Menghentikan "Bullying" di Sekolah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menghentikan "Bullying" di Sekolah

Senin, 03 Jul 2023 14:30 WIB
Surya Al Bahar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Close up compassionate young foster parent holding hands of little kid girl, giving psychological help, supporting at home. Sincere different generations family sharing secrets or making peace.
Ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/fizkes
Jakarta -

Beberapa waktu lalu saat persiapan ujian, saya bersih-bersih kelas dengan para siswa. Saya manfaatkan betul momen itu, karena hanya saat itu saja saya dan mereka punya waktu yang cukup panjang.

Kebetulan saya gunakan waktu tersebut untuk mendengarkan cerita-cerita mereka. Ternyata seru dan menarik untuk didengar. Pengalaman mereka beragam. Saya senyum-senyum sendiri melihat mereka bisa bercerita, merangkai ceritanya dengan menarik, runtut, dan tidak membingungkan.

Dari mereka saya mulai belajar mendengar. Dua telinga saya siap menerima semua cerita mereka. Itu hal paling sederhana, membuat mereka merasa dihargai. Meski sebenarnya mereka ingin saya meresponsnya, tetapi langkah pertama yang harus saya lakukan adalah benar-benar mendengarkan mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlebih karena dalam lingkungan belajar yang sama, jadi satu cerita bisa disambung ke cerita-cerita lain. Satu anak bercerita, anak lain menimpali dengan tema cerita yang sama. Atmosfernya semakin seru.

Itu momen emas. Jarang anak dipacu bercerita. Kadang mereka enggan bercerita karena takut tidak menarik, takut tidak nyambung ceritanya, atau takut mengawali cerita ke gurunya. Padahal, substansinya bukan masalah nyambung dan tidak nyambung.

ADVERTISEMENT

Dengan bercerita, minimal anak mau bersuara, mengungkapkan perasaannya. Itu poin plus yang tidak ternilai. Saat itu juga, terbersit saya ingin mereka tambah banyak bicaranya, tanpa pikir panjang, saya langsung mengalihkan momen itu menjadi forum diskusi santai.

Berhubung waktu pulang masih agak lama, saya buat mereka melingkar. Mirip diskusinya para mahasiswa. Tidak masalah bagaimanapun bentuk diskusinya, yang penting mereka bisa melihat semua temannya. Paling tidak ketika mereka berpendapat, teman-teman lainnya bisa melihat langsung dan mendengar apa yang mereka utarakan.

Ini memang agak sepele, tetapi dalam berargumen, jika mereka saling memperhatikan argumen masing-masing temannya, itu membuat anak semakin semangat berargumen, karena merasa pendapat mereka didengar dan diperhatikan.

Dari sekian banyak masalah yang mereka lontarkan, ada satu masalah yang saya soroti, yaitu bullying. Di usia-usia mereka, fenomena bullying kerap kali terjadi. Ditambah dengan saling ejek satu sama lain.

Mereka melumrahkan itu. Bahkan, saling ejek kerap kali dijadikan tanda bahwa di antara mereka sudah saling akrab. Ada benarnya, tetapi kita tidak tahu, di titik mana orang bisa tersinggung. Masing-masing orang punya titik singgung berbeda-beda.

Untuk mengantisipasi supaya tidak ada yang tersinggung, alangkah baiknya tidak perlu saling ejek. Masih banyak cara untuk mengekspresikan keakraban. Meski begitu, fenomena bullying dan saling ejek harus secepat mungkin bisa diredam. Itu saling berhubungan. Di dalam bullying, pasti ada narasi jelek berupa mengejek dan mengolok-olok. Jangan sampai itu menjadi budaya. Apalagi dijadikan hal yang lumrah.

Seringkali kita menjadi pendidik kurang begitu tahu efek yang ditimbulkan dari fenomena itu. Kita baru tahu ketika mereka bercerita. Anak seusia mereka kebanyakan masih sulit mengekspresikan perasaan yang mereka alami. Makanya, kunci hubungan sosial antara guru dengan murid adalah komunikasi. Gali sebanyak mungkin potensi siswa. Untuk mengetahui potensi itu, kunci utamanya adalah komunikasi.

Model Diskusi

Pola komunikasi itu bentuknya cukup banyak, salah satunya adalah diskusi. Itu resep menjaga hubungan baik antara guru dan murid. Terlebih apabila digunakan dalam pembelajaran. Bukan tanpa alasan, karena dengan diskusi, kelas akan lebih hidup. Siswa akan memberi banyak perspektif. Dari cara pandang itu, guru bisa mengerti, sejauh mana cara berpikir para siswanya. Itu bisa dijadikan indikator tingkat pemahaman siswa.

Model diskusi yang saya buat ternyata cukup efektif, meski ada beberapa anak terlihat masih pasif, tidak mengapa, bukan masalah besar. itu proses. Seiring perkembangannya, anak yang pasif itu akan pelan-pelan aktif saat mereka sering bertukar pikiran lewat diskusi.

Sebetulnya diskusi seperti ini pernah mereka lakukan dalam pembelajaran di kelas, tetapi itu cukup formal, sehingga membuat anak merasa kurang enjoy untuk berpendapat. Perlu pola diskusi santai agar mereka punya keberanian berpendapat.

Bullying tidak selalu menimpa pada anak pendiam atau pasif di kelasnya. Banyak anak pendiam yang tidak di-bully di lingkungannya. Dia malah disegani teman-temannya. Justru bullying sering menimpa anak yang aktif, suka bergaul, sosialnya baik.

Seperti halnya di kelas mereka. Ada satu anak unik. Tingkahnya agak berbeda dari teman-temannya. Bukan anak berkebutuhan khusus. Ia normal pada umumnya, tetapi secara sosial, ia punya cara sendiri dalam bergaul. Dari perbedaan itu, kadang teman-teman yang lain memperlakukannya beda.

Hanya sekadar memperlakukan, buka memusuhi. Itu bisa dibuktikan dari kebiasaan mereka yang terlihat masih akrab dan tidak ada kesan memusuhi. Bahkan dalam beberapa kegiatan, mereka masih respect, saling menolong.

Sebagai guru, saya tidak bisa mendiamkan itu. Saat diskusi, mereka saya tanya satu-satu, kenapa anak ini sering di-bully. Sebelum saya tanya ke teman-temannya, anak yang di-bully tersebut saya kasih pengertian terlebih dahulu supaya ia tahu apa penyebabnya. Akhirnya ia bersedia menerima dan mendengar pendapat teman-temannya.

Masing-masing mereka punya pendapat berbeda-beda. Setelah saya kumpulkan penyebabnya, saya bisa menyimpulkan bahwa selain komunikasi, perbedaan itu disebabkan karena memang tingkah anak itu sering terlihat masih seperti anak kecil.

Suka teriak-teriak tidak jelas. Saat menyikapi masalah atau sesuatu hal, ia sering heboh sendiri. Ringkasnya, ia masih terindikasi berperilaku anak kecil. Terutama dalam hal merespons obrolan teman-temannya. Itu yang kadang membuat teman-temannya risih.

Di sela-sela diskusi itu, ada satu anak bercerita. Di sekolah sebelumnya, ia sempat punya teman yang karakternya sama, masih anak-anak. Kondisinya malah lebih parah, sampai dikucilkan teman-temannya. Cuma anak ini baik. Jadi ketika tidak ada teman yang mau mendekat, justru ia berinisiatif coba mendekatinya.

Secara tidak langsung ia bertugas sebagai penyambung lidah. Menyampaikan pendapat kenapa teman-temannya bersikap seperti itu. Pelan-pelan ia memberi pengertian agar si anak itu mau mengubah sikapnya. Dengan sabar, alhasil ia mau mengubah dan akhirnya sekarang teman-teman yang menjauh tadi perlahan mulai mendekatinya lagi.

Harus Dihentikan

Dari diskusi mereka, saya bisa katakan, praktik pem-bully-an bisa berasal dari dua faktor. Pertama karena efek dari tingkah laku si anak yang terkena bully. Sebenarnya para temannya respect, tidak ada niat mem-bully, tetapi karena tingkah si anak tadi, membuat mereka melakukan itu. Kedua, berasal dari lingkungan pertemanannya yang memang dengan gampang menganggap bullying itu hal biasa. Tanpa merasa bersalah, mereka terus melakukannya.

Dari mana saja penyebabnya, bullying tidak bisa dibenarkan, dibiarkan, dan dilumrahkan. Sebisa mungkin harus diredam gejalanya. Bila melihat ada indikasi bullying, sebelum berakibat fatal, praktik itu harus secepat mungkin dicegah. Anak seusia mereka mestinya perlu sering-sering diberi pengertian mengenai efek, dampak, dan imbasnya, supaya mereka tidak menyepelekan bullying.

Di akhir diskusi mereka, saya tegaskan kembali bahwa mulai saat itu juga bullying harus benar-benar dihentikan. Tidak ada lagi saling ejek. Tidak ada lagi praktik bullying. Antarteman harus saling membantu dan membangun dalam hal apa saja, terutama dalam motivasi belajar.

Sebelum mereka pulang, saya sedikit bercerita, dulu waktu SMP, saya pernah punya teman yang sering di-bully karena suka mencontek saat ujian. Cara menconteknya keterlaluan, sampai membuat jengkel anak yang diconteknya. Itu yang membuat dia sering di-bully. Namun setelah lama tak bertemu, akhirnya dipertemukan kembali ketika reuni. Ia tampil beda. Lebih modis dan terlihat cukup mapan.

Secara prestasi ekonomi dan proses pendidikannya, ia di atas dari prestasi teman-temannya yang dulu mem-bully-nya. Bahkan saya sempat dengar, ketika tes masuk SMA, ia salah satu anak yang diterima jalur akselerasi di sekolah favorit di Lamongan. Setelah itu ia diterima kuliah di UI, dan lulus langsung bekerja di perusahaan swasta yang terkenal besar di Surabaya.

Perubahan itu disebabkan karena anak yang hidup dalam keremehtemehan pasti akan mempunyai motivasi hidup jauh lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya. Hidupnya hanya berjuang untuk menjawab semua orang yang sudah merendahkannya. Masa depan orang tidak ada yang tahu. Bila bisa terbang bersama, kenapa harus saling menjatuhkan, kalau pada akhirnya juga mengalami kekalahan.

Ahmad Baharuddin Surya penulis dan pengajar, tinggal di Lamongan


(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads