Saya mengamati angka yang tertera pada ujung kiri bawah dari layar monitor. Bagi pengguna sistem operasi "Jendela" dengan pengaturan standar, biasanya akan tertera suhu saat ini di sekitar wilayah pengguna. Saya baru menyadari bahwa angka 37 sering terpampang disertai embel-embel rekor tertinggi. Apakah ini memang akibat dari pemanasan global atau sebenarnya ini adalah ujian dari alam terhadap spesies manusia?
Jejak Karbon
Saya juga memiliki sebidang taman kecil di depan teras rumah. Pohon mangga, beberapa pot dengan aneka ragam tanaman tertata di kiri dan kanan pintu masuk utama. Saya bukan penata lansekap, dan lebih mementingkan apakah jejak karbon yang dihasilkan oleh keluarga sudah dapat diimbangkan dengan tanaman hijau yang cenderung menguning di musim kemarau panjang perbuatan El Nino ini.
Di komplek saya cukup banyak warga memilih menanam pepohonan atau tanaman di pekarangan, namun lebih banyak yang meratakannya dengan keramik ataupun batuan alam agar dapat menampung kendaraan non elektrik. Apakah mereka mengerti mengenai jejak karbon?
Saya percaya dengan media sosial yang sangat aktif serta pertumbuhan "jurnalis dadakan" yang eksponensial, informasi ini tentu telah mereka dapatkan. Namun apakah menyadarkan mereka yang sedang membacanya sambil duduk di ruangan dengan mesin pengatur suhu serta kursi yang nyaman? Mungkin tidak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pemangku jabatan yang berkepentingan terhadap tata kota maupun lingkungan hidup mungkin melakukan hal yang sama. Mereka pergi pagi hari dengan masuk pintu mobil, masuk pintu kantor, kemudian pulang dengan masuk pintu mobil, dan pintu rumah yang sudah "adem" di sore atau malam hari. Seakan hari ini sama seperti hari lainnya.
El Nino Kali Ini
Pada 1998 kita melewati dampak dari El Nino yang hebat. Kekeringan di banyak wilayah Indonesia yang menyebabkan gagal panen serta impor beras 6 juta ton mungkin sulit kita akses perasaan dan memori dalam pikiran kita.
Namun di El Nino kali ini terjadi di era pemanasan global kala bumi kita ini sedang dalam kondisi hangat. Saya ibaratkan kita yang sedang tidur di siang hari panas dan diberikan selimut yang cukup tebal, saya membayangkan kebutuhan hidrasinya. Kalau dalam kondisi sekarang saya hanya mencoba membayangkan sumbangan karbon kita kepada bumi yang belum ada cadangannya ini.
Pejabat tidak perduli saat ini ada kebakaran lahan, permainan suar untuk sesi pemotretan yang menghanguskan, kondisi jalan yang tidak dapat menampung mobil dengan bahan bakar fosil, hingga kepada para pemangku jabatan yang lebih mementingkan kondisi udara cerah ketika ada perhelatan Asia Tenggara terjadi. Seakan-akan setelah itu nanti polusi udaranya akan pergi sendiri.
Apakah ada yang memperhatikan kondisi rumah sakit saat ini okupansinya bertambah atau tidak? Apakah ada yang memperhatikan bila obat yang dibutuhkan untuk ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) mulai meningkat? Atau, mungkin masih berpikir nanti tunggu musim hujan datang saja dan semuanya akan selesai.
Perang dan Perjanjian
Belum selesai perang antara Rusia dan Ukraina, sekarang kita mendapati kabar perang baru berkecamuk di Timur Tengah. Tensi politik yang memanas dengan tidak ada kata maaf dan perundingan akan menghabiskan banyak sekali sumber daya serta memberikan donasi terhadap polusi yang jumlahnya tidak sedikit.
Pertemuan dan perjanjian tingkat tinggi yang telah dilakukan mengenai lingkungan hidup dan energi seakan lenyap seiring dengan pembuangan terakhir dari siklus makanan yang telah dikonsumsi. Pengambilan keputusan yang sonder pertimbangan lingkungan seumpama orangtua merampas serta memecahkan celengan dari anak cucu mereka sendiri, yang berisikan mata uang paling berharga dan tak tergantikan yakni waktu untuk masa depan mereka.
Doomsday Clock merilis bahwa saat ini 90 detik lagi menuju tengah malam atau bencana besar yang berskala global. Mereka belum pernah merilis waktu yang sedekat ini menuju ke tengah malam.
Segala problema baik secara makro maupun mikro dengan skala nasional, regional, hingga internasional apakah sudah kita pertimbangkan dengan baik? Saat ini di Indonesia suhu yang mulai memanas adalah suhu politik, di samping kenaikan suhu empiris yang dapat dilihat di termometer. Pemangku jabatan yang ada saat ini maupun yang akan datang hendaknya sangat memperhatikan kondisi karbon kita saat ini.
Indonesia itu seumpama rumah yang memiliki taman dengan sumbangsihnya terhadap kontrol jejak karbon bagi sekitarnya, sehingga langkah kita juga berdampak terhadap daya tahan spesies yang bernama manusia. Semoga tulisan ini tidak hanya dibaca di ruangan dengan mesin pengatur suhu, dengan seruput minuman penyemangat. Akhir kata semoga kita terluputkan untuk menjadi seseorang yang disebut oleh Plautus homo homini lupus est.