Warganet dikejutkan dengan video amatir seorang ibu muda dengan bayi di gendongan hendak melompat ke rel kereta di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta. Usut punya usut, sang ibu memiliki persoalan personal hingga nyaris berujung fatal.
Di tengah keputusasaan sang ibu, ada dua petugas keamanan PT KAI yang coba menenangkan situasi. Satu petugas menyelamatkan bayi, petugas lain menenangkan sang ibu.
Terlepas dari peristiwa yang patut disesali itu, apresiasi tinggi patut dihaturkan kepada dua petugas keamanan PT KAI. Kesigapan serta sikap humanis si petugas mampu menyelamatkan nyawa sang ibu dan bayinya. Menteri BUMN Erick Thohir pun langsung memberi apresiasi atas sikap dua petugas keamanan PT KAI itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini bukan kali pertama masyarakat melihat karyawan BUMN di level terbawah menampilkan budaya pelayanan publik yang sangat baik. Sebelumnya ada pula petugas KAI yang menyelamatkan seorang wanita dari tindak pelecehan. Pun halnya seorang petugas kebersihan Bandara Soekarno-Hatta menemukan uang berisi ratusan juta dan menyerahkan uang itu ke sang pemilik.
Deretan peristiwa itu jadi bukti keberhasilan transformasi budaya atau yang dikenal dengan akronim AKHLAK di BUMN. Tak heran, Menteri BUMN Erick Thohir bahwa salah satu keberhasilan terbesarnya bukan soal melihat catatan finansial BUMN semata, tapi melihat bagaimana transformasi AKHLAK berhasil dijalankan di segala tingkatan perusahaan.
Tak Hanya Urusan Cuan
Erick menyadari tantangan terbesar BUMN bukan sekadar menciptakan performa finansial yang baik, tapi performa sosial dan kebermanfaatan bagi alam.
Literatur manajemen strategi modern banyak mengulas bahwa performa finansial semata tak kuat dalam menopang keberlanjutan (sustainability) sebuah organisasi bisnis. Nohria dan Khurana (2004) menyebut bahwa agar perusahaan mampu mempertahankan keberlanjutannya yang diperlukan tak hanya urusan cuan, tapi memberi makna bagi masyarakat dan lingkungannya.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pentingnya triple line bottom (TBL). Konsep triple line bottom merupakan hal yang telah diperkenalkan sejak awal 1990-an. Elkington (1994) memberi ide bahwa perusahaan dibuat bukan hanya untuk tujuan mencari uang (profit), tapi juga meningkatkan kualitas kemanusiaan (people) maupun lingkungannya (planet).
Apa yang disampaikan Elkington (1994) mendasari sejumlah peneliti untuk melanjutkan riset terkait dengan relasi ekonomi (economic), masyarakat (social), dan alam (environmental). Inti dari sejumlah analisis itu bermuara pada bagaimana faktor eksternal (masyarakat dan alam) begitu terkait dengan performa internal (ekonomi) perusahaan guna menciptakan keunggulan daya saing yang berkelanjutan.
Finansial, kemanusiaan, dan alam inilah yang menjadi tantangan setiap organisasi, termasuk BUMN di Indonesia. Sejak awal BUMN memang telah menginstitusionalkan aturan untuk mendukung perusahaan mampu berkontribusi positif pada aspek non finansial, seperti kemanusiaan maupun lingkungan.
Namun sayangnya institusionalisasi itu hanya baru sekadar formalisasi di aturan dan struktur semata. Padahal menurut Yuthas (2014), institusionalisasi terhadap triple line bottom (finansial, kemanusiaan, dan lingkungan) kerap menimbulkan situasi paradoks.
Sistem formal yang tak didukung sistem informal cenderung menempatkan sisi ekonomi di atas sosial dan lingkungan. Sebaliknya, jika didukung sistem informal, seperti nilai dan kultur individual dan kelompok, maka kesimbangan antara sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat berjalan selaras.
Hal inilah yang mungkin menjawab mengapa banyak konsep tentang tata kelola perusahaan yang baik, tapi gagal terimplementasi di BUMN di era lalu. Persoalannya terletak pada formalisasi culture good corporate governance (GCG) tak diimbangi kesiapan dari kultur informal individunya. Perubahan struktur tak diimbangi budaya individual.
Oleh karena itu, kesuksesan sekaligus tantangan terbesar BUMN ini adalah bagaimana core value AKHLAK bisa terus disosialisasikan secara formal (level organisasi) maupun informal (level personal). Sehingga kita bisa berharap ke depannya, petugas BUMN dari level tertinggi hingga terendah punya standar profesional, moral, dan kemanusiaan di level tertinggi.
Dengan fondasi itulah kita berharap kinerja BUMN terus meningkat. Sebab performa individual, kemanusiaan, dan lingkungan yang baik sejatinya adalah muara dari kultur budaya yang baik pula.
Dengan kultur budaya individu hingga organisasi yang semakin baik, harapan melihat BUMN berkibar di level global bukan mimpi semata. Harapan yang tidak sekadar ada di pundak Presiden Jokowi atau Menteri Erick Thohir semata, tapi juga di pundak si petugas keamanan PT KAI atau sang petugas cleaning service Bandara Soekarno-Hatta.
Mengutip apa yang pernah disampaikan penulis kenamaan Amerika, Jonathan Schell, "Every person is the right person to act. Every moment is the right moment to begin." Setiap orang adalah orang yang tepat untuk bertindak. Dan setiap momen adalah momen yang tepat untuk memulai.
Abdullah Sammy CEO Rikreatif Indonesia dan peneliti strategi manajemen
Simak juga 'Jokowi Ungkap Belanja Mebel Pemerintah-BUMN Banyak Diisi Produk Impor':