Kolom

Problema Masa Tunggu Haji

Fajar Ruddin - detikNews
Jumat, 16 Jun 2023 13:00 WIB
Jemaah haji asal Jawa Barat berangkat (Foto ilustrasi: Agung Pambudhy)
Jakarta -

Teman saya hanya bisa geleng-geleng kepala ketika saya bilang lama antrean haji di Jawa Tengah mencapai 31 tahun. Dia seperti tidak percaya bahwa untuk menunaikan rukun Islam kelima dengan jalur reguler, dirinya harus menunggu selama itu. Itu pun dengan catatan kalau dia mendaftar tahun ini. Kalau tidak segera mendaftar, masa tunggunya tentu akan semakin tidak keruan.

Antrean haji memang semakin menjadi problema. Data Kemenag menunjukkan bahwa antrean haji terlama mencapai 47 tahun di Kabupaten Bantaeng, sedangkan antrean tercepat adalah Kabupaten Maluku Barat Daya dengan lama 11 tahun. Jika dirata-rata, lama antrean haji di Indonesia mencapai lebih dari 23 tahun. Dengan masa tunggu selama itu, bukan mustahil jika proporsi jemaah haji 20 tahun mendatang didominasi oleh lansia.

Tahun ini saja, yang rata-rata jemaahnya mendaftar sepuluh atau belasan tahun lalu, jemaah lansia sudah berada di angka 30 persen. Itu pun karena Kemenag menetapkan standar usia lansia dimulai dari 65 tahun. Jika Kemenag menggunakan acuan WHO yang menghitung lansia dari 60 tahun, jumlah jemaah kategori lansia pastinya akan naik drastis.

Merugikan Banyak Pihak

Perlu dipahami bahwa lamanya antrean haji akan merugikan banyak pihak, baik bagi pemerintah maupun jemaah itu sendiri. Bagi jemaah, waktu tunggu yang mencapai puluhan tahun itu akan semakin menjauhkan mereka dari kondisi fisik dan psikologis yang ideal untuk berhaji. Padahal kita tahu bahwa haji adalah ibadah yang paling menguras stamina.

Bagi pemerintah, banyaknya jemaah yang rentan secara fisik akan meningkatkan kebutuhan akan petugas dan fasilitas penunjang karena menjaga yang rentan tentu berbeda dengan menjaga orang yang masih bugar. Tantangan yang dihadapi petugas dalam menjaga yang rentan pastinya akan semakin berat.

Saya sendiri beberapa kali mendapati kisah unik ketika menjadi petugas haji. Pernah suatu waktu ada lansia yang minta pulang ke rumah karena mengkhawatirkan ternaknya. Ada juga yang hilang berhari-hari karena ternyata mengidap demensia. Belum lagi jemaah yang sudah tidak mampu berjalan sehingga harus selalu didorong dengan kursi roda. Kasus-kasus seperti ini tentunya tidak masalah jika ditemukan hanya pada satu-dua jemaah, tapi jika itu terjadi pada mayoritas jemaah tentu akan menyulitkan petugas. Dan, hal itu sangat mungkin terjadi dalam 10-20 tahun ke depan jika tidak ada solusi dari pemerintah untuk memangkas antrean haji.

Selain itu, secara historis haji adalah salah satu ibadah yang kebermanfaatannya sangat luas. Tidak berhenti pada bertambahnya gelar seseorang dan kesalehan pribadi, alumni haji juga merupakan motor perubahan masyarakat. Di Indonesia, dulu jemaah haji dikenal sebagai salah satu penggerak perlawanan atas kolonialisme. Bahkan konon gelar haji sengaja disematkan penjajah Belanda untuk memudahkan dalam pengawasan pergerakan para alumni haji.

Hal itu sangat wajar terjadi karena di tanah suci jemaah tidak hanya sekadar melakukan ibadah ritual semata, tapi juga ada kegiatan penyerta seperti majelis ilmu, ziarah religi, bahkan kegiatan perniagaan. Belum lagi pertukaran budaya dan pikiran antarjemaah haji lintas negara sehingga orang yang telah berhaji sudah semestinya akan semakin terbuka wawasan dan pengetahuannya. Dengan bekal spiritualitas, ilmu, dan semangat yang menggelora seperti itu, maka bisa dibayangkan bagaimana daya dobrak tiap jemaah haji yang pulang ke kampung halamannya.

Minimal di masjid kampung, mereka akan dijadikan imam salat dan katib Jumat. Omongan mereka akan didengar, perilaku mereka akan ditiru, dan tindak-tanduk mereka akan diperhatikan. Tidak berhenti sampai di situ, inspirasi-inspirasi yang mereka dapatkan selama perjalanan haji juga akan ditularkan. Di kampung saya, madrasah pertama bahkan dibangun oleh seorang haji.

Tetapi, sekali lagi bahwa kebermanfaatan ini hanya akan maksimal jika jemaah tersebut prima secara fisik dan psikis, baik ketika melaksanakan ibadah haji maupun ketika pulang ke kampung halamannya. Jika tidak, maka kemungkinan tidak banyak inspirasi yang bisa dipetik oleh jemaah tersebut selama berada di tanah suci. Pun faedah yang bisa ditularkan di kampung halamannya menjadi terbatas. Apalagi jika yang bersangkutan sudah dalam kondisi sakit-sakitan sehingga hanya bisa berbaring di tempat tidur.

Oleh karena itu, pemerintah perlu secara serius menemukan solusi memangkas lama antrean haji. Supaya mereka yang masih produktif bisa segera berhaji sehingga kebermanfaatannya bagi masyarakat akan semakin luas dan panjang. Selain itu, jemaah yang akan berangkat haji pun harus betul-betul dipastikan sehat secara fisik dan psikis karena haji mensyaratkan istitha'ah (kemampuan) bagi pelaksananya. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka sejatinya sudah gugur kewajibannya berhaji.

Fajar Ruddin dosen psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, petugas haji 2016-2018 dan 2022




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork