Pasar keuangan kembali ramai menawarkan pilihan instrumen investasi. Pemerintah secara resmi telah mengumumkan rencana penjualan instrumen Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Ritel kepada individu masyarakat secara online melalui platform e-SBN, dengan instrumen Sukuk Tabungan Seri ST010T2 (tenor 2 tahun) dan Green Sukuk Ritel – Sukuk Tabungan Seri ST010T4 (tenor 4 tahun). Investor sudah bersiap-siap menyambut masa penawaran Sukuk Tabungan ini, yang dibuka 12 Mei 2023 hingga 7 Juni 2023.
Instrumen obligasi ritel ini menawarkan imbal hasil yang kompetitif dengan instrumen investasi lainnya, yakni 6,25% per tahun untuk ST010T2 dan 6,4% untuk ST010T4. Dengan konsep fitur imbalan/kupon mengambang (floating with floor), kehadiran instrumen ini menjadi angin segar bagi para calon investor. Imbal hasil mengambang artinya imbal hasil menyesuaikan dengan tingkat imbalan acuan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate. Apabila suku bunga Bank Indonesia naik, imbal hasil akan ikut naik. Jika suku bunga Bank Indonesia turun, imbal hasil akan tetap berada di batas minimal, yakni di 6,25% per tahun atau 6,4% per tahun.
Dalam siaran pers resmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan disebutkan bahwa tujuan penerbitan Sukuk Tabungan Seri ST010T2 dan Green Sukuk Ritel – Sukuk Tabungan Seri ST010T4 ini adalah untuk mempermudah akses masyarakat berinvestasi di SBSN ritel, memperluas basis investor dalam negeri dengan menyediakan alternatif investasi, dan mendukung terwujudnya keuangan inklusif serta memenuhi sebagian pembiayaan APBN 2023.
Dengan mengusung tagline "Pilihan Berharga Untuk Kemandirian Bangsa" dan tema Lingkungan Bersih Tanggung Jawab Bersama, pemerintah memberikan kesempatan kepada setiap Warga Negara Indonesia untuk dapat berinvestasi pada ST010 sekaligus memiliki kesempatan berpartisipasi dalam mendukung pembangunan nasional sekaligus membantu mengatasi dampak dari perubahan iklim karena hasil penerbitannya akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek hijau dalam APBN.
Pembiayaan APBN
Jika mengulik lebih dalam akan tujuan dari penerbitan di setiap instrumen SBN Ritel lainnya, sebagaimana tujuan penerbitan yang diambil pemerintah pada instrumen Sukuk Tabungan kali ini, tujuan penerbitan SBN Ritel secara umum adalah untuk memenuhi pembiayaan dari defisit anggaran APBN. Individu masyarakat yang merupakan investor pada instrumen investasi pembiayaan ini perlu memahami peranannya yang mulia sebagai pahlawan dalam pembiayaan APBN. Mengapa? Perlu diketahui bahwa SBN Ritel memiliki peranan yang sangat penting dalam struktur pembiayaan dalam defisit anggaran APBN.
When government spending exceeds revenues, the result is a budget defisit atau ketika belanja pemerintah melebihi pendapatan, maka hasilnya adalah defisit anggaran (Hyman, 1999). Sementara itu, Samuelson & Nordhaus (1996) dalam Hariyanto (2017) menyebutkan anggaran defisit adalah suatu anggaran dimana pengeluaran anggaran lebih besar dari penerimaan pajak. Defisit adalah pengeluaran dikurangi pajak pada kurun waktu tertentu (Seidman, 2009).
Pembiayaan defisit anggaran dapat dilakukan dengan cara mencetak uang, menggunakan cadangan devisa, utang luar negeri, dan utang dalam negeri (Fischer & Stanley, 1990). Utang pemerintah timbul di dalam sistem anggaran defisit, yakni saat belanja atau pengeluaran negara memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan penerimaan negara (yang berasal dari komponen pajak dan non pajak). SBN Ritel merupakan salah satu instrumen utang yang digunakan pemerintah sebagai sumber pembiayaan anggaran defisit APBN.
SBN Ritel terdiri dari instrumen yang berbasis konvensional yakni Surat Utang Negara Ritel (SUN Ritel) dan berbasis Syariah yakni Surat Berharga Syariah Negara Ritel (SBSN Ritel). Selanjutnya, terdapat lima jenis instrumen yang digolongkan ke dalam SBN Ritel, yakni untuk SUN Ritel terdiri dari Obligasi Negara Ritel (ORI) dan Savings Bond Ritel (SBR), dan untuk SBSN Ritel terdiri dari Sukuk Tabungan (ST), Sukuk Negara Ritel (SR) dan Sukuk Wakaf Ritel (SWR).
Peran Penting SBN Ritel
IMF (2001) dalam Guidelines for Public Debt Management menyebutkan bahwa sebagai bagian dari pengembangan dan pemeliharaan pasar atau pendalaman pasar yang efisien bagi instrumen Surat Berharga Negara (SBN), maka perlu adanya pengelolaan SBN melalui diversifikasi portofolio dan instrumen; salah satunya adalah dengan melakukan pengelolaan instrumen SBN yang ditargetkan kepada investor tertentu, seperti investor ritel. IMF memandang perlunya perhatian pemerintah di negaranya masing-masing untuk melakukan pengelolaan akan instrumen SBN bagi investor perseorangan domestik.
Penempatan utang pemerintah "ritel" memiliki sejarah yang panjang. Bersumber dari tulisan Krupa et al., (2007), pada 1630-an, Prancis mengeluarkan sewa kepada pemodal swasta untuk mendukung Thirty Years War. Kemudian di tahun 1750-an, Inggris memperkenalkan 'penghiburan' atau "consols" legendarisnya, dengan meminjam dana dari keluarga kerajaan untuk mendanai perang Napoleon. Di AS pada 1860-an, bankir Philadelphia Jay Cooke menjajakan kertas treasury kepada individu untuk membantu Lincoln membiayai Perang Saudara dan melestarikan perserikatan.
Meskipun sejarawan keuangan mengidentifikasi distribusi obligasi ritel dengan kondisi peperangan, tetapi dalam program pembiayaan pemerintah saat ini, tujuan penempatan dengan individu hanyalah salah satu alat dalam strategi pengelolaan oleh manajer utang pemerintah. Dalam kondisi krisis, basis investor dapat menjadi tantangan sendiri untuk dapat diterapkan. Kondisi pasar sekuritas yang saat ini sudah dilembagakan dan didominasi oleh teknologi, mewajibkan pemerintah berfokus kepada investor individu sebagai tujuan dalam penerbitan instrumen utang negara (Krupa et al., 2007).
Investor ritel memiliki peran penting dalam pasar utang pemerintah (Boitreaud & Secunho, 2020). Di Irlandia, 80% individu warga negaranya memiliki setidaknya satu instrumen utang pemerintah. Di Hongaria, lebih dari 1/4 utang pemerintah dimiliki langsung oleh investor ritel domestik. Dan, analisis terbaru menyampaikan bahwa Italia mengandalkan instrumen utang ritel baru untuk membiayai pengeluaran darurat sehubungan krisis virus corona.
Adapun tujuan dalam penerbitan instrumen utang negara ritel sebagaimana disebutkan oleh Blommestein & Horman (2007); pertama, untuk mengumpulkan dana dengan biaya yang rendah, tingkat risiko yang aman, dan untuk mendiversifikasi sumber pendanaan terutama ketika persyaratan pinjaman tinggi atau tidak stabil. Kedua, untuk mencapai tujuan pengembangan pasar keuangan domestik dengan mendorong inovasi dan persaingan di pasar ritel. Ketiga, untuk memenuhi tujuan sosial seperti menumbuhkan budaya menabung dan menyediakan investasi yang aman bagi investor dengan tingkat risiko yang kecil.
Menurut Bank Indonesia (2006), tujuan penerbitan obligasi ritel pemerintah adalah untuk membiayai anggaran pembiayaan dan belanja negara mendiversifikasi sumber pembiayaan, mengelola portofolio utang nasional dan memperluas basis investor. Sejalan dengan teori tersebut, pemerintah telah menerapkan kebijakan akan penerbitan instrumen SBN Ritel yang untuk pertama kalinya diterbitkan pada 2006 melalui Obligasi Negara Ritel, ORI seri ORI001, dengan nominal penerbitan sebesar Rp 3,28 triliun dan jumlah investor sebanyak 16.5561 investor.
Seiring dengan berjalannya waktu hingga saat ini, pilihan akan instrumen ritel ini terus dikembangkan dan diperbanyak oleh pemerintah baik yang bersifat konvensional maupun syariah, atau yang dapat diperdagangkan maupun tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder, dan dengan tingkat kupon maupun jatuh tempo yang berbeda dengan berbagai strategi strukturnya. Pada 2009 pemerintah menerbitkan Sukuk Ritel (SR-001) yang kemudian diikuti oleh penerbitan Savings Bond Ritel (SBR) pada 2014 dan Sukuk Tabungan (ST) pada 2016. Cukup dengan dana minimal Rp 1 juta, masyarakat sudah dapat menikmati investasi aman dan menguntungkan yang ditawarkan oleh pemerintah melalui berbagai seri dalam instrumen SBN Ritel.
Saat ini, SBN Ritel semakin mempunyai peran yang signifikan dalam pemenuhan kebutuhan pembiayaan defisit APBN. Dalam Strategi tahunan pengelolaan pembiayaan APBN, pemerintah menetapkan porsi penerbitan SBN Ritel sebanyak 10-16% dari total target penerbitan SBN pada 2023, dengan rumusan tujuan dari penerbitan instrumen SBN Ritel; pertama, memperluas basis investor. Dengan basis investor domestik yang besar diharapkan dapat mewujudkan negara yang mandiri dari sisi pembiayaan dan memiliki stabilitas pasar keuangan, terlebih saat terjadi krisis ekonomi.
Kedua, menyediakan alternatif instrumen investasi bagi investor ritel. Ketiga, mendukung stabilitas pasar keuangan domestik. Keempat, mendukung terwujudnya masyarakat yang berorientasi pada investasi jangka menengah dan panjang. Kelima, mewujudkan cita-cita kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Hasil penerbitan SBN Ritel digunakan untuk pembiayaan defisit APBN yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan negara, maka secara tidak langsung dengan berinvestasi di SBN Ritel rakyat telah berpartisipasi dalam mendukung kemandirian untuk membiayai pembangunan negaranya.
Pahlawan SBN Ritel di Masa Pandemi
Buku yang diluncurkan oleh Kemenkeu pada 2022 berjudul Keeping Indonesia Safe from the Covid-19 Pandemic menyebutkan peranan pembiayaan dalam mengatasi kondisi ekonomi secara nasional di masa pandemi. Berdasarkan latar belakang di atas dan besarnya kebutuhan stimulus fiskal di tengah penurunan penerimaan negara, peningkatan defisit APBN yang melampaui batas maksimal 3% dari PDB sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara tidak dapat dihindari.
Kebijakan pembiayaan tidak hanya sebagai pemenuhan defisit, namun diperlukan landasan hukum untuk menghasilkan keputusan yang cepat dan responsif. Sehingga, kebijakan dalam pembiayaan dapat berfungsi sebagai alat komitmen untuk secara hati-hati mengukur risiko pembiayaan dan berkomitmen untuk mengikuti disiplin fiskal, memasang kembali batas maksimum 3% dari PDB pada 2023.
Pemerintah dituntut untuk menjawab strategi yang akan digunakan untuk memenuhi target pembiayaan utang selama pandemi yang meningkat lebih dari tiga kali lipat dari era sebelum pandemi (dari sekitar Rp 300 triliun secara bersih menjadi di atas Rp 1.000 triliun) dengan mempertimbangkan biaya dan risiko yang memadai. Adapun salah satu langkah strategi pembiayaan yang diambil oleh pemerintah di masa pandemi hingga saat ini adalah mendorong partisipasi Warga Negara Indonesia melalui instrumen Obligasi Negara Ritel.
Permintaan SBN Ritel meningkat signifikan selama masa pandemi. Sebagai produk investasi yang aman, mudah diakses dan menguntungkan, penerbitan SBN ritel mencapai Rp 77 triliun pada 2020 dan Rp 97 triliun pada 2021 --angka yang lebih tinggi dari penerbitan pra-pandemi. Besar dan pentingnya peranan instrumen SBN Ritel dalam pembiayaan APBN menguak kepada pertanyaan berikutnya, apakah kita sudah siap menjadi pahlawan pembiayaan APBN?
(mmu/mmu)