Kolom

Membangun Literasi Wawasan Global

Ahmad Mudhofarul Baqi - detikNews
Jumat, 13 Okt 2023 16:00 WIB
Ilustrasi: Presiden Jokowi di KTT G20 (Instagram @jokowi)
Jakarta -
Semakin ke sini, kita merasakan bahwa dunia semakin sempit. Selebar daun kelor, ibarat pepatah. The world is flat, ucap Thomas Friedman. Apa yang terjadi di belahan dunia lain membawa dampak secara langsung maupun tidak; secara menyeluruh maupun sebagian ke Indonesia.

Partautan antara faktor internasional dan domestik yang tergabung dalam frasa intermestik merupakan sebuah keniscayaan --keniscayaan atas terhubungnya Indonesia ke dalam dunia global. Keterhubungan ini membawa implikasi positif maupun negatif tergantung arah dan bagaimana nahkoda menavigasi kapal.

Periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi yang oleh berbagai pihak dicap inward looking justru menunjukkan kebalikannya. Tercatat, beberapa event internasional dan isu yang melintas. Mulai dari Presidensi G20, KTT ke-42 ASEAN 2022 ,hingga KTT ke-43 ASEAN 2023 yang telah berlangsung beberapa waktu lalu.

Selain itu, tantangan isu kesehatan global pandemi Covid-19 turut menguji kepemimpinan Jokowi. Pandemi Covid-19 menjadi ujian ketahanan kesehatan nasional dan global sekaligus menjadi bukti pertautan antara isu internasional dan domestik tidak terelakkan lagi.

Pertautan Intermestik

Kompleksitas dan ketergantungan adalah wajah peradaban abad ke-21. Isu-isu domestik dan isu-isu internasional saling bertaut, mempengaruhi, berhubungan, dan berinteraksi satu dengan lain.

Ambil contoh produk kebijakan domestik berupa larangan ekspor biji nikel. Larangan ekspor biji nikel sebagai bahan baku utama komponen baterai listrik tentu membawa dampak pada rantai pasok global dan imbasnya, Uni Eropa menuntut kebijakan hilirisasi nikel tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia. Berbeda dengan Uni Eropa, China justru membenamkan investasi besar di industri smelter Tanah Air.

Kebijakan domestik yang sama memunculkan dua reaksi yang berbeda. Pandangan two-level game theory dari Robert D. Putnam menunjukkan adanya kepentingan dan preferensi yang berbeda dari sisi domestik Uni Eropa maupun China. Kepentingan dan preferensi itu bisa di lacak dari kelompok kepentingan pengusaha, opini publik, serta konsiderasi politik yang berbeda yang membentuk pola investasi maupun menggunggat Indonesia.

Pertautan intermestik juga menjalar ke sektor pertanian. Organisasi Perdagangan Dunia misalnya hanya memberikan kelonggaran subsidi setiap negara anggota tidak boleh lebih dari 10 persen dari nilai produksi berdasarkan referensi eksternal (external reference price/ERP). Hal ini untuk mendukung perdagangan bebas, tanpa diskriminasi, dengan prinsip Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment.

Tentu, norma maupun aturan rezim perdagangan internasional tersebut membawa implikasi nyata bagi para petani, benih, pupuk, hingga ketahanan pangan dalam ekosistem pertanian Indonesia. Apabila benih dan pupuk tidak disubsidi, akan menambah ongkos produksi, imbasnya harga komoditas pertanian kurang kompetitif di pasar.

Pemerintah sendiri terkesan ambivalen, mematuhi rezim WTO atau mendukung petani dalam negeri untuk naik kelas. Realitas di luar legitimasi pemerintah acap menjadikan Indonesia dan para petaninya menjadi korban dari struktur perdagangan internasional yang tidak adil.

Belum lagi dari sisi budaya, manusia-manusia Indonesia sering terlena oleh tarian, nyanyian, bahkan makanan luar. Mulai dari K-pop asal Korea Selatan, Mixue asal China, ramen asal Jepang, hingga junk food asal Amerika Serikat semuanya laris manis membanjiri pasar Tanah Air. Padahal, tidak ubahnya sebagai target market. Manusia-manusia Indonesia dengan mudahnya sering menjadi target gastrodiplomacy dan culture diplomacy negara lain.

Dibentuk Sejak Dini

Sebagaimana digital dan financial literacy yang menuntut kecakapan pengetahuan, keterampilan, dan penggunaan sumber daya dalam bidang digital dan finansial, literasi wawasan global juga diarahkan untuk melengkapi kemampuan dan keterampilan dalam menggunakan sumber daya nasional untuk menyongsong peradaban global.

Literasi wawasan global setidaknya bisa menuntut manusia Indonesia bukan sekadar menjadi subjek, melainkan objek yang sadar akan posisi dan identitas diri dalam dinamika global. Ini perlu dibangun dari dalam dengan output keluar. Pembangunan dari dalam menyangkut penghayatan akan kekayaan dan kearifan nasional, kesadaran akan jati diri kebangsaan, dan pemahaman akan dinamika dan tantangan sosial, budaya, ekonomi, serta politik global.

Sementara, output keluar memungkinkan manusia-manusia Indonesia mampu membawakan kekayaan dan kearifan nasional ke dalam pentas global. Mumpuni menjadi bagian dari aktor diplomasi publik dan multi track diplomacy. Serta, turut berpartisipasi secara bebas dan aktif dalam dinamika global.

Pembangunan literasi wawasan global perlu dibentuk sejak dini dan masif. Pembangunan sejak dini menyentuh hingga lini kurikulum pendidikan secara terstruktur, berjenjang, dan bertingkat. Pembangunan yang masif menjalar ke seluruh pihak dan daerah. Memungkinkan semua mendapat manfaat dari literasi wawasan global.

Sudah barang tentu, membangun kesadaran dan membentuk literasi wawasan global membutuhkan waktu, energi, dan sumber daya. Keterlibatan dan kolaborasi aktif semua pihak menjadi kunci. Penyerahan tugas dan tanggung jawab ke pemerintah saja tidak akan cukup mengejar Indonesian wave menjadi nyata.

Kepemimpinan ke depan harus fokus membangun literasi wawasan global sebagai bagian dari strategi diplomasi dan hilirisasi untuk mengangkat posisi dan partisipasi Indonesia di kancah global.

Ahmad Mudhofarul Baqi lulusan S2 Hubungan Internasional Universitas Indonesia



(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork