Kolom

Kegelisahan di Ruang Publik

Anggi Afriansyah - detikNews
Jumat, 18 Agu 2023 11:10 WIB
Sebuah kafe coworking space (Ilustrasi: Instagram)
Jakarta -
Beberapa kesempatan saya bekerja di ruang publik bersama. Beberapa tempat yang lumayan nyaman antara lain perpustakaan, kafe, atau beberapa minimarket yang menyediakan meja-meja kerja dan steker listrik yang memadai. Di tempat-tempat tersebut kadang ada wifi yang memadai, jika tak ada maka saya memanfaatkan kuota internet sendiri. Dari macam tempat yang saya pilih untuk bekerja ini tidak semuanya merupakan ruang yang tenang. Beberapa memang sepi, sehingga cocok untuk menyepi dan menulis. Tapi banyak tempat yang merupakan ruang yang ramai, berisik dengan ragam tema obrolan.

Di ruang publik ini saya bertemu dengan ragam manusia dari berbagai latar juga usia. Saya sering sengaja tak menggunakan headset dan earphone untuk mengetahui apa sebetulnya yang menjadi pembicaraan manusia-manusia kota ini. Di banyak tempat yang saya kunjungi, kecuali di perpustakaan, memang hingar bingar pembicaraan dengan ragam topik mengemuka.

Ada kala saya mendengar obrolan-obrolan pemuda putra atau putri yang membahas hubungan asmara mereka (o, iya apakah ada anak-anak sekarang yang menyebut relasi mereka sebagai hubungan asmara?). Mendengar mereka saya kadang menjadi lebih memahami alam pikir anak-anak muda generasi kini soal percintaan. Tapi tak semua obrolan mereka soal percintaan dan asmara. Mereka juga saling berkisah tentang kondisi keluarga mereka. Pandangan mereka tentang keluarga mereka masing-masing. Ada kalanya cerita mereka mengiris hati.

Pada lain waktu ketika yang berkumpul adalah ibu-ibu yang menunggu anak-anaknya yang sedang bersekolah, yang saya dengar adalah ilmu parenting. Terkait bagaimana mereka membesarkan anak, lokasi kursus atau les yang jadi rekomendasi, bekal makan hari ini, guru-guru yang mendidik anak mereka di sekolah, justru gosip-gosip yang kadang kadar bahasannya lebih banyak dibanding pembicaraan lainnya.

Sering juga saya bersama anak-anak yang sepertinya merupakan anak-anak SMA atau mahasiswa sedang bekerja bersama menyelesaikan tugas kelompok. Mereka berdiskusi tentang materi pelajaran atau kuliah yang harus diselesaikan. Kadang mereka serius berdiskusi, namun sering juga mereka tertawa lepas.

Kadang, ketika saya menepi di tukang kopi keliling (populer disebut starling) yang dipenuhi oleh para pengemudi dan pengasuh yang menunggu anak-anak yang sedang bersekolah, saya juga mendengarkan pembicaraan yang menarik. Tema obrolannya seputar kehidupan keseharian mereka, anak-anak yang mereka antar, bekal yang disiapkan, dan lain sebagainya. Ada juga yang mengisi waktu luang dengan bermain catur, kartu, atau game. Ada waktu yang harus dihabiskan sambil menunggu anak-anak yang mereka tunggu.

Suatu pagi, saya duduk dekat para pekerja yang tampaknya masih dalam proses percobaan di tempatnya bekerja. Mereka menggunakan seragam dan tanda pengenal yang sama. Mereka membicarakan pengalaman mereka bekerja dan situasi yang sedang dihadapi. Saya ingat ketika awal bekerja sebagai guru beberapa tahun lalu. Hampir setiap hari saya bersama guru-guru muda berkumpul, saling bercerita tentang pengalaman mengajar kami. Bagaimana sulitnya menghadapi anak-anak kelas menengah atas di kelas-kelas kami. Saling berbagi tips untuk menghadapi anak dengan ragam wataknya. Saling bercerita ini penting untuk menguatkan perjalanan kami sebagai guru muda.

Tampak, itu juga yang saya lihat dari obrolan para pekerja baru tersebut. Di tengah sulitnya mencari pekerjaan, bertahan di satu jenis pekerjaan meskipun mungkin bukan bidang yang diimpikan atau diinginkan, tampaknya menjadi suatu hal yang harus diperjuangkan. Ada momen juga mereka saling misuh, mungkin untuk membuang rasa penat dan kejenuhan.

Dan terakhir, banyak juga orang-orang seperti saya, yang mengerjakan tugas-tugas kantor atau rapat virtual, dan mungkin mengamati manusia-manusia yang hadir di lokasi tempatnya bekerja, seperti yang sering saya lakukan. Atau juga ada orang-orang yang hanya ingin bersantai, seperti mencari jeda dalam kehidupan yang berisik. Sambil membaca buku, menonton drama Korea, main game atau hanya bengong.

Dari proses bekerja sambil menjadi partisipan observer ini saya jadi lebih memahami betapa kompleksnya kehidupan manusia. Meskipun, kata Pramoedya Ananta Toer, "Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya." Ya, tampak betul manusia menjalani hidup dengan ragam tafsiran-tafsiran, dengan kompleksitas yang sangat beragam dari segi perspektif.

Di ruang publik yang beragam ada banyak model manusia yang saya temui, juga kegelisahannya. Semua pasti punya hal yang dipikirkan di dalam benaknya masing-masing. Dalam proses kehidupan ini kita menghadapi beragam tantangan. Dalam prosesnya setiap orang menghadapi itu setiap hari. Ada yang beruntung memiliki kerabat yang memberikan dukungan terbaik setiap saat. Namun banyak juga yang tak memiliki dukungan memadai, sehingga dalam hidup dirinya harus berjuang sendiri, sepi sendiri.

Dalam konteks pekerjaan untuk menghidupi kehidupan saat ini, manusia-manusia pekerja menghadapi ragam kerentanan, apalagi semakin canggih teknologi yang hadir. Menurut Benanav dalam karyanya Automation and The Future of Work (2020), pada era otomatisasi ini ada terlalu sedikit pekerjaan untuk terlalu banyak orang, muncul pengangguran, upah yang stagnan, dan juga ketidaknyamanan pekerjaan. Kondisi yang digambarkan Benanav tersebut hanya bisa diatasi secara struktural lewat tata kelola yang berpihak pada rakyat.

Namun, pada akhirnya, jika melihat fenomena saat ini orang-orang kemudian harus berjuang mencari kebaikan dalam hidupnya masing-masing, berstrategi untuk menghindari kecemasan berlebih dalam menghadapi pekerjaan, risiko pemutusan hubungan pekerjaan, atau sulitnya mendapatkan kerja yang layak. Semua menjadi personal troubles ketimbang public issues, meminjam apa yang disampaikan oleh C. Wright Mills dalam The Sociological Imagination. Ketika menjadi public issues tentu ada konsekuensi struktural yang menyertai. Sementara ketika menjadi personal troubles akhirnya setiap orang mencari strateginya masing-masing dalam menghadapi kerumitan hidup yang sebetulnya diakibatkan karena persoalan struktural.

Ada tulisan menarik di buku The Socrates Express: In Search of Life Lessons from Dead Philosophers karya Eric Weiner. Weiner mengutip tulisan Maurice Riseling, "Sooner or later, life makes philosophers of us all". Jika diartikan secara bebas kira-kira, "Cepat atau lambat, hidup membuat kita semua menjadi filsuf". Setiap manusia, menurut Weiner, berupaya untuk mencari pengetahuan, dalam arti kebijaksanaan hidup, untuk mengarungi kehidupan. Namun menurutnya, kebijaksanaan merupakan suatu keterampilan yang perlu dipelajari dan harus diusahakan. Ia menyebut, berharap mendapatkan kebijaksanaan dengan keberuntungan seperti berharap belajar bermain biola dengan keberuntungan.

Pada akhirnya setiap manusia harus berstrategi untuk meraih kebijaksanaan. Tak heran jika kita ke toko buku di list teratas yang menjadi best seller adalah buku-buku self-help atau belakangan yang menyajikan tawaran dari segi filosofis seperti filsafat Stoik yang saat ini sedang ramai digemari kelas menengah perkotaan. Selain tentu saja buku-buku berbasis keagamaan yang memang sejak lama menjadi panduan kebijaksanaan.

Atau bagi yang tak suka membaca, mencoba mencarinya di ruang-ruang virtual. Ada yang mencari di cuitan atau tulisan para penulis, di video-video ceramah, dan lain sebagainya. Bahkan yang menarik, di komen-komen lagu-lagu populer yang gelisah dengan kehidupan, ada banyak komentar menarik yang berkisah tentang kehidupan. Mereka merasa lagu-lagu tersebut relevan dengan pengalaman hidup yang sedang dilalui. Atau lagu-lagu tersebut menguatkan langkah mereka yang tertatih-tatih dalam mengarungi hidup.

Sementara ada juga, seperti yang saya sampaikan di awal, mereka yang mencari kebijaksanaan dalam obrolan-obrolan dengan rekan-rekan yang mereka percayai. Di ruang publik yang ramai mereka mencoba mencari kebijaksanaan. Di ruang publik yang ramai mereka saling berefleksi soal hidup masing-masing yang mungkin mumet dan problematik. Mereka mencari jeda, sambil menghela napas, di tengah kelelahan bertempur dengan hidup yang kompleks. Semua, seperti yang diungkap Riseling, menjadi filsuf dalam caranya masing-masing. Sebab tampak betul, pada akhirnya setiap orang harus mencari solusi dari berbagai himpitan yang sifatnya struktural dicarikan solusinya secara personal.

Anggi Afriansyah peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Riset Kependudukan



(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork