Musibah kebakaran yang melanda Kampung Tembok Bolong di Kawasan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara pada malam takbiran Idul Fitri, Sabtu (22/4) dini hari seakan menjadi pengingat keras bagi para pengambil kebijakan perkotaan bahwa upaya penataan kampung kota tidak boleh dilupakan.
Di dalam area kampung seluas kurang lebih sepuluh ribu meter persegi lebih, terbangun sebanyak kurang lebih 250-300 rumah. Dengan kepadatan seperti itu, ditambah dengan material hunian yang rentan, dapat terbayang bagaimana api kebakaran merembet cepat dari satu rumah ke rumah lainnya, yang akhirnya membuat setidaknya 219 rumah habis terbakar pada malam takbiran itu. Tidak ada korban jiwa dalam musibah itu.
Data BPS terakhir menunjukkan bahwa terdapat 450 RW dengan kepadatan tinggi semacam itu di Jakarta, yang kemudian diberi label kumuh atau sangat kumuh. Pada masa Gubernur Anies Baswedan (2017 - 2022), 200 RW telah ditata dan diberikan infrastruktur dasar, dan Pj. Gubernur Heru Budi kemudian mencanangkan untuk melanjutkan penataan untuk 250 RW lainnya, sebuah keberlanjutan upaya penataan kampung yang perlu diapresiasi.
Tetapi, upaya penataan kampung tersebut perlu ditingkatkan untuk juga menyasar apa yang menjadi salah satu akar permasalahannya, yakni isu agraria.
Ketimpangan Penguasaan Tanah
Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia telah mencapai angka tertinggi dalam sejarah. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2021 menunjukkan bahwa 68 persen tanah telah dikuasai oleh satu persen penduduk. Sedangkan sedikit tanah yang tersisa diperebutkan oleh 99 persen masyarakat lainnya. Sekilas dalam menginterpretasikan angka ketimpangan ini terbayang bagaimana berbagai korporasi besar menguasai lahan yang begitu luas untuk perkebunan, hutan tanaman industri, ataupun pertambangan di kawasan-kawasan pedesaan.
Tentu saja ketimpangan penguasaan agraria di kawasan pedesaan adalah permasalahan tersendiri yang harus diselesaikan. Tapi, tidak boleh dilupakan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan juga menghadapi persoalan agraria dan ketimpangan akses tanah. Jika ketimpangan penguasaan tanah di pedesaan menyebabkan sekitar 16 juta rumah tangga petani hanya menguasai lahan di bawah 0,5 hektar (KPA, 2021), maka ketimpangan penguasaan tanah di perkotaan menyebabkan jutaan masyarakat berpenghasilan rendah dipaksa tinggal dalam permukiman-permukiman yang sangat padat.
Saking padatnya dan telah terlampauinya daya dukung kawasan (carrying capacity), rumah-rumah di sana tidak memungkinkan untuk memenuhi standar luas layak huni (7,2 m2 - 12 m2/orang), tidak ada ruang untuk utilitas dasar dan sanitasi, tidak ada penghawaan yang layak, bahkan untuk area-area tertentu cahaya matahari pun tidak bisa masuk.
Sebagai ilustrasi, di area Kampung Tembok Bolong yang seluas lebih kurang 10.000 m2, berhimpitan secara begitu padat rumah-rumah yang bisa mencapai 300-an hunian. Sebagai pembanding, untuk permukiman tapak masyarakat kelas menengah, lahan seluas itu biasanya hanya akan mencukupi untuk kurang lebih 50-100 rumah. Bahkan untuk permukiman elit, lahan seluas itu barangkali hanya akan digunakan untuk sekitar 5 - 20 rumah saja. Sebuah ilustrasi ketimpangan akses agraria yang kasat mata di perkotaan.
Kualitas lingkungan permukiman di perkampungan yang begitu padat semacam itu akan menjadi tidak layak huni alias kumuh. Dan, permukiman tersebut menjadi begitu rentan (vulnerable) atas ancaman-ancaman bencana, termasuk bencana kebakaran sebagaimana melanda Kampung Tembok Bolong di atas.
Mengapa masyarakat berpenghasilan rendah harus berpadat-padatan di lingkungan permukiman yang tidak layak huni, dan menjadi begitu rentan? Tidak lain karena ketiadaan akses atas lahan (dan hunian) yang memadai. Sebagaimana ketimpangan akses atas lahan di tingkat nasional, lahan-lahan di perkotaan pun telah "dikuasai" oleh korporasi-korporasi besar serta masyarakat kelas atas, di samping dimanfaatkan untuk kelas menengah.
Sebagian besar lahan-lahan perkotaan telah dikuasai untuk hunian real estate, pusat-pusat perbelanjaan, kawasan perkantoran, industri, dan lain sebagainya. Sedangkan, masyarakat menengah bawah dipaksa untuk berhimpitan di sisa-sisa ruang kota yang ada dalam kepadatan ekstrem. Alhasil, kekumuhan dan kerentanan atas ancaman bencana pun sulit untuk dihindari.
Kebutuhan Mendesak
Untuk menyelesaikan ketimpangan akses pertanahan di kawasan perkotaan tersebut, reforma agraria perkotaan menjadi kebutuhan mendesak untuk dijalankan selayaknya reforma agraria di pedesaan.
Reforma agraria adalah sebuah langkah kebijakan untuk mengatur ulang struktur pemilikan/penguasaan/penggunaan tanah menjadi lebih berkeadilan. Reforma agraria perkotaan berarti menjalankan hal tersebut di dalam konteks dan tantangan urban.
Pemerintah perlu untuk menggencarkan proses pelaksanaan reforma agraria perkotaan. Proses legalisasi/sertifikasi tanah yang dikuasai masyarakat melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) perlu digencarkan juga di kawasan perkotaan, khususnya di kampung-kampung padat penduduk.
Diperlukan juga transformasi kebijakan untuk pelaksanaan redistribusi tanah atas lahan-lahan instansi pemerintah/pemda, BUMN/BUMD, ataupun instansi-instansi swasta yang telah terbengkalai dan akhirnya ditempati masyarakat --untuk kebutuhan dasar bertempat tinggal-- selama puluhan tahun lamanya. Perlu dicarikan solusi transformatif, bagaimana agar ditemukan jalan keluar yang bersifat win-win, di mana instansi-instansi itu dapat memanfaatkan asetnya tersebut untuk keperluannya jika masih diperlukan, namun dapat teralokasi juga kebutuhan dasar masyarakat berpenghasilan rendah yang ada di sana untuk bertempat tinggal.
Terlebih untuk instansi pemerintah, perlu dibangunkan pemahaman bahwa bertempat tinggal yang baik dan sehat adalah hak warga negara yang dijamin konstitusi dalam Pasal 28H UUD 1945. Maka atas dasar pasal konstitusi itu, mengalokasikan atau meredistribusikan sebagian aset lahannya untuk dijadikan perumahan dan permukiman bagi rakyat miskin kota adalah sebuah langkah yang seharusnya tidak dipermasalahkan. Belum lagi jika merujuk ke Pasal 33 UUD 1945 bahwa 'bumi' memang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, perlu disusun peraturan transformatif di tingkat teknis yang memungkinkan hal tersebut dijalankan.
Tidak kalah penting, upaya reforma agraria perkotaan juga perlu dibarengi dengan vertikalisasi hunian yang dilakukan secara humanis. Sehingga, dalam proses penataan kembali pemilikan/penguasaan/penggunaan tanah, dapat tersedia ruang-ruang yang lebih memadai (dalam wujud vertikal) untuk hunian yang lebih layak lengkap dengan fasilitas pendukung.
Untuk itu, konsolidasi lahan vertikal yang dilakukan secara partisipatif; kepemilikan tanah yang bersifat horizontal dikonsolidasikan untuk dibangunkan hunian vertikal bersama harus terus digencarkan. Pembangunan beberapa Kampung Susun di Jakarta merupakan sebuah percontohan dari langkah ini, yang perlu direplikasi di kota-kota lainnya.
Kampung Tembok Bolong yang menjadi korban bencana kebakaran sesungguhnya merupakan salah satu kampung prioritas dari Pemprov DKI Jakarta dalam pelaksanaan reforma agraria perkotaan dan konsolidasi tanah vertikal secara partisipatif (Kepgub 878/2018). Namun amat disayangkan, sebelum rencana baik itu terealisasi, musibah kebakaran melanda.
Semoga warga yang menjadi korban segera bisa mendapatkan kembali tempat tinggalnya dalam kondisi yang lebih layak. Dan, semoga musibah ini tidak menghentikan upaya reforma agraria dan konsolidasi tanah yang tengah berjalan di sana, tetapi justru menjadi momentum percepatan pelaksanaan.
M. Azka Gulsyan alumnus Studi Pembangunan Berkelanjutan dari Universitas Tokyo
(mmu/mmu)