Kolom

Membaca di Ruang Publik: Perang Kecil Melawan Mesin-Mesin

Anwar Khamdan - detikNews
Jumat, 09 Jun 2023 16:10 WIB
Foto ilustrasi: Ari Saputra
Jakarta -

Salah satu drakor yang saya tonton sampai habis adalah series lama berjudul Start Up. Ada satu kisah di sana yang terasa membekas buat saya, tentang seorang ayah yang menjadi semacam tokoh dalam demo-demo yang memperjuangkan nasib para pekerja yang posisinya diambil alih oleh mesin-mesin modern. Kisahnya menjadi menarik ketika dia baru saja mengetahui fakta bahwa ternyata, anak satu-satunya, Nam Do San, juga merupakan pelaku dalam bisnis industri mesin tersebut.

Sang ayah didera rasa malu, rasa bersalah karena menyadari bahwa secara tidak langsung dia selama ini menjadi batu sandungan bagi karier anaknya. Di lain pihak, loyalitasnya di tengah para pekerja yang kehilangan pekerjaannya pun dipertanyakan karena membiarkan anaknya sendiri terlibat dengan pihak yang mereka tentang. Di tengah dilemanya, dia pun menyingkir sejenak dari aktivitasnya menyuarakan pendapat. Mungkin agak frustrasi.

Kemudian setelah beberapa kejadian dan renungan-renungan yang dia ambil, dia kembali pada aktivitasnya dengan satu kesadaran yang lebih matang. Bahwa arus kemajuan teknologi tidak bisa dihalau memang, tapi dia memilih tetap ambil peran untuk menahan agar arus itu tidak melaju terlalu kencang dan memakan banyak korban, para pekerja yang ada di belakangnya. Buat saya ini nilai plus yang cukup tinggi, sebuah serial drama yang pokok cerita utamanya adalah perintisan usaha industri, tapi di sisi lain mengangkat isu kemanusiaan tentang para pekerja yang kehilangan posisinya akibat usaha industri tersebut.

Kisah di atas mengingatkan saya pada buku-buku. Saya lumayan suka membaca buku. Katakanlah buku adalah korban lain dari kemajuan teknologi, di samping para pekerja yang kehilangan posisinya tadi.

Banyak sekali beredar narasi-narasi yang memuat kekhawatiran atas nasib buku di era digital ini. Narasi kekhawatirannya juga cukup beragam, mulai dari rendahnya tingkat literasi, turunnya daya tahan membaca, terasingnya kawula muda dari nama-nama penulis hebat, perpustakaan sekolah yang hanya menyediakan buku proyek yang asal-asalan, sampai pembahasan soal bibliosida yang katanya masih ada di jaman semaju ini. Hari ini, orang-orang lebih banyak membaca apa pun di internet daripada membaca buku-buku.

Sebagai penikmat buku fisik saya tentu ikut urun kekhawatiran, tapi toh seperti ayah Nam Do San di serial Start Up tadi, tidak banyak yang bisa saya perbuat. Kalau misal suatu saat buku fisik itu hilang sama sekali atau menjadi begitu langka, berganti audiobook, videobook, atau hanya artikel-artikel digital, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi kalau boleh dihitung sebagai perjuangan mempertahankan eksistensi buku, sebenarnya saya punya agenda kecil-kecilan, agenda membaca buku di depan umum. Barangkali karakter ayah Nam Do San sedikit banyak mewariskan sikap sok patriot dan sok heroik dalam diri saya.

Entah sejak kapan saya suka membaca di ruang-ruang publik, di kereta, di stasiun ketika menunggu kereta, di pesawat, di bandara. Ada semacam sensasi tersendiri. Saya yang belakangan mengajar di salah satu sekolah dasar juga sering kedapatan oleh murid-murid sedang menenteng atau membaca buku di sekolah, di kelas, di masjid sekolah, atau di kantor sekolah.

Ruang publik hari ini tak ubahnya lautan orang-orang yang tertunduk pada ponselnya, membaca di depan umum bagi saya seperti mengumumkan perang kecil-kecilan melawan digitalisasi, bahwa saya bukan budak smartphone! Saya memang agak konservatif, tidak terlalu suka membaca lewat perangkat-perangkat digital.

Tapi sekali lagi seperti ayah Nam Do San, seperti demo-demonya yang tidak cukup didengar, upaya saya untuk membaca di depan umum, kalau ditujukan untuk mempertahankan eksistensi buku, bisa dibilang adalah upaya yang tidak banyak memberi dampak. Mungkin ada dampak yang tidak kelihatan, misal salah satu dari ratusan orang di stasiun yang melihat saya asyik membaca kemudian membuka lagi buku lamanya sesampainya di rumah. Atau ketika saya mem-posting momen saya membaca buku di tengah keramaian kemudian salah satu teman jadi ikut-ikutan ingin mencicipi sensasi membaca buku di depan umum. Atau barangkali salah satu murid saya yang menyaksikan gurunya suka membaca buku jadi punya ketertarikan pada buku-buku?

Saya akan senang jika memang agenda kecil saya punya buntut positif, atau dalam skala kecil jadi semacam syiar di dunia baca-membaca. Saya akan senang mengisi peran ayah Nam Do San dalam dunia baca tulis ini, sebuah riak kecil yang berteriak di hadapan modernisasi, sebuah kerikil yang menjadi hambatan remeh bagi laju digitalisasi yang kencang itu, ya walaupun pada kenyataannya tidak sedramatis itu. Saya membaca di depan umum juga sekalian buat gaya-gayaan, biar kelihatan intelektuil. Toh sebenarnya segalanya tidak semengerikan itu, di samping kekhawatiran-kekhawatiran, dalam dunia buku-buku saya juga masih sering menemui penghiburan-penghiburan.

Penghiburan itu datang ketika bertemu sesama penyuka buku lain. Sepupu jauh saya yang kemarin ketika lebaran mudik ke rumah saya, melahap novel yang saya pinjamkan dalam sejam dua jam saja di tengah ramainya kumpul keluarga. Beberapa teman di Facebook masih suka saling bertukar referensi bacaan. Salah satu teman bapak punya banyak koleksi buku legendaris. Teman-teman di kelas menulis masih suka membagikan review buku dan masih menghidup-hidupi dunia kepenulisan. Atau seorang perempuan yang saya temui di bandara dan kemudian mengeluarkan buku bacaan dari tasnya ketika melihat saya asyik membaca sebuah novel.

Saya sendiri 'memperjuangkan' eksistensi buku bukan berdasarkan pada kesadaran atas peran vital buku dalam dunia keilmuan, bisnis, politik, masyarakat atau apa. Pikiran saya sesimpel bahwa buku fisik adalah barang yang saya sukai. Ada perasaan sakral ketika menyentuhnya, ada semacam rasa magis yang disertakan penulis dalam lembar-lembar kertasnya, saya hanya ingin lebih banyak orang menyukai apa yang saya sukai, juga ingin hal yang saya sukai berperan lebih lama lagi di lintasan sejarah manusia.

Bertemu dengan sesama penikmat buku seperti bertemu dengan teman seperjuangan di sebuah medan perang, perang kecil melawan arus digitalisasi, perang kecil melawan mesin-mesin yang bisu dan kaku. Ketika bercengkerama dengan mereka saya suka merasa bahwa dunia tulis menulis dan baca membaca buku fisik masih punya nafas tambahan untuk beberapa kurun waktu. Kadang sebagai rekan perjuangan ingin saya panggil nama-nama mereka sambil membubuhkan kata kamerad di depannya, seperti dalam film-film perang.

Anwar Khamdan penikmat buku




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork