"Tadi di sekolah asyik banget, Bu. Seru banget!"
Begitu celotehan anak perempuan saya yang duduk di bangku TK. Setiap pulang sekolah selalu ada saja cerita serunya dari sekolah. Kadang membawa oleh-oleh kue kering yang dimasaknya sendiri. Atau kartu ucapan yang dihiasnya sendiri. Baju basah, kotor terkena tepung, lumpur, atau pewarna makanan, sudah biasa.
Tahun ajaran ini adalah tahun pertamanya bersekolah. Banyaknya cerita tentang anak-anak yang mogok sekolah sempat membuat saya khawatir dia akan sulit merasa nyaman dengan lingkungan barunya di sekolah. Ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Anak saya sangat enjoy di sekolahnya, bahkan kadang tak sabar untuk sekolah lagi jika libur tiba.
Kegembiraan saat belajar membuat anak-anak bersemangat berangkat ke sekolah dan tidak lagi menganggap sekolah sebagai beban. Iklim belajar yang menyenangkan merupakan fondasi awal yang kuat akan kecintaan mereka pada sekolah beserta proses belajarnya. Apalagi bagi anak-anak usia dini, dimana sekolah adalah hal yang baru bagi mereka.
Tetapi, jika di awal masa sekolah mereka mendapat pengalaman yang kurang mengenakkan, mereka tentu akan merasa tidak nyaman dan enggan untuk kembali ke sekolah. Padahal, sebagian besar masyarakat kita berharap besar pada sekolah. Tidak hanya untuk menuntut ilmu. Tetapi juga untuk membentuk karakter baik pada anak-anak.
Sekolah Menjadi Beban
Tentu ada banyak faktor yang membentuk karakter seseorang. Keluarga, lingkungan sekitar, teman sebaya, dan tentu saja sekolah. Khususnya sekolah, kebanyakan masyarakat menaruh harapan lebih pada lembaga ini untuk membentuk karakter anak menjadi baik. Sekolah dijadikan semacam bengkel untuk memperbaiki karakter anak-anak yang kurang baik. Para orangtua mengandalkan guru untuk menjadi dokter dan mengobati anak-anak mereka yang kadung nakal.
Tapi apakah sekolah seefektif itu mampu mengubah karakter peserta didiknya? Padahal, banyak anak-anak yang enggan untuk berangkat ke sekolah. Mereka tidak menganggap sekolah sebagai kebutuhan. Sebagian bahkan menganggapnya sebagai beban. Berangkat dan memasuki kelas-kelasnya hanya sekadar menggugurkan kewajiban semata, karena disuruh orangtua. Tak terkecuali bagi anak usia dini.
Salah satu yang membuat anak usia dini malas bersekolah salah satunya adalah tuntutan untuk bisa baca, tulis, dan hitung (calistung) sebelum masuk SD. Bahkan banyak orangtua yang akhirnya memasukkan anak-anak mereka ke dalam les calistung di luar jam sekolah. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan fitrah mereka yang masih senang bermain. Di sekolah waktu bermain mereka sudah berkurang. Pulang sekolah masih harus berangkat les.
Semua kumpulan permasalahan di atas akhirnya membuat anak-anak enggan bersekolah dan guru tidak maksimal mengajar. Juga harapan-harapan tinggi masyarakat akan sekolah tidak terwujud. Memang sudah seharusnya ada sebuah sistem yang menjadi titik temu permasalahan antara murid, guru, juga harapan-harapan orangtua terhadap sekolah.
Titik Balik
Begitu mendengar tentang Kurikulum Merdeka awal 2022 lalu, saya merasa mungkin ini awal baik titik balik dunia pendidikan kita. Walau mungkin pada praktiknya tidak sempurna, paling tidak rancangannya menawarkan konsep pendidikan yang punya daya tawar tinggi terhadap para peserta didik, para pendidik, dan masyarakat.
Dalam Kurikulum Merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan kebijakan penghapusan test calistung sebagai syarat masuk SD. Kebijakan tersebut membuat guru TK menjadi lebih rileks dalam mengajar karena tidak dibebani "pekerjaan berat" mengajari calistung anak usia dini, yang memang belum waktunya.
Fokus guru TK tidak lagi menggenjot kemampuan calistung murid-muridnya sebagai persiapan masuk SD. Tetapi guru bisa lebih fokus mengembangkan aspek tumbuh kembang yang lain yakni nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional, dan seni. Dengan media permainan yang tepat, guru juga diharapkan mampu memahami kepribadian dan karakteristik tiap peserta didiknya sehingga mampu merumuskan pendekatan yang tepat.
Dengan ditiadakannya pelajaran calistung pada Pendidikan Anak Usia Dini, anak-anak jadi lebih punya banyak waktu untuk bermain di sekolah. Ketika di rumah anak-anak menceritakan betapa serunya kegiatan di sekolah, dan selalu tidak sabar untuk kembali bersekolah esok harinya adalah sebuah tolak ukur bahwa guru sudah mampu menghidupkan suasana belajar. Mungkin anak-anak akan pulang dengan pakaian kotor. Sesekali basah. Sesekali terkena lumpur. Tapi itu membuktikan bahwa mereka benar-benar belajar dan berekspresi.
Kegembiraan di sekolah menciptakan bonding yang kuat antara anak-anak dan sekolah. Dengan bonding itu, diharapkan sekolah, melalui guru, mampu memasukkan pemahaman-pemahaman baik untuk pembentukan karakter anak. Dan untuk anak-anak yang bermasalah, diharapkan guru dapat memberikan solusi nyata untuk mengatasinya. Solusi-solusi tersebut tentunya dapat diterima oleh anak jika relasi antara anak dan guru baik.
Pendidikan tentu tidak melulu menyentuh soal akademis saja. Hasil yang diharapkan dari pendidikan bukan hanya sekadar angka-angka dalam rapot atau piala-piala dalam ajang lomba. Lebih dari itu, pendidikan diharapkan mampu menyentuh sisi karakter dan kepribadian peserta didik.
Karakter baik seperti jujur, disiplin, menghargai sesama, saling tolong-menolong adalah karakter-karakter yang seyogianya dimiliki anak-anak kita sejak dini sebagai fondasi dalam kehidupannya. Karena anak-anak yang pintar dalam bidang akademis dan sukses dalam karir saja tidak cukup. Tetapi, yang yang terpenting adalah anak-anak yang berkarakter dan berakhlak baik.
Setyaning Nur Asih ibu tiga anak
(mmu/mmu)