat kesulitan prosedural itu terletak pada kesulitan untuk mengumpulkan dukungan dari anggota parlemen. Apalagi di Indonesia, awal dan pemutus akhir pemakzulan ada di tangan parlemen. Sehingga, dukungan dari anggota parlemen mutlak dibutuhkan untuk mengawali proses pemakzulan dan merealisasikannya.

Dukungan parlemen terhadap pemerintahan Presiden Jokowi saat ini mencapai 81,9 persen. Secara kuantitatif, angka itu mencapai 471 kursi dari total 575 kursi di DPR. Karenanya, dengan dukungan mayoritas yang tinggi dari parlemen secara prosedural pemakzulan tidak mungkin terjadi.

Memang, pada Pemilu 2024 ini parpol pendukung Pemerintahan Jokowi terpecah. Namun, hal itu tidak dapat ditafsirkan sebagai penarikan dukungan terhadap pemerintahan Jokowi. Karena, masing-masing parpol pendukung hingga kini masih memiliki kursi kementerian di Kabinet Pemerintahan Jokowi.

PDI-P yang akhir-akhir ini tidak sejalan dengan Jokowi pun tak dapat dipastikan akan mendukung proposal pemakzulan jika benar-benar diajukan. Sebab, hal itu akan berdampak pada politik elektoralnya. Sebagai parpol pengusung utama Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019, parpol besutan Megawati itu akan dinilai tidak kompeten mengajukan capres sehingga suaranya akan merosot pada Pemilu 2024 ini.

Oleh karena itu, Presiden Jokowi dalam posisi yang aman. Ia tak akan lengser sebelum waktunya. Hanya saja, posisi aman itu bukan berarti ia bebas melakukan pelanggaran hukum. Karena, jika pelanggaran itu terjadi, pemakzulan akan menjadi pedang yang memotong masa jabatannya.

Rino Irlandi mahasiswa Program Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, intern di Firma Themis Indonesia, penerima beasiswa LPDP Kemenkeu

Simak juga 'Respons Anies dan Gibran soal Jokowi Sebut Presiden Boleh Memihak':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads