Meluruskan Ganjar Soal Ganjaran Dosen

Arie Putra - detikNews
Selasa, 03 Okt 2023 14:33 WIB
Foto: Arie Putra (Dok Pribadi)
Jakarta -

Bakal calon Presiden dari PDI-Perjuangan, Ganjar Pranowo, mengatakan lulusan terbaik di universitas seharusnya melanjutkan karier sebagai pengajar. Menurutnya, para lulusan terbaik lebih tertarik pada penghasilan besar di luar kampus.

Lalu, pertanyaannya adalah apakah orang masuk ke dunia akademik disebabkan oleh faktor gaji? Sampai kapanpun, sektor swasta tentunya akan menjanjikan penghasilan yang lebih besar daripada sektor pelayanan publik. Orientasi masing-masing sektor memang sangat berbeda.

Kita dapat berkaca pada negara lain yang memiliki peringkat pendidikan tinggi jauh di atas Indonesia. Ketimpangan pendapatan antara dosen di universitas dan pekerja di sektor swasta juga tak terhindarkan.

Menurut data Payscale Salary Survey pada tahun 2021, lulusan baru (freshgraduate) dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mendapatkan gaji tahunan paling besar di Amerika Serikat, yakni menyentuh angka USD 98.100 atau sekitar 1.5 Milyar Rupiah. Tentunya, jumlah yang sangat menggiurkan tersebut dapat menarik lulusan terbaik, apalagi banyak mahasiswa di Amerika Serikat harus melunasi pinjaman belajarnya (student loan) yang bunganya sangat besar.

Di sisi lain, gaji dosen di Amerika Serikat berada pada angka yang jauh di bawah lulusan baru yang masuk swasta. Salarydotcom, situs jaringan pengembangan sumber daya manusia, mencatat gaji dosen di Amerika Serikat berada pada kisaran angka USD 57.888 per tahun. Untuk sampai ke pendapatan tersebut, mereka harus menyelesaikan semua jenjang studi formal dan berbagai prasyarat pengajaran.

Lalu, apakah gaji yang membuat orang termotivasi untuk menyelam di dunia akademik? Melihat ketimpangan pendapatan sektor pelayanan publik dan swasta di berbagai negara tentunya jawabannya lebih dari sekedar uang.

Dunia akademik merupakan sebuah arena yang sangat kompleks. Untuk masuk ke dalamnya, tidak hanya nilai akademik menjadi prasyarat utama. Lebih dari itu, faktor-faktor di luar capaian akademik memiliki pengaruh yang tak kalah besar. Dalam kajian-kajian sosiologi pengetahuan, para pakar mengenal istilah "epistemic injustice".

Ketidakadilan politik pengetahuan membuat universitas bukanlah tempat yang ramah untuk membangun karir berbasiskan kompetensi. Untuk dapat kesempatan di universitas, nilai bagus bukan sumber pengakuan satu-satunya. Relasi-relasi informal dalam rezim birokrasi pengetahuan merupakan faktor yang sangat menentukan.

Epistemic injustice atau bias identitas yang menyisihkan orang-orang dalam proses akademik terjadi di berbagai belahan dunia. Misalnya, akademisi perempuan dikutip lebih sedikit dibandingkan dengan akademisi laki-laki di berbagai negara Eropa. Selain itu, berbagai studi di negara-negara Eropa juga menunjukkan perempuan merupakan kelompok yang paling banyak mengakhiri karir akademiknya lebih awal.

Banyak studi mengkonfirmasi akademisi perempuan lebih sulit dalam mempublikasi karya akademik. Peer-review untuk akademisi perempuan lebih lama, ketimbang laki-laki. Bias-bias identitas harus dihadapi seseorang dalam membangun reputasi dalam dunia akademik.

Di tengah berbagai kerumitan tersebut, sektor swasta menjadi jalur yang lebih terbuka. Lulusan terbaik universitas menganggap meritokrasi di luar universitas jauh lebih ramah dengan kompetensi. Ditambah lagi, penghasilan juga sangat menjanjikan.

Melihat pada realitas di Indonesia, kenyataannya tentu tidak lebih baik dibanding negara maju. Inklusi sosial dalam dunia akademik bukan diskusi yang terlalu berani dibicarakan secara terbuka. Proses rekrutmen pengajar yang bias kelas, identitas agama, etnis, bahkan latar bekakang organisasi kemahasiswaan masih sering terdengar.

Tidak mudah bagi lulusan terbaik universitas di Indonesia menghadapi politik pengetahuan yang rumit. Mereka harus mampu membobol tembok tebal yang sudah dibangun selama bertahun-tahun.

Sejak zaman Orde Baru, negara menjalankan agendanya secara teknokrasi, yang didukung oleh kekuatan militer, birokrat, dan organisasi masyarakat (Golkar). Birokratisasi dunia akademik tidak dapat terhindari sebagai instrumen kekuasaan dari rezim otoritarian.

Tradisi akademik banyak terpengaruh hingga hari ini. Sering kita lihat, dosen-dosen gandrung terlibat dalam pengelolaan birokrasi kampus untuk memastikan distribusi sumber daya yang menguntungkan kelompoknya.

Kita juga dapat melihat politik pemilihan dekan atau rektor tidak kalah sengit dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah. Permainan politik kampus tampak menyesuaikan dengan tren demokrasi elektoral yang terjadi pada tingkat negara.

Belum lagi, dosen-dosen senior dan pejabat kampus ingin memastikan diri untuk menapaki karir politik yang lebih tinggi, seperti menjadi dirjen atau bahkan menteri. Dunia akademik terasa memiliki suasana yang tidak jauh berbeda dengan partai politik.

Maka, kita tidak perlu terkejut jika melihat aktor-aktor akademik yang menyerupai perilaku aktor politik. Jika penguasanya rajin beribadah, maka kampusnya pun sering mengadakan doa bersama.

Aktivitas komunitas epistemik yang mempercepat produksi pengetahuan seperti tumbuh di tanah tandus. Berbanding terbalik dengan dunia swasta yang politik internal lebih terkelola, kompetensi tumbuh dengan cepat untuk memenuhi indeks performa.

Tembok tebal dunia akademik Indonesia tidak mudah ditembus. Persoalan lulusan terbaik lebih memilih untuk membangun karir berbasiskan kompetensi di luar kampus memiliki alasan yang sangat masuk akal.

Bacapres Ganjar Pranowo sebenarnya memiliki niat baik agar gaji pengajar setara dengan dunia swasta. Dunia akademik pun menjadi jalan mencari penghidupan yang lebih menarik. Namun, masalahnya tentu tidak sesederhana itu.

Universitas di Indonesia membutuhkan pembenahan struktural yang lebih progresif. Menarik sumber daya terbaik bukan hanya soal uang. Kebutuhan mereka tentu jauh lebih kompleks. Sebuah nasehat klasik dari penyair TS Elliot yang sering kali harus diterima dengan lapang dada mengatakan, "banyak kekacauan di dunia ini diawali oleh niat baik".


Arie Putra. Co-Fouder Total Politik.

Simak juga 'Ganjar: Kalau Nggak Punya Agenda Antikorupsi, Bukan Kelompokku':






(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork