Mimbar Mahasiswa

Memperjelas Arah RUU EBET

Ralfy Ruben Rialdi, Adrian AL-Farisi - detikNews
Selasa, 12 Des 2023 16:19 WIB
Rapat Komisi VII DPR bahas RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) (Foto: Achmad Dwi Afriadi/detikcom)
Jakarta -

Pemerintah dan DPR kembali membahas RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan dalam rapat kerja Menteri ESDM dan Komisi VII, 20 November 2023, dan menargetkan RUU tersebut disahkan tahun depan. Draf RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) saat ini masih dalam tahap pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) sebanyak 574 nomor.

Pada DIM versi pemerintah pada Januari 2023, ada perubahan yaitu rincian 52 pasal, 10 pasal tetap, dan menambah 11 pasal baru. Sayangnya, perubahan dan penambahan itu masih belum menjawab kritik yang selama ini disampaikan publik atas draf RUU EBET.

Pemerintah tetap mendukung pasal-pasal yang dianggap kontraproduktif dengan pengembangan energi terbarukan seperti pengaturan "energi baru" berbasis bahan bakar fosil. DIM pemerintah juga menghapus rincian sumber energi baru dalam Pasal 9 ayat 1 dan memindahkan ketentuannya ke peraturan pemerintah (PP). Kita tahu, praktik perumusan PP selama ini lebih sulit dikontrol mengingat sangat minim keterlibatan publik dibanding penyusunan UU.

Pemerintah juga malah semakin memberi ruang bagi energi fosil, melalui perubahan Pasal 6 ayat 5, menjadi Pasal 7 ayat 6: jika ketersediaan EBET belum cukup untuk sistem kelistrikan setempat, transisi energi akan dilakukan menggunakan energi tak terbarukan dengan mengandalkan teknologi penurun emisi. Padahal, penggunaan energi fosil dan turunannya secara terus menerus akan merugikan masa depan Indonesia, anak-anak muda, dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan dan kesehatan.

Lapangan Pekerjaan

Pasal 3 huruf i RUU EBET versi DIM pemerintah: Penyelenggaraan EBET bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Masalahnya, menggunakan "energi baru" berbasis fosil tidak sejalan dengan target penurunan emisi yang dapat memperparah krisis iklim dan mengurangi peluang terciptanya lebih banyak pekerjaan.

Bagi kami anak muda, pekerjaan adalah isu krusial. Dalam survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sebanyak 91% responden yang disurvei berpendapat, lapangan kerja bagi pencari kerja masih sulit.

Laporan Youth Skills di ASEAN menyoroti, angka kehilangan pekerjaan di kalangan anak muda 6,2%, lebih besar dari angka kehilangan usia dewasa 2,8%. Tingkat pengangguran anak muda Indonesia tertinggi di ASEAN. Setidaknya 1 dari 5 orang usia kerja muda di Indonesia menganggur, dengan tingkat pengangguran hampir 7%, lebih tinggi dari rata-rata global.

Ketika perekonomian dunia mulai bangkit, kondisi anak-anak muda belum membaik, merujuk laporan World Employment Trends 2023. Kaum muda dalam angkatan kerja punya kemungkinan tiga kali lebih besar untuk menganggur dibanding orang dewasa, dan menghadapi kesulitan besar dalam mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan layak.

Meninggalkan bahan bakar fosil ketika membangun sistem energi akan memainkan peran penting bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Riset International Renewable Energy Agency (IRENA) 2023 mengenai dampak ekonomi sosial energi terbarukan di Indonesia memperkirakan, tambahan lapangan kerja baru dari transisi energi 1,88 juta, hampir menyamai pekerjaan yang hilang dari bahan bakar fosil 1,94 juta.

Riset World Resource Institute (WRI) menunjukkan, investasi di energi terbarukan akan menghasilkan lebih banyak pekerjaan dibanding energi berbasis fosil. Dengan investasi yang sama, energi surya menciptakan 1,5 kali pekerjaan lebih banyak.

Mengingat salah satu tujuan diselenggarakan EBET adalah untuk menciptakan lapangan pekerjaan, pemerintah dan DPR jelas salah langkah jika mengesahkan energi tak terbarukan dan memasukkan "energi baru" dalam peta jalan transisi energinya.

Kesehatan

Dalam draf RUU EBET versi DIM pemerintah, isu kesehatan disebut-sebut di antaranya pada penjelasan Pasal 53 dan Pasal 54 yang mengatur harga jual EBET: harga jual EBET ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mempertimbangkan nilai keekonomian dan tingkat pengembalian yang wajar bagi badan usaha.

Bagian penjelasan kedua pasal itu menyatakan, frasa "nilai keekonomian" mempertimbangkan manfaat lingkungan, manfaat sosial, manfaat kesehatan, dan manfaat penurunan emisi gas rumah kaca. Masalahnya, bahan bakar fosil sendiri berkontribusi terhadap peningkatan emisi.

Menurut Menteri ESDM, sektor energi menyumbang 38-40% dari total keseluruhan emisi karbon secara nasional atau setara lebih dari 450 juta ton CO2 per tahun, yang mengakibatkan berbagai dampak kesehatan bagi manusia. Laporan IRENA (2023) menyebutkan, biaya kesehatan di Indonesia akibat energi fosil mencapai angka USD 207,3 per orang, melebihi rata-rata Asia Tenggara. Tanpa intervensi memajukan energi terbarukan, biaya ini diprediksi meningkat.

Laporan International Institute for Sustainable Development (IISD) bertajuk The Health Cost of Coal in Indonesia menunjukkan, beban kesehatan akibat polusi udara akibat batu bara lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia, dan diperkirakan naik signifikan dengan dibangunnya PLTU batu bara baru. Tren bauran PLTU batu bara kita juga terus naik, dari 60,28% (2018) hingga 67,21% (2022).

Mengacu temuan-temuan itu, nilai keekonomian dalam konteks "manfaat kesehatan", jelas tidak diperoleh jika menggunakan "energi tak terbarukan" dan "energi baru" berbasis fosil. Kami mendesak pemerintah mempertimbangkan isu lapangan pekerjaan dan kesehatan sebagai faktor yang memperjelas arah RUU EBET untuk fokus pada energi terbarukan dan tidak tersesat ke dalam narasi usang energi kotor.

Ralfy Ruben Rialdi Bendahara Umum BEM FMIPA UI 2023 dan Adrian AL-Farisi Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2023




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork