Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG ) telah memberikan peringatan bahwa Indonesia berpotensi terpapar El Nino yang akan menimbulkan kekeringan. Selain itu, Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization-FAO) telah mengingatkan negara-negara terhadap ancaman El Nino yang akan berdampak terhadap produksi pangan.
Aktor utama dalam pertanian dalam konteks petani padi adalah buruh petani, petani skala kecil, maupun petani skala besar. Tetapi, kehidupan petani di Indonesia didominasi oleh buruh tani dan petani skala kecil yang memiliki akses lahan di bawah 0,25 hektar. Maka, peringatan mengenai potensi kekeringan merupakan tanda waspada yang serius bagi kehidupan petani. Lebih lanjut, petani membutuhkan adaptasi untuk menghadapi ancaman kekeringan.
Berbicara ancaman kekeringan terhadap petani, terdapat empat hal penting untuk didiskusikan. Pertama, kecenderungan iklim; kedua, kondisi ekosistem di lahan pertanian; ketiga, struktur pertanian memberikan kerentanan bagi petani; keempat, kebutuhan adaptasi petani yang tidak menambah resiko bagi petani.
Empat hal tersebut saya kemukakan berdasarkan penelitian yang pernah saya lakukan. Empat hal di atas merupakan identifikasi permasalahan kondisi iklim, kondisi ekosistem, struktur pertanian, hingga kebutuhan adaptasi petani yang perlu dipahami secara menyeluruh.
Pertama, kecenderungan iklim merupakan amatan dan peran strategis otoritas, akademisi, maupun peneliti yang harus berbasis data. Mengapa berbasis data? Karena komponen iklim meliputi suhu udara, curah hujan, maupun presipitasi perlu dibuktikan melalui komponen data.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang merupakan otoritas ilmiah global mengenai perubahan iklim menyebutkan bahwa salah satu komponen data untuk mengetahui terjadinya perubahan iklim adalah curah hujan perlu yang diamati selama kurun waktu 30 tahun atau lebih. Di samping itu, komponen curah hujan menjadi penentu terjadinya kekeringan. Sebaliknya, curah hujan menjadi penentu bagi petani untuk memulai musim tanam.
Hal-hal tersebut terekam dalam berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki pengalaman kekeringan akibat El Nino yang menyebabkan kondisi kekeringan ekstrem dengan indikasi tidak terjadinya musim penghujan lebih dari 90 hari. Kondisi demikian menyebabkan petani menyedot air melalui pompa yang kemudian menyebabkan modal bertani semakin membengkak karena petani perlu membeli bahan bakar untuk menghidupkan pompa tersebut.
Kedua, kondisi ekosistem di lahan pertanian saat ini pun tidak dalam keadaan baik-baik saja karena petani menghadapi berbagai hama di lahan pertanian. Hama semakin resisten dan beragam karena petani telah bergantung kepada penggunaan pestisida kimiawi untuk meningkatkan produksi pertanian dalam jangka waktu lama.
Ketiga, struktur pertanian memberikan kerentanan bagi petani yaitu ketergantungan petani kepada komponen kimiawi baik pupuk maupun pestisida yang menyebabkan ongkos bertani kian mahal. Ongkos bertani kian mahal yang tidak diikuti dengan peningkatan marjin keuntungan ekonomi yang dapat memberikan kesejahteraan bagi petani. Di samping itu, struktur pertanian petani yang memberikan kerentanan bagi petani adalah petani 'perlu' berhutang untuk membeli komponen kimiawi.
Kerentanan tersebut kian berlapis ketika minimnya perlindungan struktural terhadap petani sehingga petani menghadapi ketiadaan pilihan. Akhirnya, petani 'terjebak' bergantung kepada aktor yang memberikan hutang dengan membelit petani terhadap kungkungan hutang.
Keempat, kebutuhan adaptasi petani adalah adaptasi yang tidak menambah risiko bagi petani. Misalnya, dalam ilustrasi benak petani bahwa penggunaan komponen kimiawi secara intensif melewati 'dosis' di lahan pertanian ketika menghadapi serangan hama di lahan pertanian dan untuk meningkatkan produksi pertanian merupakan bagian dari tindakan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan hidup.
'Tindakan penyesuaian' tersebut berpotensi menambah kerentanan bagi petani karena kondisi ekosistem di lahan sawah semakin memburuk yang berpotensi secara langsung menurunkan produksi pertanian. Tambahan kerentanan tersebut merupakan tindakan gagal adaptasi.
Tak Sekadar Penyesuaian
Kondisi kekeringan yang akan berulang semakin sering dan semakin panjang akan menyebabkan petani kehilangan sumber penghidupannya. Maka, pihak otoritas, pembuat kebijakan, maupun akademisi dan peneliti perlu memberikan peluang dan membangun kapasitas bagi petani untuk mampu melakukan adaptasi.
Tindakan adaptasi tidak sekadar upaya penyesuaian terhadap perubahan lingkungan hidup, melainkan tindakan penyesuaian yang memperhatikan keberlanjutan ekosistem di lahan pertanian dan keberlanjutan sosial petani.
Keberlanjutan ekosistem membutuhkan terobosan inovasi dan teknologi untuk menghasilkan benih padi yang hemat air dan resisten terhadap serangan hama di lahan sawah. Misalnya terdapat salah satu benih padi yang disukai oleh petani apabila masa tanamnya pendek meliputi 100 hingga 115 hari masa tanam dengan kondisi yang resisten ditanam baik pada masa kekeringan maupun pada musim penghujan. Maka, teknologi yang diperlukan adalah benih padi yang terjangkau aksesnya oleh petani, masa tanam pendek, hemat dalam penggunaan air, maupun resisten terhadap serangan hama dan menghasilkan produktivitas pertanian yang tinggi.
Pengadaan benih padi yang ideal tersebut dapat menunjang praktek pertanian petani yang berkelanjutan. Sedangkan, komponen keberlanjutan sosial adalah bagaimana petani membangun kapasitas pengetahuan secara kolektif dan melanjutkan praktik-praktik sosial yang berbasis lokalitas yang tidak menambah kerentanan bagi petani. Misalnya, praktik perhitungan masa tanam secara musyawarah tingkat desa.
Namun, praktik ini perlu dimutakhirkan dengan adanya keterlibatan otoritas maupun akademisi dan peneliti maupun aktor lainnya yang dapat memberikan akses informasi iklim maupun akses pengetahuan bagi petani untuk mampu adaptif menghadapi perubahan iklim.
Komponen adaptasi yang dibutuhkan oleh buruh tani dan petani skala kecil adalah adaptasi yang tidak berbayar dan tidak menambah resiko bagi penghidupannya. Maka, petani tidak dapat berjalan sendirian menghadapi rangkaian ketidakpastian iklim saat ini dan masa depan.
Ica Wulansari pegiat kajian sosial-ekologi, dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina
(mmu/mmu)