Kolom

Pekerja "Gig": Antara Fleksibilitas dan Kerentanan

Christiayu Natalia - detikNews
Rabu, 06 Sep 2023 13:10 WIB
Ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Iuliia Zavalishina
Jakarta -
Polusi udara yang menyerang beberapa wilayah di Indonesia belakangan ini memunculkan kembali gagasan penerapan Work From Home (WFH) bagi para pekerja formal. Pemberlakuan WFH dengan tempat kerja yang fleksibel sudah bukan lagi menjadi cara kerja yang asing bagi masyarakat Indonesia. Semenjak pandemi, WFH menjadi salah satu sistem kerja yang solutif di tengah pembatasan mobilitas. Bahkan, saat ini pekerjaan yang tidak mengharuskan seseorang untuk bekerja di kantor semakin diminati oleh para pencari kerja.

Kini, bekerja dengan fleksibel tanpa batasan ruangan kantor menjadi hal yang wajar pada berbagai jenis pekerjaan yang ada di Indonesia. Fleksibilitas dalam pekerjaan ini turut memunculkan pekerjaan jenis baru di Indonesia, yaitu pekerja gig. Dari panggung ke panggung, inilah awal dari istilah gig bermula. Seniman gig menghibur dari event satu ke event yang lain tanpa ikatan kontrak pekerjaan dan dapat dilakukan dengan fleksibel. Istilah inilah yang kemudian diadopsi untuk memberi identitas bagi para pekerja yang bekerja dengan fleksibel, tanpa adanya ikatan tertentu, dan menuntaskan satu pekerjaan kemudian beralih ke pekerjaan lain dalam waktu singkat.

Sebagai gambaran, para programmer dan copy writer dapat bekerja dari jarak jauh tanpa mengharuskan bertatap muka dengan klien. Selain itu, terdapat pula pekerja gig yang masih mengharuskan tatap muka dengan klien untuk menuntaskan pekerjaannya, seperti para mitra platform transportasi online. Dengan masih terus berkembangnya fenomena ini, batasan definisi dari pekerja gig memang belum dapat disampaikan secara mengikat.

Pilihan atau Keterpaksaan?

Beberapa penelitian tentang pekerja gig di Indonesia memprediksi bahwa jumlah pekerja gig masih akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Prediksi ini sejalan dengan realitas melebarnya kesenjangan antara pekerja formal dan informal di Indonesia di mana pekerja gig merupakan salah satu bagian dari pekerja informal.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan adanya pelebaran gap pada proporsi pekerja formal dan informal yang dimulai sejak 2020. Hingga 2022, gap tersebut belum kembali seperti kondisi awal sebelum pandemi. Tentunya, peningkatan jumlah pekerja gig turut memberi sumbangan terhadap pelebaran gap tersebut.

Menjadi seorang pekerja gig tidak selalu dimotivasi oleh keinginan sukarela. Tidak jarang, seseorang menjadi pekerja gig karena keterpaksaan. Kemudahan pekerjaan ini untuk dimasuki dan minimnya persyaratan yang harus dipenuhi pencari kerja menjadikan alasan bagi seseorang untuk terpaksa bekerja sebagai pekerja gig daripada tidak memperoleh pendapatan sama sekali.

Lain halnya dengan kelompok Gen Z, menjadi pekerja gig merupakan pilihan untuk mengejar pengakuan sosial. Memilih pekerjaan yang sedang tren, bekerja tanpa kantor tetap, bekerja dari kafe ke kafe, hingga seringkali kurang memperhitungkan penghasilan yang diperoleh dari pekerjaannya. Namun demikian, saat ini tidak ada yang bisa mencegah seseorang untuk memutuskan bekerja sebagai pekerja gig baik karena sukarela maupun karena keterpaksaan.

Berusaha Sendiri

Sejauh manakah fleksibilitas yang ditawarkan dari pekerjaan gig ini? Pekerja gig termasuk dalam jenis pekerja yang berusaha sendiri tanpa pemberi kerja, mencari klien, dan menerima order pekerjaan sesuai kemauan, tidak ada jam masuk atau pulang kantor yang mengikat, bekerja dapat dilakukan dengan bebas tanpa tekanan manajerial perusahaan, serta pekerjaan dapat dikerjakan dari mana saja tanpa batasan ruang yang mengikat.

Fleksibilitas ini memberikan keleluasaan bagi pekerja untuk mengatur sendiri seberapa besar waktu luang yang akan mereka ambil. Maka tidak jarang, fleksibilitas yang ditawarkan ini terlihat begitu menggiurkan bagi para pekerja Gen Z yang sangat familier dengan pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi (digital natives). Begitu juga bagi para pekerja urban yang telah terbiasa dengan kehidupan perkotaan yang modern dengan dukungan infrastruktur perkotaan dan tren kekinian untuk bekerja tanpa batasan ruang (work from anywhere).

Namun, di balik berbagai fleksibilitas yang ditawarkan, terdapat pula berbagai kerentanan yang dialami para pekerja gig. Tidak sedikit pula ditemui para pekerja gig memperoleh pendapatan yang rendah bahkan hingga di bawah upah minimum. Tidak adanya pekerjaan yang pasti, tidak tersedianya jaminan sosial yang terkait dengan pekerjaan, tidak tersedianya waktu cuti dan jam kerja yang jelas sehingga rentan pada eksploitasi dalam pekerjaan menjadi beberapa bentuk kerentanan bagi pekerja gig.

Eksploitasi dari sisi jam kerja berlebih juga menjadi salah satu isu dari kerentanan pekerja gig saat ini. Ironisnya, tidak sedikit dari para pekerja gig yang menjadikan pendapatan menjadi motivasi utama dengan mengesampingkan risiko kerentanan yang lain. Padahal, sebagai pekerja gig yang belum terlindungi oleh berbagai jenis jaminan kerja, risiko kerja yang dialami akan menjadi tanggungan pribadi.

Meminimalkan Kerentanan

Fenomena pekerja gig adalah sebuah realitas yang harus dihadapi, terlebih lagi dengan semakin menguatnya arus digitalisasi dan perkembangan teknologi. Dari sisi individual dibutuhkan kesiapan dari masing-masing individu yang dihadapkan pada pilihan tersebut. Peningkatan modal manusia melalui pendidikan dan pelatihan sangat perlu untuk dilakukan. Berbekal pendidikan dan pengetahuan yang memadai, seseorang akan mampu bersaing dengan baik dalam pasar tenaga kerja dan mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya untuk bertahan dengan berbagai tantangan sebagai pekerja gig.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah formulasi kebijakan untuk memberikan perlindungan bagi para pekerja gig, baik dari segi pemberian upah maupun perlindungan dari risiko yang ditimbulkan saat bekerja. Kebijakan tersebut tentunya akan lebih tepat sasaran bila didukung dengan tersedianya pendataan berkala yang mampu melakukan tracing terhadap pekerja gig. Harapannya, konsekuensi kerentanan yang akan dialami saat seseorang menjadi pekerja gig, baik sukarela maupun terpaksa, dapat diminimalkan.

Christiayu Natalia statistisi Badan Pusat Statistik Kota Malang, mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya





(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork