Kolom

Tak Sekadar Hafal Pancasila

Muh. Fajaruddin Atsnan - detikNews
Kamis, 01 Jun 2023 11:10 WIB
Foto: dok. BPIP RI
Jakarta -

Menyebutkan lima sila dalam Pancasila bukan perkara sulit. Namun, itu bagi mereka yang hafal. Berbeda cerita ketika ternyata kaum kekinian tidak sedikit yang tak hafal Pancasila. Ada yang menyebutkannya terbolak-balik, ada pula yang susunan kalimatnya amburadul. Kondisi ini berbeda jauh dengan orang bahari (orang tua dahulu) yang mana Pancasila hafal di luar kepala. Bahkan, tidak hanya hafal, melainkan juga turut mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di setiap silanya. Berangkat dari kondisi inilah, kita perlu tetap mempertahankan mata pelajaran PPKN, minimal agar para siswa generasi milenial lancar mengucapkan Pancasila.

Setiap 1 Juni kita memperingati hari lahirnya Pancasila. Bentuk peringatan tak sekadar seremoni, ataupun bahagia karena libur nasional. Memaknai hari lahir, biasanya terselip rasa syukur di dalamnya. Salah satu wujud syukur tersebut tentu dengan bagaimana mengembalikan girah Pancasila sebagai pengikat persaudaraan antarwarga negara Indonesia.

Salah satu pengikat gotong-royong untuk kembali melanjutkan pembangunan negeri adalah kembali ke nilai-nilai luhur Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki nilai-nilai luhur di setiap silanya. Pertama, sila Ketuhanan yang Maha Esa. Indonesia merdeka bukan semata-mata hadiah dari penjajah kala itu. Indonesia merdeka berkat rahmat Tuhan yang membukakan pintu hati setiap pejuang, sehingga mampu menyingkirkan segala bentuk perbedaan yang ada. Prinsip ketuhanan menjadi dasar bahwa bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri.

Sukarno berharap agar segenap rakyat Indonesia ber-Tuhan dan menyembah Tuhan serta menjalankan ajaran agama, dengan mengedepankan sikap menghormati agama lain, sehingga tercipta negara Indonesia yang berkeadaban. Alangkah sejuknya ketika di tiap perayaan hari besar agama tertentu, ada sikap toleransi dan partisipasi dari kaum agama lain. Misalnya, saat hari raya Islam seperti Idul Fitri, warga non muslim membantu merapikan parkir atau membantu polisi mengatur lalu lintas jalan.

Begitupun sebaliknya, ketika hari Natal, berganti, warga muslim yang menjaga situasi agar tetap kondusif dan aman di sekitaran gereja. Begitu seterusnya, sehingga harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia bisa terjaga.

Kedua, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mahatma Gandhi pernah mengatakan, "My nationalism is humanity." Nasionalisme memang menjadi dasar kebangsaan, tetapi perikemanusiaan adalah yang utama. Yaitu dengan menjamin setiap warga negaranya memperoleh hak-hak dasar yang melekat pada diri seperti hak hidup, hak menyampaikan pendapat, hak menganut keyakinan yang dijamin oleh undang-undang, melalui cara-cara yang beradab sebagai bangsa ketimuran dan juga adil, tanpa diskriminasi antara manusia yang satu dengan lainnya.

Ketiga, sila Persatuan Indonesia. Cita-cita para pejuang adalah untuk mendirikan negara kebangsaan Indonesia. Ada rasa nasionalisme yang membalut cita-cita tersebut, ada rasa memiliki negara kesatuan Republik Indonesia, yang direpresentasikan melalui sikap bersatu padu demi kemerdekaan dan kemajuan bangsa ini. Sukarno sudah mewanti-wanti agar setiap warga negara Indonesia bisa bersatu demi keutuhan negeri, kala itu demi meraih kemerdekaan. Kini, meskipun tidak terjadi penjajah fisik, tetapi tantangan anak negeri untuk menjaga persatuan dan kesatuan negeri semakin besar.

Derasnya arus media sosial yang terbumbui dengan banyaknya hoaks, ujaran kebencian, sarkasme, persekusi, bullying, menjadi tantangan untuk bagaimana bersikap agar tidak mudah terprovokasi sehingga terjaga keutuhan NKRI ini. Almarhum Gus Dur pernah berkata bahwa semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar pula rasa toleransinya. Meskipun kita hidup di tengah badai hoaks dan ujaran kebencian yang telah merusak kerukunan hidup dalam masyarakat, memecah belah umat NKRI, serta menjadi racun ganas yang melumpuhkan sendi-sendi kehidupan, tetapi kita yakin bahwa itu hanya dilakukan oleh segelintir oknum yang menginginkan retaknya NKRI.

Jauh lebih banyak WNI yang menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan mengedepankan sikap tenggang rasa terhadap sesamanya. Kita merasakan bahwa kehidupan bangsa Indonesia tengah mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Kehidupan berbangsa yang mengalami devaluasi, distorsi (penyimpangan), dan disorientasi dari kiblat bangsa Pancasila dan UUD 1945 dan cita-cita nasional harus segera diatasi dengan hadirnya kembali rasa memiliki Tanah Air.

Keempat, sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Pasca era Reformasi 1998, yang ditandai dengan runtuhnya Orde Baru, seluruh rakyat Indonesia seolah tereinkarnasi, terlahir kembali dengan diberikan keleluasaan untuk mengaktualisasi dan berekspresi diri dengan cara-cara yang santun. Musyawarah untuk mencapai kata mufakat kembali menghiasi setiap rapat untuk mengambil suatu kebijakan dan keputusan. Setiap orang diberikan space untuk berpendapat, ada sikap menghargai perbedaan pendapat, ada sikap kritis dengan suatu masalah, yang menuntut kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan emosi.

Kelima, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tidak salah ketika melihat anugerah Tuhan kepada Indonesia, yang gemah ripah loh jinawi, tanah subur, dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, kemudian para pendiri bangsa berasumsi bahwa nantinya seluruh rakyat Indonesia akan menemui keadilan sosial, yang merangkum kesejahteraan dan kebahagiaan sebagai WNI. Masa di mana, ketika negara mampu mengelola kekayaan negeri ini untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya sesuai amanat UUD 1945. Namun, yang terjadi kini adalah eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam negeri untuk kepentingan pribadi, golongan, bukan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia. Seharusnya negara hadir memberangus segala bentuk kapitalisme, monopoli kekayaan yang dilakukan orang per orang, sehingga gap antara si kaya yang semakin kaya, dan si miskin yang semakin sulit kehidupannya, bisa diminimalkan.

Begitu utuh nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Menjadi tugas kita agar warisan intelektual founding fathers tidak menjadi bahan candaan, ketika generasi sekarang tidak hafal Pancasila. Boro-boro untuk mengamalkan nilai-nilai luhur di setiap silanya. Meskipun alih generasi, hendaknya semua dari kita memiliki jiwa Pancasilais yang begitu luhur. Banyak tantangan di setiap sila, yang mengajak kita untuk bersama mengamalkan dalam bentuk nyata, tidak sekadar hafal semata.

Tugas kita bersama untuk menjadikan hari lahir Pancasila sebagai momentum untuk kembali mengenalkan Pancasila sebagai dasar, falsafah, pandangan hidup bangsa Indonesia. Harapannya, setelah mengenal dan hafal Pancasila, generasi penerus ini bisa mengamalkan nilai-nilai luhur, dari sila pertama hingga sila kelima dalam aktivitas kekinian yang cenderung lebih luwes.

Muh. Fajaruddin Atsnan dosen UIN Antasari Banjarmasin




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork