Korea-korea Melentinglah!

Kolom

Korea-korea Melentinglah!

Bambang Wuryanto - detikNews
Jumat, 27 Okt 2023 17:45 WIB
Bambang Patjul Wuryanto
Bambang 'Patjul' Wuryanto. (Dok. Istimewa)
Jakarta -

Setelah Rapat Kerja Komisi III DPR RI bersama Menkopolhukam Mahfud MD dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, istilah 'korea-korea' ternyata secara mengejutkan menyebar ke seluruh Indonesia. Ada yang bingung dengan pernyataan saya, namun juga banyak orang sudah memahami maksudnya.

Ketika itu ceritanya, saya menjawab permintaan Pak Mahfud untuk mengesahkan RUU Pembatasan Uang Kartal dan RUU Perampasan Aset. Lalu, saya menyarankan Pak Menko Mahfud untuk membahas hal tersebut dengan semua ketua partai. Sebab, 'korea- korea' di Senayan pasti mengikuti perintah ketua umumnya.

Di kesempatan yang lain, saya akan ulas isu krusial yang terdapat dalam dua usulan undang-undang tersebut. Namun dalam tulisan kali ini, saya akan berfokus pada konsep 'korea-korea' yang ketika itu saya sampaikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Istilah 'korea-korea' sangat populer di masyarakat Jawa. Konon, katanya istilah ini terkait dengan pasukan Jepang yang berasal dari Korea. Perawakan mereka tidak segagah tentara elit Jepang, namun militansinya sangat tinggi. Seperti yang kita ketahui, Korea juga bangsa jajahan Jepang ketika itu.

Namun secara kultural di Jawa, istilah 'korea' berkembang yang kemudian mengacu pada orang-orang yang berasal dari kelas menengah dan agak bawah, yang mana kehendak subjektifnya sangat luar biasa untuk melenting ke atas. Mereka adalah orang-orang yang punya kejuangan luar biasa untuk keluar dari belenggu kemiskinan.

ADVERTISEMENT

Kenapa saya menggunakan istilah melenting? Sebab, para 'korea' keluar dari jurang kemiskinan dengan lompatan yang eksponensial. Orientasi kehidupannya terus bergerak ke lapisan sosial atas.

Banyak yang menyamakan 'korea' dengan preman, namun pada dasarnya mereka memiliki perbedaan yang sangat signifikan. 'Korea' dan preman sama-sama memiliki kenekatan, namun modal utama yang mereka gunakan sangat berbeda.

Seorang preman sering kali menggunakan kekuatan fisik dan intimidasi untuk menjadi disegani, sementara 'korea' mengembangkan ilmu kehidupan untuk melenting. Preman membangun ketakutan, sementara 'korea' membangun kenyamanan bagi orang di sekitarnya.

Ilmu kehidupan adalah sekumpulan pengalaman praktis yang digunakan untuk melenting ke atas. Para 'korea' adalah jago kehidupan yang juga sekaligus mencintai kehidupan.

Para 'korea' sering kali menempuh jalan yang tidak lazim untuk masuk ke lapisan sosial atas. Kalau orang yang dihormati di masyarakat memiliki gelar akademik profesor atau guru besar, maka seorang 'korea' juga akan berjuang mendapatkannya. Namun tentunya, mereka menerima gelar tersebut tanpa melalui publikasi jurnal internasional, jam mengajar memadai, dan penelitian ilmiah yang rutin. Kembali lagi pada rumus awal, yang paling penting bagi seorang 'korea' adalah melenting ke atas.

'Korea' dapat mengambil tindakan berani, bahkan keputusan nekat untuk melenting. Apa beda berani dan nekat? Berani adalah sebuah tindakan yang risikonya lebih besar daripada manfaatnya. Sementara itu, kenekatan adalah keputusan yang risikonya tinggi dengan manfaat kecil.

Gedung Senayan diduduki oleh para 'korea'. Mereka memiliki mentalitas dan ilmu kehidupan yang mumpuni. Kuncinya adalah kenekatan untuk melenting ke atas.

Sering kali, 'korea-korea' dianggap melampaui konsep-konsep demokrasi, good governance, atau standar moralitas. Memang tujuannya adalah melenting, bukan menjadi seorang rohaniawan atau aktivis demokrasi yang bermoral.

Bagaimana cara mereka melenting? Para 'korea' memiliki rencana atau desain dalam bekerja, kemudian mereka mengajarkannya kepada teman-temannya untuk membangun sebuah pembagian kerja yang sistematis. Setelah mampu merancang dan mengajarkan alur permainan, 'korea' selalu melayani setiap orang yang ikut bermain dalam skema mereka, agar rasa memiliki terbangun.

Ketika politisi di Senayan disebut sebagai 'korea' yang taat pada ketua umumnya masing-masing, mereka pasti akan tertawa. Para 'korea' paham istilah tersebut bukan untuk menghina, melainkan sebuah penghargaan untuk para jago kehidupan.

Kesetiaan bagi para 'korea' dilandasi oleh kehendak melenting. Bila mereka mengabdi bagi ketua umumnya, semua dilakukan atas alasan untuk melenting. Para 'korea' tidak pernah menggunakan standar moral dan kesetiaan. Loyalitas adalah galah untuk melompat lebih tinggi.

Selama keputusan yang diambil memenuhi kalkulasi untuk melenting, para 'korea' akan ambil langkah tersebut, meskipun terbilang nekat. Banyak contoh yang berhasil memanfaatkan momentum, meski berdarah-darah.

Oleh karena itu, 'korea' sebenarnya bukanlah tipe politisi yang penurut. Mereka adalah politisi yang relatif otonom. Ada saat untuk mengikuti permainan, namun ada juga saat untuk mengambil kendali.

Apa yang membentuk cara pandang mereka terhadap dunia? Di masa lalunya, para 'korea' pernah merasakan kelaparan yang luar biasa. Situasi tersebut membuat mentalitas mereka berubah.

Jika dihina, politisi tipe korea ini tidak pernah marah. Mereka sudah pernah mengalami berbagai penghinaan yang mendalam di saat masa-masa sulit. Para 'korea' adalah great pretender.

Oleh karena itu, karakter yang melekat kepada 'korea' adalah selalu berempati pada kaum miskin. Mereka tidak tahan melihat kemiskinan. Kehendak untuk menyantuni orang susah sudah inheren di dalam dirinya.

Dihina seperti apapun, 'korea' tidak pernah marah. Kalaupun harus melawan, seorang 'korea' mengambil keputusan tersebut atas dasar kehendak melenting, bukan perasaan emosional atau ketersinggungan.

Para 'korea' tidak akan menghindar bila mendapatkan tantangan untuk bertarung. Mereka akan melawan jika ditekan. Sebab, kompetisi adalah jalan untuk melenting. Oleh karena itu, gertakan untuk berkompetisi adalah sebuah obat rangsangan untuk memicu adrenalinnya.

Politisi di Senayan kebanyakan dari kalangan 'korea'. Yang mereka takutkan adalah mengakhiri kekuasaannya. Para 'korea' yang biasanya selalu melenting tidak terlatih untuk memikirkan pendaratan mulus (soft landing), mereka adalah orang-orang yang merasa hidup berjalan selamanya (Dopple Hanger).

Oleh karena itu, ketua umum partai sering kali jadi sosok yang menakutkan bagi para 'korea', sebab pucuk pimpinan parpol dapat berperan layaknya malaikat maut. Para ketua umum dapat mengembalikan para 'korea' ke jurang kemiskinan masa lalu mereka yang dingin dan sepi. Namun jika tidak ada lagi ruang melenting yang diberikan oleh pimpinan parpol, seorang 'korea' akan mengambil jalan kenekatan.

Politisi tipe 'korea' ini dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa menyebutkan namanya, barang kali di antara kita semua di sini dapat menerka-nerka siapa saja yang tergolong 'korea'.

Di atas semua kehendak melenting, satu-satunya standar moral yang dimiliki oleh para 'korea' adalah berempati pada kaum miskin. Mereka memiliki rasa peduli yang otentik, sebab pengalaman tersebut pernah dirasakannya pada titik yang ekstrem.

Akhir kata, banyak kritik terhadap Reformasi 1998 atau transisi demokrasi di Indonesia. Pakar mengatakan demokrasi melahirkan kebebasan, otonomi daerah, dan juga oligarki. Namun, banyak yang luput bahwa demokrasi juga melahirkan para 'korea' yang dianggap sebagai deretan elite nasional baru. Maka bagi 'korea', politik adalah jalan untuk melenting ke atas.

Bambang 'Patjul' Wuryanto
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi PDI-Perjuangan

(rfs/rfs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads