Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarno Putri tiba-tiba membuat keputusan yang mengejutkan banyak kalangan. Jelang Idul Fitri 2023, Megawati mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) yang diusung oleh partai besutannya.
Pengumuman itu disampaikan langsung oleh sang ketua partai, Megawati di kediaman Bung Karno di Batu Tulis, Bogor, Jumat (21/4) lalu. Disebutkan banyak media, hadir dalam pengumuman tersebut antara lain elite PDIP dan Presiden Joko Widodo.
"Pada jam 13.45 WIB, dengan mengucapkan Bismillah, menetapkan saudara Ganjar Pranowo sebagai kader dan petugas partai untuk ditingkatkan penugasannya sebagai calon presiden Republik Indonesia dari PDI Perjuangan, "demikian tulis caption pada akun Instagram @pdiperjuangan yang telah terverifikasi centang biru.
Adanya pengumuman itu di satu sisi memang mengejutkan. Terlebih pengumuman itu dilakukan seolah-olah mendadak, dan menjelang momen perayaan Idul Fitri. Namun di sisi lain, pemilihan sosok Ganjar sebagai capres bukan suatu hal yang baru. Pemilihan Gubernur Jawa Tengah oleh PDIP itu sudah diterka dan ditebak oleh banyak kalangan sejak awal. Meski, secara resmi partai moncong putih baru mengumumkan kepada publik seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu.
Penunjukan Ganjar Pranowo oleh Ketua Umum Megawati bak hamper politik yang diserahkan tepat satu hari menjelang Lebaran. Saat orang-orang juga membagikan hamper berupa makanan ataupun suvenir dan hadiah lain kepada kolega, rekan bisnis hingga orang-orang yang disayanginya.
Peta Baru Koalisi
Ikhwal pencapresan Ganjar oleh PDIP kemudian membuat peta baru politik koalisi. Pertama, perihal Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Gabungan partai politik yang digawangi NasDem dan didukung Partai Demokrat-PKS besar kemungkinan tidak akan goyah. Sepertinya ketiga partai telah fiks menjagokan sosok Anies Baswedan sebagai calon presiden yang ideal meski masih terjadi tarik-ulur terkait siapa calon wakil presiden yang tepat untuk mendampingi mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Tetapi adanya pencapresan Ganjar sebagai jago PDIP setidaknya parpol Koalisi Perubahan mulai mengidentifikasi dan menimbang siapa sosok yang pas untuk mendampingi capres Anies. Setidaknya sosok tersebut bisa membantu meningkatkan elektabilitas serta mampu meraih suara elektoral secara maksimal.
Kedua, memudarnya wacana gabungan koalisi besar antara lain Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi Golkar, PPP, dan PAN serta pimpinan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) besutan Gerindra dan PKB. Wacana tersebut pernah digagas saat dilakukannya pembicaraan lima pimpinan partai politik dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor DPP PAN, Warung Buncit, Jakarta Selatan, Minggu (2/4) lalu.
Dalam artikel detikcom (3/4) disebutkan, kekuatan dari koalisi besar yang pernah diwacanakan itu bahkan mengalahkan Koalisi Perubahan dan PDIP. Gabungan Golkar, PAN, PPP, Gerindra, dan PKB memiliki kekuatan 284 kursi di DPR atau 49,9%, hampir separuh kekuatan politik Senayan. Sementara itu, kekuatan Koalisi Perubahan memiliki 163 kursi di DPR atau 28,35% kekuatan suara di parlemen. Sedangkan PDIP memiliki kekuatan 128 kursi di DPR atau 22,26%.
Kini PDIP telah bulat dan membuat kepastian. Lantas, apakah koalisi besar ini akan tetap solid bergandeng mesra satu sama lain? Tampaknya tidak! Sebab, politik biasanya cenderung sangat dinamis. Satu detik pun peta politik bisa langsung berubah seketika, disesuaikan dengan kepentingan partai.
Jika diamati, KKIR besutan Gerindra dan PKB masih setia mengusung sosok Prabowo Subianto sebagai capresnya. Hingga saat ini diketahui sang Menteri Pertahanan tersebut sedang melakukan lobi-lobi politik termasuk "sowan" ke kediaman Presiden Jokowi di Solo serta ke sejumlah politisi lainnya. Meski begitu, PKB juga belum memberikan sinyal terkait koalisi besar tersebut. (detikcom, 3/4)
Sedangkan PPP, mulai meragukan koalisi besar gabungan KIB dan KKIR akan terbentuk. Alasannya logis bahwa sejatinya ada beberapa capres di dalam koalisi besar tersebut yang dinilai akan mempersulit terbentuknya koalisi. (detikcom, 12/4)
Jika kemudian Koalisi KIB melebur dengan PDIP, maka yang terjadi nantinya ada tiga koalisi yang masing-masing mengusung jagonya. Pertama, Koalisi Perubahan yang meliputi Partai NasDem, Demokrat dan PKS dengan mengusung Anies Baswedan. Kedua, KKIR yang terdiri dua partai yakni Gerindra feat. PKB yang mengusung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai capresnya. Dan yang terakhir, gabungan PDIP dengan KIB yang mengusung Ganjar Pranowo.
Tugas Berat
Di luar konteks didukung parpol lain atau tidak, PDIP-Ganjar mempunyai tugas berat yang harus segera dirampungkan. Pertama, mengembalikan elektabilitas yang dimilikinya terutama usai penolakan timnas Israel yang berbuntut urungnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Berdasarkan data terbaru yang dirilis lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto bahkan memiliki elektabilitas tertinggi yakni 22,2%. Perolehan itu, tentu menyalip Ganjar Pranowo dengan perolehan 19,8%. Sedangkan capres dari Koalisi Perubahan Anies Baswedan meraih 15,9%.
Pun dengan lembaga survei Politika Research and Consulting (PRC) yang juga merilis hasil survei elektabilitas menjelang Pilpres 2024. Hasilnya juga menempatkan Prabowo Subianto di urutan teratas yakni 22,5%, disusul Ganjar Pranowo 20,2%, dan Anies Baswedan 17,9%. (detikcom, 23/4)
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan juga mengatakan, hasil survei menunjukkan Prabowo menjadi capres potensial yang paling banyak dipilih dengan persentase 30,3%. Kemudian, Ganjar Pranowo menempati posisi kedua dengan elektabilitas sebesar 26,9% dan disusul Anies sebesar 25,3%.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam pemaparan hasil survei memetakan secara khusus elektabilitas partai politik dan hasilnya PDIP ternyata mengalami penurunan elektabilitas 2,5% dibandingkan awal April 2023. Seperti disebutkan, pada survei yang dilakukan pada Maret 2023, PDIP meraih 19%, kemudian awal April 2023 menjadi 17,7%, dan turun lagi di angka 15,2%.
Berkaca dari data hasil survei di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi tren penurunan elektabilitas baik oleh Ganjar Pranowo maupun PDIP. Oleh sebab itu, PR terberat Ganjar-PDIP adalah kembali memperbaiki elektabilitas yang dimiliki dengan merebut hati konstituen. Mumpung masih banyak waktu dan momentum lebaran akan lebih 'ciamik' digunakan untuk kegiatan-kegiatan silaturahmi.
Kedua, Ganjar dan PDIP harus tetap terus menggencarkan konsolidasi politik. Sifat konsolidasi ini bisa secara eksternal dengan melobi dan menjalin dukungan politik. Sedangkan secara internal, konsolidasi bisa dilakukan hingga akar rumput.
Jika ingin kemenangan hattrick, PDIP harus memastikan mesin partai solid dan konsolidatif sehingga siap hadapi pertarungan politik. Bukankah konsolidasi juga diartikan sebagai upaya untuk menghimpun kekuatan guna kepentingan tertentu yang perlu dicapai melalui peleburan unsur heterogenitas?
Didik T. Atmaja alumnus FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang, pegiat di Sino Nusantara Institite
(mmu/mmu)