Menanti Putusan Majelis Kehormatan MK
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menanti Putusan Majelis Kehormatan MK

Senin, 06 Nov 2023 13:14 WIB
Sri Gilang Muhammad Sultan Rahma Putra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Majelis Kehormatan MK menggelar rapat perdana terkait penanganan laporan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi hari ini. Rapat tersebut digelar terbuka untuk umum.
MKMK ketika melakukan gelar perkara (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -
Jagat hukum Indonesia sedang bergumul dengan aneka kontroversi, salah satunya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan MK tersebut telah memantik reaksi yang keras dari publik karena diduga sarat konflik kepentingan terkait dengan kontestasi Pemilihan Presiden 2024. Reaksi publik yang demikian keras dapat dipahami karena MK merupakan salah satu lembaga negara yang lahir dari rahim Reformasi dan diharapkan menjadi salah satu pilar penopang demokrasi.

Reaksi keras publik berujung pada adanya pelaporan dugaan pelanggaran etik terhadap Ketua MK dan seluruh Hakim Konstitusi lainnya. Berbagai laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). MKMK tersebut diketuai oleh Prof. Jimly Asshiddiqie serta beranggotakan Prof. Bintan R. Saragih dan Hakim Konstitusi Wahidudin Adams.

MKMK kemudian bergerak cepat untuk melakukan sidang-sidang pemeriksaan. Sidang-sidang pemeriksaan MKMK ini pun kembali menarik perhatian publik. Media-media memberikan pemberitaan yang cukup intens terhadap sidang-sidang pemeriksaan MKMK. Televisi bahkan menyiarkannya sehingga publik bisa melihat sebagian dari proses sidang pemeriksaan. Tidak seluruh proses sidang pemeriksaan dapat dilihat publik, karena ada beberapa sesi sidang pemeriksaan yang bersifat tertutup.

Beberapa Kemungkinan
Pada saat sidang-sidang pemeriksaan pada MKMK sedang berjalan hingga kini, di ranah publik bermunculan berbagai diskusi terkait bagaimanakah putusan yang akan diambil oleh MKMK. Mencermati dinamika yang ada baik dari cuplikan proses sidang MKMK, pernyataan Ketua MKMK yang muncul dalam pemberitaan berbagai media, serta diskusi dan desakan yang muncul di ranah publik maka dapat diperkirakan beberapa kemungkinan putusan yang akan diambil oleh MKMK.

Pertama, MKMK diperkirakan akan memutuskan Ketua MK dan/atau Hakim MK lainnya melakukan pelanggaran etik yang cukup berat dan diberikan sanksi. Putusan ini tampaknya akan sesuai dengan harapan besar publik, walau secara yuridis putusan MKMK tersebut tidak akan memberikan pengaruh apapun secara yuridis terhadap Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Tetapi putusan MKMK ini akan membuat putusan MK tentang batas usia capres-cawapres yang telah memantik kontroversi belakangan ini kehilangan legitimasi etisnya.

Kehilangan legitimasi etis yang disebabkan oleh putusan MKMK ini akan memberikan legitimasi moral yang kuat bagi berbagai kalangan pegiat demokrasi untuk mengajukan kembali permohonan judicial review atas pasal batas usia capres-cawapres tersebut. Saat ini diketahui sudah ada beberapa permohonan judicial review terhadap pasal yang telah diputus MK sebelumnya tersebut.

Putusan MKMK yang demikian ini tentu saja akan menjadi pengobat atas luka yang ditimbulkan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tersebut dan dapat menjadi obat penawar untuk memulihkan kepercayaan publik kepada Hukum, khususnya kepada MK.

Kemungkinan yang kedua adalah MKMK diperkirakan akan memutuskan jika para Hakim Konstitusi terlapor telah melakukan pelanggaran etik dan dijatuhi sanksi serta membatalkan putusan yang telah diambil oleh karena adanya pelanggaran etik tersebut. Putusan seperti ini memang amat sangat kecil kemungkinannya diambil oleh MKMK karena tidak ada dasar yuridis yang menjadi pijakannya. Namun, kemungkinan ini tidak dapat serta merta diabaikan begitu saja, apalagi telah muncul pernyataan sebagaimana dikutip pada berbagai pemberitaan media nasional yang mengisyaratkan kemungkinan pembatalan Putusan MK No, 90/PUU-XXI/2023 oleh MKMK.

Kemungkinan putusan MKMK jenis kedua ini, hingga kini cukup mendapatkan perhatian di ranah publik. Berbagai kalangan telah menyuarakan pandangannya, mulai dari politisi, akademisi hukum hingga publik awam. Dari sisi akademis, beberapa akademisi Hukum Tata Negara telah menyampaikan pandangan bahwa MKMK secara yuridis tidak memiliki kewenangan melakukan untuk melakukan pembatalan putusan MK.

Tidak hanya dari sisi kewenangan, dari sisi praktik hukum selama keberadaan MK pun hal demikian tidak pernah terjadi. Tentu telah kita ketahui bersama, sebelum ini telah ada hakim konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran etik maupun pidana serta dijatuhi sanksi. Namun demikian, sanksi etik maupun pidana terhadap hakim konstitusi tersebut tidak berdampak pada batalnya putusan MK yang melibatkan hakim yang bersangkutan.

Pada sisi lain memang terdapat beberapa akademisi hukum yang berpandangan pada pembatalan putusan MKMK dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat 7 UU Kekuasaan Kehakiman. Tetapi, sayangnya pasal tersebut tidak dapat diberlakukan terhadap Hakim Konstitusi. Merujuk pada definisi hakim pada Pasal 1 angka 5 UU Kekuasaan Kehakiman yang telah membatasi bahwa hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya.

Konstruksi hukum dalam UU Kekuasaan kehakiman juga menunjukkan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah dua pihak yang berbeda dan setiap ketentuan UU yang berlaku bagi hakim konstitusi dalam UU tersebut dengan tegas menyebut hakim dan hakim konstitusi. Sementara itu Pasal 17 ayat 7 dengan merujuk pada Pasal 17 ayat 5 dan ayat 6, hanya menyebut hakim dan panitera saja.

Dengan demikian menjadi cukup jelas bahwa Pasal 17 ayat 7 UU Kekuasaan Kehakiman tidak berlaku untuk hakim konstitusi. Memang dapat saja dilakukan penafsiran hukum untuk memperluas definisi hakim dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, namun apakah MKMK memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran hukum sebagaimana tersebut?

Sebaiknya Dihindari

Pembatalan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 oleh MKMK walau besar kemungkinan akan mendapatkan sambutan baik dari publik sebaiknya dihindari. Kemungkinan putusan MKMK berupa pembatalan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tersebut justru dapat semakin merusak kestabilan sistem hukum, khususnya dalam hal ini adalah sistem judicial review di MK. Secara yuridis putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada institusi lainnya di atas MK yang bisa membatalkan putusan MK.

Jika MKMK melakukan terobosan hukum dengan membatalkan putusan MK, maka itu akan membuka kemungkinan hal yang sama dapat terjadi dalam perkara-perkara judicial review di masa mendatang bahkan mungkin bisa saja terhadap putusan-putusan MK yang terdahulu. Dengan kata lain, terobosan hukum yang dilakukan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang pastinya akan menambah luka pada sistem hukum yang saat ini sedang terluka.

Menyikapi kemungkinan situasi yang justru memberikan dampak buruk kepada sistem hukum tersebut, tentunya akan lebih bijak jika MKMK menutup sama sekali peluang terobosan hukum ini, agar tidak menimbulkan spekulasi liar di publik. Perubahan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 bisa dilakukan dengan cara mengajukan judicial review kembali terhadap pasal batas usia capres/cawapres tersebut. Cara demikian tidak bertentangan dengan dasar hukum yang ada dan telah beberapa kali dilakukan dan berhasil mengubah sikap MK atas putusannya yang terdahulu untuk pasal yang sama atau sejenis.

Kemungkinan yang terakhir adalah MKMK memutuskan tidak ada pelanggaran dalam pengambilan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tersebut. Kemungkinan terakhir ini tentu bukanlah putusan akan disambut baik oleh publik maupun para aktivis hukum dan demokrasi.

Hal demikian karena dari berbagai data yang ada seperti dissenting opinion dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 serta berbagai pemberitaan tentang dinamika persidangan MKMK, cukup menguatkan dugaan publik terkait kuatnya aroma konflik kepentingan yang berpengaruh pada lahirnya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Jika MKMK memutuskan demikian, maka ini tentu membuat sistem hukum kita menjadi terluka semakin dalam dan akan semakin menurunkan kepercayaan publik pada sistem hukum.

Sistem hukum merupakan salah satu sistem yang penting dalam kehidupan masyarakat. Badan peradilan, termasuk MK adalah salah satu pilar penting dalam sistem hukum. Oleh karena itu, marwah badan peradilan haruslah selalu dijaga demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Putusan MKMK beberapa hari ke depan akan menentukan apakah marwah peradilan dan sistem hukum kita akan kembali ke tempatnya yang terhormat ataukah semakin menurun.

Sri Gilang Muhammad Sultan Rahma Putra peneliti pada Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads