Kolom

Area Abu-Abu dan Narasi Sesat "Konten Sejarah"

Muhammad Farih Fanani - detikNews
Rabu, 12 Jul 2023 14:12 WIB
Ilustrasi: Pexels
Jakarta -

Jika Anda mengunduh aplikasi berwarna merah yang memiliki slogan "lebih dari TV", maka Anda sudah dapat menguasai dunia dalam genggaman tangan. Nama aplikasi itu adalah Youtube. Sebuah platform video yang dapat menampung karya siapa saja dengan niche yang kaya

Saya adalah salah satu penguasa dunia itu. Saya punya aplikasi Youtube di gawai. Saya juga selalu menyempatkan waktu untuk menonton video di dalamnya. Salah satu video favorit saya adalah channel yang membahas tentang sejarah. Mulai dari fakta sejarah yang tercatat dalam sebuah lontar atau prasasti, sampai pada asumsi-asumsi kesejarahan yang bervariasi.

Tema pertama sangat bisa saya nikmati. Namun, tema kedua membuat saya jengah. Bagaimana tidak, sekarang banyak sekali tontonan 'sejarah' yang sama sekali tidak disusun berdasarkan cara-cara para sejarawan menyusun peristiwa sejarah yang sebenarnya. Mereka membuat narasi yang jauh dari kata akademis dan tanpa bukti-bukti yang kuat.

Sejarah tidak bisa ditulis tanpa adanya bukti. Bukti atau sumber adalah modal terkuat dalam menulis dan merangkai peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Bahkan, saking pentingnya bukti dalam penulisan sejarah, langkah ini wajib dilakukan pertama kali. Jadi, sebelum bertutur dan berasumsi apapun, sejarawan harus mencari sumber sebanyak-banyaknya.

Bukti Sejarah

Sejarah bisa ditulis hanya jika bukti bisa ditemukan. Bukti yang bukan berdasar pada asumsi, apalagi "cocoklogi". Salah satu contohnya adalah ketika seorang budayawan yang mengatakan bahwa Candi Sukuh memiliki hubungan dengan Mesir Kuno. Argumen itu berdasar hanya karena bentuk dari Candi Sukuh yang mirip dengan piramida.

Tafsiran dari bentuk bukanlah bukti yang autentik. Apalagi, apabila tafsiran bentuk fisik yang hanya diinterpretasikan dengan cara-cara yang liar. Menafikan bukti lain berupa catatan dan analisis yang logis. Bangunan berbentuk seperti piramida bukan hanya ada di Mesir. Manusia zaman megalitikum memang mempunyai kecenderungan untuk membuat bangunan yang berbentuk seperti piramida. Tanpa ada sangkut pautnya dengan peradaban Mesir Kuno.

Maka dari itu, inilah pentingnya bukti sejarah. Bukti sejarah dalam tahap penyusunan sejarah dinamai sebagai langkah heuristik. Bukti sejarah yang paling ideal dan dapat dipercaya dengan utuh adalah sumber primer, yaitu bukti yang sezaman dengan peristiwa sejarah.

Setelah bukti atau sumber itu ditemukan, penutur sejarah baru boleh mengolahnya dengan melakukan verifikasi dan interpretasi. Verifikasi berarti menentukan keotentikan sebuah sumber yang sudah diperoleh. Interpretasi adalah usaha untuk menafsirkan apa yang didapat dari sumber yang sudah ditentukan keasliannya tersebut.

Setelahnya, sejarawan baru bisa menuliskan hasil interpretasinya. Langkah yang terakhir ini disebut sebagai historiografi. Di sinilah sejarah bisa dikisahkan, dituturkan, dan dipahami sebagai sebuah kebenaran subjektif. Sejarah memang tidak bisa objektif karena sangat bergantung pada siapa yang menulis dan kapan sejarah itu ditulis.

Namun, setidak-objektifnya sejarah, sejarah adalah cerita yang sudah disusun dengan cara-cara di atas. Sejarah tidak bisa ditulis asal-asalan tanpa bukti yang jelas dan tanpa langkah yang tidak terukur. Jika Anda bilang kalau sejarah yang dikisahkan oleh orang di luar akademisi adalah benar dan tidak perlu menggunakan metode akademik, maka Anda salah! Sejarah yang tidak disusun berdasarkan metodologi akademik bukanlah sejarah sejarah! Itu hanya cerita rakyat.

Masalahnya, video-video sejarah yang saat ini tersebar di Youtube sedikit sekali yang menggunakan cara-cara di atas sebagai langkah untuk menyusun narasi mereka. Hal itu diperparah dengan jumlah penonton yang sangat membludak, dari ratusan ribu sampai jutaan orang. Tentu ini bukanlah kabar baik bagi para sejarawan.

Ada banyak sekali contoh konten yang tak bisa ditemukan buktinya. Mulai dari pembahasan tentang klaim kerajaan tertua di Indonesia yaitu Salakanagara, kisah Sabdo Palon dan Naya Genggong, sampai pada Nyi Roro Kidul yang eksistensinya dianggap benar-benar nyata. Semua itu adalah isu-isu yang sampai sekarang masih belum bisa dibuktikan kebenarannya. Kalaupun ada peninggalan yang 'dianggap' menguatkan, data-data itu sangatlah lemah.

Hal yang juga sangat menjengkelkan adalah ketika para konten kreator tersebut menggunakan istilah "tidak pernah diajarkan di sekolah" dan membuat sejarah yang dituturkannya seakan sebuah kebenaran yang ditutup-tutupi oleh para akademisi.

Sikap Sejarawan

Saat para konten kreator non sejarawan memproduksi cerita rakyat "berkedok" sejarah, yang mudah sekali untuk tersebar, di sisi lain para sarjana sejarah sedang duduk di atas singgasana dan bersikap tak acuh terhadap situasi tersebut. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mati kutu melawan narasi yang sedang gencar-gencarnya diproduksi oleh cerita rakyat atau mitos yang meresahkan.

Hal ini karena selama belajar, sebagian dari mereka hanya diajari bagaimana cara membaca sejarah dari buku dan menulisnya di atas kertas. Sementara itu, buku hanyalah jendela dunia, tapi alat untuk menguasai dunia saat ini adalah gawai. Para sarjana sejarah sama sekali tak bisa mengoperasikan gawai untuk menyebarkan informasi yang benar. Hanya belajar bagaimana cara bertutur, berdiskusi, dan mendebatkan sebuah peristiwa sejarah dalam ruang lingkup internal saja.

Saya tidak mengada-ngada. Fakta ini benar-benar terjadi. Dalam bahasa yang lebih keren, para pemerhati isu-isu sosial terutama di media sosial menyebut ini dengan istilah matinya kepakaran. Ketika orang-orang sudah tidak menaruh kepercayaan terhadap para pakar yang mumpuni di bidang tersebut, dan lebih memilih untuk percaya dan berdiskusi dengan orang-orang yang punya banyak pengikut di media sosial.

Matinya kepakaran sebetulnya tidak hanya terjadi pada sejarawan saja. Para ahli di bidang tertentu yang selama ini menggeluti bidang tersebut bertahun-tahun juga mengalami masalah yang sama. Fatwa para ulama sekarang ini tidak lebih dipercaya dibandingkan fatwa para artis yang baru saja hijrah dan memanjangkan jenggot mereka.

Harapan bangkitnya para pakar sejarah untuk membumikan peristiwa sejarah yang benar tentu sangatlah tinggi. Hal ini sebagai salah satu cara untuk mendukung para konten kreator lain yang sudah mulai menggunakan cara-cara yang benar dalam menyusun sejarah. Narasi mitos yang mengatasnamakan sejarah harus segera dituntaskan agar area abu-abu dalam sejarah Indonesia tidak diisi dengan narasi-narasi dugaan yang menyesatkan.

Muhammad Farih Fanani jurnalis dan Magister Sejarah

Simak juga 'Senangnya Keluarga Puri Agung Klungkung saat Belanda Akan Kembalikan Keris':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork