Keriuhan Otak-Atik Usia Capres-Cawapres
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

Keriuhan Otak-Atik Usia Capres-Cawapres

Senin, 23 Okt 2023 15:00 WIB
Hamda Afsuri Saimar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
hamda
Hamda Afsuri Saimar (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Gonjang-ganjing penurunan minimal usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) semakin riuh pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Oktober 2023. Keriuhan ini memantik beragam persepsi terutama mengenai tujuan disahkannya putusan ini. Tidak sedikit pula prasangka muncul bahwa putusan ini sangat erat kaitannya dengan pendaftaran Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2024. Oleh karena itu, dalam keriuhan yang tengah terjadi pembahasan mengenai persoalan ini sangat penting untuk diuraikan secara saksama.

Awalnya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak pernah menegaskan mengenai pembatasan usia Capres dan Cawapres. Baru dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor IMPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, tepatnya pada Pasal 1 Ayat (1) huruf b untuk pertama kalinya mengatur syarat Capres dan Cawapres minimalnya "telah berusia 40 tahun".

Setelah pengaturan tersebut kemudian pembatasan usia minimal berkutat pada usia 35 tahun dan 40 tahun, baik melalui perubahan Tap MPR hingga dalam Undang-Undang Pemilihan Umum sebagai peraturan khusus. Putusan MK Nomor 91/PUU-XXI/2023 akhirnya menjelma sebagai titik baru coretan sejarah baru bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Putusan MK ini mengubah bunyi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Ambiguitas Putusan MK

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Plot twist-nya putusan ini disandarkan pada standar pengalaman kepemimpinan dengan minimal pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Dengan terpaksa putusan ini memunculkan beragam pertanyaan. Salah satunya adalah apakah ketika seorang telah menjabat melalui 'jalur' yang ditetapkan dalam putusan ini dapat dikatakan telah memiliki kualitas kepemimpinan yang diinginkan untuk melaksanakan 'titah' konstitusi ketika terpilih? Bukankah ketika standarnya adalah kualitas kepemimpinan, maka penetapan pernah menjadi pemenang pemilu merupakan syarat yang bersifat ambigu?

Ketika seorang terpilih melalui pemilu hanya menjabat sekitar satu tahun, lalu mengundurkan diri dan mendaftar sebagai Capres atau Cawapres, apakah kondisi demikian dapat dikatakan mampu untuk memimpin Indonesia ke depannya? Sehingga keambiguan dalam putusan ini juga berpotensi untuk menarik berbagai konflik kepentingan yang bermuara kepada permainan politik tidak sehat nantinya. Permainan politik yang terjadi tentu hanya akan memberi keuntungan bagi beberapa pihak saja. Keadaan genting ini menuntut pemahaman yang kritis ketika memutuskan syarat pengalaman bagi Capres dan Cawapres yang akan menjadi nahkoda Indonesia ke depannya.

ADVERTISEMENT

Oleh karena itu, putusan terhadap pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berkutat pada usia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat yang diperoleh melalui pemilu tidak menjamin kualitas kepemimpinan sebagaimana "alasan-alasan pemohon" yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XXI/2023. Sehingga perlu untuk merincikan syaratnya kepada hal-hal yang paling bisa diukur.

Menjadikan lama seseorang dalam menjalani jabatan adalah salah satu contohnya. Misalnya penetapan pengalaman seseorang ketika menjadi pejabat publik yang menang melalui pemilu minimal 15 tahun agar dapat mendaftar baik sebagai Capres maupun sebagai Cawapres dapat diberlakukan. Sehingga pengalaman yang dijalaninya sebagai pejabat publik yang berasal dari proses pemilu menjadi lebih terjamin.

Sebagai negara hukum harusnya segala putusan di Indonesia juga diikat dengan asas kepastian. Dan, salah satunya adalah melalui kepastian yang ditanamkan dalam syarat menjadi Capres dan Cawapres. Upaya tersebut merupakan salah satu contoh studi kasus yang berasal dari syarat yang diterapkan bagi seseorang yang ingin menjadi hakim di MK.

Di luar minimal usia paling rendah 55 tahun, maka para calon hakim konstitusi harus memiliki minimal 15 tahun pengalaman kerja di bidang hukum dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung (MA), sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau hakim agung. Salah satu syarat tersebut sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Hanya Berlaku bagi Cawapres

Jika putusan ini didasarkan pada pertimbangan "alasan-alasan permohonan" yang dianggap dapat melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, maka putusan ini secara tidak langsung juga melanggar ketiga aspek tersebut. Bayangkan misalnya ketika terdapat 711 anggota MPR ditambah jumlah kepala daerah yang berasal dari 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 98 kota memang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi Capres, namun sayangnya tidak memiliki akses yang sama --karena masih tersandung oleh presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

Keadaan ini kemudian memunculkan satu kesimpulan yaitu tidak semua Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah/sedang menduduki jabatan yang terpilih melalui pemilu dapat 'bertarung' dalam kompetisi pemilihan presiden sebagai bagian dari pemilu. Dengan kata lain, secara implisit putusan ini hanya dapat berlaku bagi Cawapres.

Perlu diketahui bahwa putusan hukum yang dikeluarkan oleh MK merupakan putusan yang bersifat final atau sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Dengan kata lain, putusan tersebut harus dihormati untuk dijalankan sesuai dengan perintah yang tertulis dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XXI/2023. Oleh karena itu, dengan berfokus kepada usaha untuk mengubah putusan ini hanya akan menjadi sia-sia. Sehingga hal yang harus dilakukan saat ini adalah mengawal pemilu agar berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Serta mendukung berbagai hal baik yang dapat memajukan bangsa Indonesia ke depannya.

Hamda Afsuri Saimar mahasiswa Hukum Administrasi Negara Universitas Andalas, penulis buku 'Bisikan Imajinasi'

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads