Belajar dari Tiongkok
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Belajar dari Tiongkok

Rabu, 26 Apr 2023 15:49 WIB
Said Abdullah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
MH Said Abdullah,
Foto: DPR
Jakarta -

Usia baru seumur jagung, sejak deklarasi berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1 Oktober 1949, pendiri sekaligus pemimpin tertinggi RRT Mao Tse Tung, telah berhasrat besar untuk mempercepat industrialisasi di RRT. Pada tahun 1958 ia menggulirkan Program Lompatan Jauh Kedepan (Great Leap Forward). Program ini bertujuan mengubah ekonomi Tiongkok dari agraris ke industri.

Ambisi Ketua Mao untuk mengindustrikan Tiongkok karena ia ingin mencatatkan program ini mengalahkan Revolusi Industri (1760) di Inggris. Karena program ini, membuat kebijakannya 'abai' terhadap sektor pertanian. Fokusnya pada pengembangan industri. Great Leap Forward gagal dan memakan korban kelaparan jutaan rakyat Tiongkok.

Sepeninggal Ketua Mao, Deng Xiaoping sebagai penerusnya melakukan reformasi struktural terhadap politik dan ekonomi RRT. Ia merombak gaya kepemimpinan di RRT, berbeda dengan Mao, yang lebih 'one man show'. Di tuliskan oleh Vogel (2011) dalam Deng Xiaoping and the transformation of China, Deng memilih jalan kepemimpinan politik kolektif kolegial. Ia meniru kepemimpinan Uni Soviet era Nikita Khrushchev (1958-1964) dan Leonid Brezhnev (1964-1982).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepemimpinan kolektif kolegial ini membuat keputusan keputusan politik yang diambil memiliki legitimasi yang kuat. Sehingga tidak diperlukan pertimbangan atau penilaian dari lembaga yudikatif. Pada bidang ekonomi, Deng melakukan reformasi di beberapa sektor, antara lain agraria, industri, pertahanan nasional dan teknologi.

Syarat reformasi keempat bidang itu berjalan bila didahului dengan reformasi pada kebijakan pendidikan. Deng sangat sadar menghadapi masa depan, loyalitas terhadap ideologi negara saja tidak cukup. Negara membutuhkan rakyat terdidik hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Deng memfasilitasi rakyatnya untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi diberbagai negara.

ADVERTISEMENT

Pada 8 Juli 1983 Presiden Den Xiaoping menyampaikan pidatonya terkenalnya, 'Introducing Foreign Intelligence and Extending Opening-up'. Dalam pidatonya, Deng kembali menegaskan pentingnya mengimpor tenaga tenaga asing untuk melakukan modernisasi negaranya. Bentuk kongkrit dari kebijakan ini, RRT memfasilitasi masuknya tenaga kerja asing, pemerintahnya membentuk State Administration of Foreign Experts Affairs (SAFEA). Lembaga yang menjalankan program Inviting in dan Sending out.

Inviting in berarti mengundang banyak tenaga kerja asing terdidik untuk membangun dan memodernisasi Tiongkok, Sending out mengirimkan banyak orang orang Tiongkok belajar teknologi ke luar negeri. Setidaknya sampai 2004, lebih dari 450 ribu, Tiongkok menguliahkan generasi mudanya ke berbagai universitas ternama di dunia, seperti Harvard, Columbia, Princeton, John Hopkins, MIT, Cal Tech, Oxford, Cambridge dan Berlin untuk belajar science dan teknologi.

Barangkali Deng meniru cara Soekarno yang mengirimkan orang orang Indonesia belajar ke berbagai negara, terutama di Uni Soviet dan Eropa Timur. Dan kita kehilangan potensi mereka untuk memajukan negara, ketika masa orde baru mereka tidak berani balik ke tanah air dan menjadi eksil, dan karena keadaan itu mereka terpaksa berkarya untuk negara yang di tinggalinya.

Dua kebijakan yang ditempuh Deng dalam reformasi ekonomi mereka, pertama; mengubah haluan kebijakan terhadap pasar. Para pengamat internasional, seperti Chang (1991) dalam China Under Deng Xiaoping: Political and Economic Reform menyebutnya dengan open door policy. Kebijakan ini membuka akses masuknya teknologi, baik oleh negara dari luar, maupun oleh orang orang Tiongkok yang menimba ilmu keluar negeri, bahkan membuka investasi asing, khususnya diwilayah yang mereka persiapkan seperti Shanghai, Guangzhou dan Shenzhen.

Bahkan pada tahun 1984, Presiden Deng Xiaoping memperluas wilayah kawasan ekonomi khusus untuk investasi asing menjadi 14 wilayah perkotaan dengan tawaran tenaga kerja murah, tax deduction, dan kepastian iklim usaha karena pemerintahan yang kuat dan stabil yang ditopang oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Melalui open door policy, Tiongkok menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat dan Eropa. Mereka mendapatkan banyak alih teknologi. Akibatnya industri Tiongkok berkembang pesat, bahkan sistem pertahanan nasional mereka perlahan lahan termodernisasi. Masuknya investasi asing menumbuhkan persaingan pasar. Deng juga memfasilitasi tumbuhnya para miliader dalam negeri.

Kedua; sektor pertanian tidak mereka tinggalkan. Sebab sektor ini masih menjadi potensi besar bagi Tiongkok. Di awal kebijakannya, dituliskan oleh Mark (2012) China and The World Since 1945: An International History, Deng memberlakukan kebijakan household responsibility system. Kebijakan reforma agraria ala Deng ini mengembalikan kepemilikan lahan secara pribadi. Kebijakan ini memberikan kesempatan setiap keluarga petani boleh berbisnis. Mendagangkan hasil hasil pertaniannya dan mencari laba dari kegiatan itu.

Dampak kebijakan ini, pertanian Tiongkok dalam 10 tahun sejak kebijakan ini tahun 1978 tumbuh diatas 6 persen. Mereka menghasilkan beragam jenis komoditas tanaman pangan karena dibarengi dengan beragam modernisasi sektor pertanian. Dan menjadi peyangga kebutuhan pangan dalam negeri.

Sejak reformasi ekonomi yang konsisten dan berkelanjutan dari tahun1978, berlanjut dari era Deng Xiaoping ke Jiang Zemin, hingga Hu Jintao membuahkan pertumbuhan ekonomi mencapai 9 persen dalam 10 tahun terakhir. China menjadi negara yang memiliki cadangan terbesar di dunia saat ini. China telah meningkatkan pendapatan per kapita hampir 10 kali lipat dari USD 275 pada 1978 menjadi USD 2.460 pada 2008, dan telah melampaui PDB perkapita Indonesia sebesar USD 2.144.

Catatan dari Robyn Meredith (2007) dalam The Elephant and the Dragon: The Economic Rise of India and China, and What It Means for the Rest of Us menyebutkan pada tahun 1990 investasi asing di Tiongkok mencapai USD 5 miliar, melonjak menjadi USD 60 miliar USD pada tahun 2004 yang didominasi dari Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan 20 persen sisanya dari negara negara barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman.

Kapitalisme Komunis
Perluasan investasi asing olehTiongkok dilakukan era Presiden Hu Jintao. Presiden Hu mengubah haluan kebijakan politik-ekonomi dari dua pendahulunya yang menganut sosialisme komunis menjadi kapitalisme komunis. Presiden Hu memperkenalkan China Road to Peaceful Development. Proposal ini menandai era kebijakan ekonomi ekspansif dari Tiongkok.

Kebijakan ekonomi ekspansif ini makin ditegaskan saat Presiden Xi Jinping mulai memimpin RRT sejak 2013 sampai sekarang. Ia memperkenalkan jalur sutra baru yang dikenal dengan konsep One Belt, One Road. Kebijakan ini awal mula menyasar ekspansi ekonomi Tiongkok ke Asia Tengah. Presiden Xi juga mempromosikan 21st Century Maritime Silk Road. Sasarannya tentu saja kawasan Asia Selatan dan Tenggara, terutama untuk mengamankan jalur dagang mereka di selatan.

Inisiatif Tiongkok melalui One Belt, One Road dimaksudkan untuk konektivitas ekonomi melalui pembangunan infrastruktur fisik (kabel, pipa, jalur kereta api, dan jalur rantai pasok bisnis dan industri). Khanna (2016) dalam, Connectography: mapping the future of global civilization melihat obsesi Presiden Xi ini sebagai 'Global Renaissance' untuk dunia baru.

One Belt, One Road dan 21st Century Maritime Silk Road sebagai strategi Tiongkok untuk menggenjot ekspor dengan tujuan mengakumulasi devisa negara, sekaligus membuang kapasitas produksi dalam negerinya keluar. Model ekonomi ekspansif ini sekaligus sebagai jalan untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi mereka.

Agar proyek kedua Jalur Sutera (Silk Road) diatas mulus di berbagai negara, Tiongkok menggunakan pundi pundi devisanya yang menggunung untuk mengucurkan pinjaman, minimal penjaminan proyek proyek yang harus dikerjakan oleh berbagai perusahaan Tiongkok. Tiongkok menyiapkan tiga bentuk pendanaan untuk menjamin kelangsungan Silk Road-nya, yakni melalui Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang beranggotakan 21 negara. Tiongkok mengucurkan 50 persen modal awal AIIB. Sebagai investor terbesar, maka berhak memanfaatkan pendanaan paling besar.

Selain itu, melalui Silk Road Fund (SRF) yang sumber pendanaanya dari Pemerintah Tiongkok dan dikhususkan untuk mendanai proyek proyek Silk Road. Sementara, keterlibatan China Development Bank (CDB) ikut menopang seiring makin besarnya proyek proyek pada Silk Road yang menjanjikan imbal hasil menjanjikan. Strategi cerdik ini menciptakan berbagai proyek bagi banyak perusahaan kontruksi Tiongkok, sekaligus tercipta pasar baru atas permintaan barang dan jasa dari negara mereka.

Silk Road telah menjadi jembatan bagi Tiongkok merebut pasar global. Data OEC.World menggambarkan total nilai ekspor global Tiongkok pada tahun 2021 mencapai USD 3,34 T, dan mengukuhkan diri sebagai negara eksportir terbesar dunia, kini Tiongkok telah menjelma menjadi raksasa ekonomi, teknologi dan militer dunia. PDB per kapita pada tahun 2022 telah mencapai USD 12.732,7. Kita tertinggal jauh di posisi USD 4.783,9.

Ekspansi Tiongkok tidak terhenti pada produk perdagangan globalnya yang kompetitif, namun sektor moneternya kian dipandang sebagai alternatif sebagai Special Drawing Right (SDR) oleh IMF, sebab semakin banyaknya pihak yang menggunakan Yuan sebagai currency basket. Penggunaan Yuan merambah berbagai negara sejalan dengan meluas dan membesarnya barang barang Tiongkok dibanyak negara. Yuan sudah menjadi trading invoice oleh sektor privat, meskipun secara officialy by government belum menjadi patokan kurs.

Besarnya pinjaman dan bantuan Tiongkok, terutama di negara negara Afrika, defakto membuat Yuan sebagai International Payments. Beberapa negara seperti Nigeria dan Mongolia telah menggunakan Yuan sebagai alternatif cadangan devisa selain US Dolar. Beberapa negara bahkan seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, bahkan Indonesia telah bersepakat dengan Tiongkok untuk menggunakan Yuan sebagai swap agreement.

Posisi ini sesungguhnya sudah sangat layak menempatkan Yuan sebagai kompetitor US Dolar sebagai mata uang internasional. Namun, konsep kapitalisme negara (komunis) ala Tiongkok sangat membatasi liberalisasi neraca modalnya. Pemerintah Tiongkok dibawah kendali Presiden Xi Jinping memilih menjaga pertumbuhan ekonominya dari ekspor. Artinya, Pemerintah RRT sendiri meletakkan kepentingan Yuan sebagai global currency harus gradual, dan negara mengendalikan penuh perluasan Yuan.

Pemerintah Tiongkok tak mau printing money ala pasar bebas Amerika Serikat. Mereka memilih meluaskan Yuan sejalan dengan perluasan proyek, dan perdagangan barang dan jasa mereka diluar negerinya. Pemerintah RRT menjalankan kebijakan managed exchange rate, mengatur onshore markets dan merestriksi neraca modal dalam mengendalikan Yuan. Kebijakan ini menjanjikan stabilitas nilai tukar, dan sesungguhnya bisa mengundang minat investor karena dihadapkan pada kepastian.

Tiongkok adalah mitra dagang kita terbesar, baik dari sisi ekspor maupun impor, bahkan melampaui besarnya ekspor dan impor kita dengan seluruh negara ASEAN. Sudah seharusnya bila otoritas moneter meletakkan Yuan sebagai currency basket yang penting. Bahkan perlu dikaji peta jalan menempatkan Yuan sebagai alternatif menggeser US Dolar yang selama ini sebagai acuan nilai tukar dan alat pembayaran internasional.

Kita juga perlu strategi memperkuat local currency swap dengan beberapa mata uang lainnya, khususnya terhadap negara negara yang menjadi mitra dagang strategis Indonesia seperti Singapura, Malaysia, Jepang dan Korea Selatan. Dengan Amerika Serikat, yang termasuk mitra dagang strategis tentu saja kita harus memakai US Dolar sebagai settlement. Dengan demikian, kita tidak dihadapkan pada situasi terus menerus kecanduan US Dolar, yang dalam histori panjanganya membuat rupiah terus loyo.

MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR

Simak juga 'Jack Ma Jadi Profesor di Universitas Hong Kong':

[Gambas:Video 20detik]



(akn/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads