Hubungan Dokter-Pasien dalam Putusan Pengadilan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Hubungan Dokter-Pasien dalam Putusan Pengadilan

Rabu, 08 Nov 2023 17:03 WIB
Wahyu Andrianto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilsutrasi pasien dan dokter
Ilustrasi: Thinkstock
Jakarta -

Benediktus Alvaro Derren mengalami mati batang otak setelah menjalani operasi amandel di sebuah rumah sakit, Selasa (19/9). Keluarga menduga ada salah prosedur operasi. Benarkah telah terjadi malpraktik medis dalam hal ini? Untuk menjawabnya, menarik apabila dianalisis karakteristik hubungan pasien-dokter dalam putusan pengadilan. Beberapa karakteristik hubungan pasien-dokter dalam putusan pengadilan adalah sebagai berikut:

Karakteristik Dasar

Hukum perikatan pada dasarnya membagi perikatan berdasarkan prestasi yang diperjanjikan. Hubungan dokter-pasien merupakan perikatan, yaitu hubungan antara dua subjek hukum yang meliputi pasien dan dokter. Berdasarkan prestasinya, perikatan dibedakan menjadi inspanningsverbintennis dan resultaatsverbintennis.

Inspanningsverbintennis
merupakan perikatan yang prestasinya berupa upaya maksimal. Sedangkan, resultaatsverbintennis merupakan perikatan yang prestasinya berupa hasil. Mayoritas masyarakat Indonesia beranggapan bahwa hubungan pasien-dokter sifatnya adalah resultaatsverbintennnis, yaitu memperjanjikan hasil.

Anggapan mayoritas masyarakat Indonesia bahwa hubungan hukum pasien-dokter bersifat resultaatsverbintennis salah satunya terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 325/Pdt.G/2017/PN.Sby.

Hubungan pasien-dokter sifatnya inspanningsverbintennis. Artinya, dalam hubungan ini yang dititikberatkan adalah upaya maksimal dari dokter berdasarkan keilmuan dan pengalaman dalam bidang medis. Upaya maksimal yang selaras dengan standar --standar profesi, standar pelayanan medis, dan standar operasional prosedur (SOP).

Beberapa putusan pengadilan mempertegas hubungan yang bersifat inspanningsverbintennis antara pasien-dokter, di antaranya adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim, Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 72/Pdt.G/2020/PN Mks, dan Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG.

Risiko Medis dan Kesalahan Pasien

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Resiko medis merupakan faktor internal yang berasal dalam diri atau tubuh pasien yang berpotensi menyebabkan tindakan medis mengalami kegagalan. Meskipun tindakan medis telah sesuai dengan standar, potensi munculnya risiko medis tetap ada. Dalam setiap tindakan medis, selalu terkandung risiko medis. Risiko medis tidak dapat dihilangkan, namun dapat diupayakan untuk diminimalisasi dan diupayakan pertolongan darurat untuk mengatasinya.

Beberapa risiko medis yang berpotensi muncul dalam tindakan medis di antaranya Steven Jhonson Syndrome (Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI); kondisi pasien yang mengalami pendarahan pada batang otak (Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk, Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 22/PDT/2020/PT.Ptk); kondisi kanker yang telah menyebarluas sehingga diperlukan tindakan perluasan operasi untuk menyelamatkan pasien (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt); risiko medis yang terkandung di dalam tindakan medis berupa anestesi (Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng); pendarahan dan komplikasi (Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas IA Nomor 176/Pdt.G/2021/PN Blb).

Bahkan, risiko medis dapat terjadi karena tindakan medis yang tergolong sederhana, yaitu pemasangan infus (Putusan Pengadilan Negeri Tebo Nomor 13/Pdt.G/2020/PN Mrt). Faktor usia pasien (usia pasien yang terlalu tua) dan kondisi kesehatannya juga berpengaruh terhadap terjadinya risiko medis (Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 415/Pdt.G/2019/PN Sby, Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 277/PDT/2020/PT.SBY). Keberadaan risiko medis semakin mempertegas bahwa hubungan pasien-dokter bersifat inspanningsverbintennis dan bukan resultaatsverbintennis karena tidak dapat diberikan jaminan keberhasilan terhadap hasil dari tindakan medis.

Penyebab kegagalan tindakan medis lainnya adalah karena kontribusi kesalahan pasien, atau dikenal dengan istilah contributory of negligence. Beberapa putusan pengadilan menunjukkan adanya kontribusi kesalahan pasien yang menyebabkan kegagalan dalam tindakan medis:

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI (pasien hanya sekali melakukan konsultasi medis); Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 182/Pdt.G/2016/PN.JKT.TIM (pasien tidak mematuhi rujukan); Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG (pasien berobat ke tempat lain); Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 369/Pdt/2015/PT Bdg (pasien tidak mengikuti fisioterapi); Putusan Pengadilan Negeri Madiun Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad (pasien telah ditangani oleh klinik dan pengobatan tradisional); Putusan Pengadilan Negeri Sangatta Nomor 511/Pdt.G/2019/PN Sgt dan Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda Nomor 152/PDT/2019/PT (pasien mengalami pembengkakan mata karena tangannya menusuk-nusuk matanya, tidak menjaga kebersihan, dan tidak melakukan kontrol medis); Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas IA Nomor 176/Pdt.G/2021/PN Blb (penyampaian informasi yang tidak jujur dari pasien).

ADVERTISEMENT

Beberapa kontribusi kesalahan pasien dijadikan pertimbangan hukum oleh majelis hakim dalam memberikan putusan akhir sehingga majelis hakim dalam putusan akhirnya menyatakan menolak Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dengan mendasarkan pada adanya kontribusi kesalahan pasien. Beberapa putusan tersebut adalah sebagai berikut: Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Bandung Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.Bdg; Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 3571 K/Pdt/2015; dan Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor 145/Pdt.G/2021/PN.Jmb.

Standar Operasional Prosedur

Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan standar yang dibuat oleh rumah sakit dengan mengacu kepada Standar Pelayanan Medis yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan dan Standar Profesi yang dibuat oleh organisasi profesi, dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI). SOP merupakan wujud penjaminan mutu yang dilakukan oleh rumah sakit terhadap kualitas dokter yang bekerja di rumah sakit.

Beberapa putusan pengadilan menolak Gugatan Perbuatan Melawan Hukum karena dalam melakukan tindakan medis, dokter sudah sesuai dengan SOP. Beberapa putusan tersebut: Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Bandung Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.Bdg; Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 3571 K/Pdt/2015; Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 97/Pdt.G/2013/PN.Plg; Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 85/PDT/2014/PT.PLG; Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor 71/Pdt.G/2012/PN.JBI; Putusan Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 63/PDT/2013/PT.Jbi; Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1361 K/Pdt/2014; Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 699 PK/Pdt/2017; Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt; Putusan Pengadilan Negeri Banyumas Nomor 22/Pdt.G/2021/PN Bms; dan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 567/Pdt/2021/PT SMG.

Meskipun demikian, terdapat beberapa putusan pengadilan yang dapat dijadikan bahan pembelajaran terkait dengan implementasi dari SOP. Putusan Mahkamah Agung Nomor 779 K/Pdt/2014, di mana terjadi kelalaian yang dilakukan oleh dua pihak sekaligus, yaitu dokter tidak mematuhi SOP dan rumah sakit tidak mengawasi implementasi dari SOP. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1001 K/Pdt/2017 merupakan putusan mengenai pertanggungjawaban hukum rumah sakit terhadap dokternya karena rumah sakit telah melakukan kesalahan dalam membuat dan menerapkan SOP.

Miskomunikasi

Sengketa medis yang terjadi mayoritas disebabkan karena miskomunikasi terkait dengan implementasi dari informed consent, dan secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Mayoritas sengketa medis terjadi karena informed consent tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa kemungkinan yang terjadi adalah dokter dan/atau rumah sakit telah menyampaikan informasi, tetapi pasien dan/atau keluarga pasien tidak peduli dengan informasi tersebut. Kemungkinan lainnya, dokter dan/atau rumah sakit menyampaikan informasi dalam bahasa yang tidak dipahami oleh pasien dan/atau keluarga pasien. Namun, akhirnya pasien dan/atau keluarga pasien memberikan persetujuan (consent) meskipun tidak paham dengan informasi yang telah diterima.

Pada umumnya, kendala yang terjadi adalah bersifat miskomunikasi antara dokter dengan pasien dan/atau keluarga pasien serta masih kuatnya pandangan dari pihak pasien dan/atau keluarga pasien mengenai hubungan yang bersifat resultaatsverbintennis, bukanlah inspanningsverbintennis antara dokter dan pasien. Implikasinya, pasien dan/atau keluarganya mengabaikan informasi yang disampaikan oleh dokter dan/atau rumah sakit serta hanya fokus kepada hasil tindakan medis, yaitu keharusan bagi dokter dan/atau rumah sakit untuk menyembuhkan pasien.

Dalam beberapa putusan pengadilan, penggugat mendalilkan belum memperoleh informasi yang memadai dari dokter, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 97/Pdt.G/2013/PN.Plg, Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 85/PDT/2014/PT.PLG; Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 2811 K/Pdt/2012; dan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 66/PDT/2016/PT.DKI.

Informed consent menjadi suatu hal yang riskan apabila pasien dalam kondisi gawat darurat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan, dalam kondisi gawat darurat, hal yang pertama dan utama harus dilakukan adalah tindakan medis untuk mengatasi kegawatdaruratan pasien. Setelah kondisi pasien stabil, barulah pasien atau keluarganya diberikan informasi atau dilakukan prosedur informed consent. Namun, dalam praktiknya, penerapan informed consent dalam kondisi gawat darurat dapat menimbulkan perselisihan antara dokter dan rumah sakit dengan pihak pasien dan/atau keluarga pasien:

--Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 350/PDT/2012/PT.DKI, dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 215 K/Pdt/2014 (pasien berada dalam kondisi gawat darurat, tapi keluarga tidak bersedia untuk menandatangani informed consent dan meminta agar dilakukan tindakan medis yang terbaik)

--Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt (dokter melakukan tindakan perluasan operasi terhadap pasien karena adanya kondisi darurat akibat kanker yang telah menyebar. Informasi diberikan setelah tindakan perluasan operasi dan menimbulkan perselisihan dengan pihak pasien)

--Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng (Penggugat menyatakan bahwa dirinya menolak untuk memberikan persetujuan tindakan operasi caesar terhadap istrinya karena menurutnya pasien tidak sedang dalam kondisi darurat. Hal ini berbeda dengan pendapat dokter dan rumah sakit yang menyatakan bahwa kondisi pasien adalah darurat)

--Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 63/Pdt.G/2021/PN Kpn, Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 609/PDT/2021/PT SBY (perluasan operasi yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa pasien atau life saving, tetapi kemudian menimbulkan gugatan dari pihak pasien).

Wahyu Andrianto dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads