Puasa dan Wajah Lembut Agama
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Puasa dan Wajah Lembut Agama

Jumat, 14 Apr 2023 15:37 WIB
Marz Wera
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Puasa dan Wajah Lembut Agama
Marz Wera (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -
Tahun 2017 lalu, ada buku bagus dari Greg Soetomo SJ ketika menempuh studi doctoral di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bagus dan menarik memuat pesan kemanusiaan karena latar belakang Greg Soetomo yang adalah seorang pastor Katolik. Ada banyak ruang untuk menemukan perspektif berbeda dan mendalam mengenai nilai keislaman.

Pada dasarnya agama itu sebuah realitas. Sebagai realitas, akal budi dirangsang untuk masuk ke tataran refleksi intelektual. Umat beragama dituntut untuk merefleksikan iman secara rasional. Nah, rasionalitas ini tumbuh dalam kehidupan nyata. karena realitas hidup beragama selalu terkait dengan situasi kultural-religius, soal fakta keberagaman agama, budaya, dan keyakinan.

Melalui kesempatan studi tersebut, Greg Soetomo merefleksikan pengalamannya akan posisi bagaimana berteologi secara Katolik, tapi kontekstual. Artinya orang dalam hidup beragama harus berani beranjak dari karakter magis-religius menjadi religius-rasional. Dimensi pengalaman religiusnya didesak untuk keluar meniti pemahaman rasional dalam suasana "perjumpaan" hidup sehari-hari sekaligus memaknai pengalaman iman agar bertumbuh secara inklusif.

"Perjumpaan", ini penting sebagai lokus untuk melihat sesama, wahana yang menghidupkan. Ketika "perjumpaan" terjadi, maka setiap pribadi akan sadar akan arti penting kehadiran orang lain baginya, dan kehadiran setiap orang memberi makna bagi sesamanya. Perjumpaan ini juga sebagai ruang dialog antariman dalam membingkai kecemasan, kebencian, amarah, dan banjir emosi antara sesama umat beragama.

Perjumpaan selalu melahirkan spontanitas yang penuh belas kasih, damai, cinta pada sesama dan rasa peduli. Karena naluri moral dalam agama serta empatinya dirangsang secara nyata dalam peristiwa hidupnya. Artinya agama jangan hanya berkutat pada aspek formalitas, tapi bagaimana spirit keterlibatan umat.

Ekspresi keberimanan harus sejalan dengan ajaran. Hidup beragama harus diekspresikan dalam ruang hidup bersama, sebagai simpul kesatuan dari aneka ragam identitas untuk saling mewarnai. Simpul kesatuan inilah yang akan direkatkan lewat perjumpaan-perjumpaan hidup, dan itulah absolutnya nilai hidup dalam beragama.

Hakikat agama tidak bisa dipisahkan dari ruang kebudayaan secara global dan universal. Dalam konteks itu ada tiga dimensi penting yang menjadi pedoman dalam melihat dan memahami perbedaan iman beragama. Pertama, dimensi kultural; bagaimana berteologi dari konteks budaya, yakni citarasa yang hidup dan bertumbuh.

Kedua, dimensi sosial; keterlibatan kita dalam meleburkan diri sesuai dengan iman agama masing-masing, melihat sesama manusia yang saling membutuhkan. Ketiga, religius; soal teologi lintas agama, penghargaan perbedaan identitas, pengakuan pada realitas hakiki, apresiasi secara inklusif.
Kesadaran untuk Terlibat

Dua judul buku Greg Soetomo yang sangat berkesan yakni Pastor Katolik di UIN Syarif Hidayatullah dan Bahasa dan Kekuasaan dalam Sejarah Islam menjadi bukti dialogis dan keberanian untuk berteologi ke ranah praksis sekaligus mendorong kesadaran untuk terlibat.

Banyak orang gagal paham dalam membedakan antara prinsip umum dengan respons secara spesifik terhadap tantangan historis partikular dan konkret. Menurut Greg Soetomo, "Orang Katolik adalah peziarah. Dialog dengan mereka yang berbeda iman dan agama adalah bagian dari peziarahan lintas-kepercayaan untuk menemukan Tuhan juga."

Hidup beragama jangan hanya bicara soal surga dan neraka, tapi bagaimana membangun dunia yang hidup dengan damai dan tali kasih. Suasana "perjumpaan" harus bertransformasi menjadi interpersonal. Merayakan perbedaan dan keanekaragaman harus menjadi pemandangan dan pengalaman konkret. Pengalaman nyata memberi ruang berbagi pengalaman iman yang menggerakkan orang untuk sadar dan terlibat. Proses dialektis sekaligus dialogis.

Bagi Hegel, lewat proses dialektis, sejarah menjadi peristiwa dimana komunitas manusia yang merupakan representasi pandangan dunia dan konsepsi kehidupan bergerak menjadi semakin rasional dan sadar diri. Karena sejarah manusia berjalan seiring dengan kemajuan kesadaran untuk meraih kebebasan. Dalam hal itu perjalanan sejarah adalah perjalanan roh, idea, kesadaran, dan kebebasan.

Sejarah manusia adalah sejarah pengakuan atas harga dirinya. Aspek dialogis juga akan diwarnai oleh interaksi simbol-simbol religius dengan realitas. Agama itu selalu tumbuh dan terbentuk dalam setiap perjalanan waktu. Dimensi ini memperlihatkan keberagaman nusantara sekaligus pengalaman sosial-politik yang tersentuh oleh citarasa nilai dan simbol religius Nusantara.

Melalui dua buku tersebut, Greg Soetomo mengadopsi gagasan tasawuf sosial Hassan Hanafi. Konsep tersebut memperkuat gagasan Islam Nusantara yang berkarakter santun, ramah, dan toleran. Dalam arti hidup beragama bukan melulu sebagai praktik kemenangan ruh, melainkan tindakan partisipatif dan keterlibatan sesama umat dalam peristiwa sosial.

Hanafi ingin mengembalikan pemaknaan tasawuf ini dari vertikal ke horizontal, from upwards to downwards, dari paradigma negatif ke paradigma positif. Gagasan tasawuf sosialnya dirumuskan dalam tiga fase. Pertama, moral. Tasawuf sejak awal hanya pada aspek mengolah jiwa, kehendak, nilai-nilai, kemurnian hati, lewat berbagai latihan rohani. Sementara tantangan hari-hari ini menuntut lebih dari itu. Melampauinya adalah persoalan nyata dalam hidup sosial bersama.

Kedua, etis-psikologis. Bagaimana mendorong nilai pasif ke nilai aktif dan dari tahapan psikologis ke perjuangan sosial. Ketiga, metafisis. Soal rekonstruksi sosial yang dirumuskan dalam tiga dimensi: dari vertikal ke horisontal, dari langkah moral ke periode sejarah, dari dunia "sana" ke dunia "sini".

Sumur Nilai

Agama dalam peradaban manusia adalah "sumur nilai" tempat orang menimba kebijaksanaan, ruang untuk merajut persaudaraan, punya muatan etis bagi kebajikan bersama sebagaimana tasawuf sosial Hanafi. Hidup beragama bergeser dari seragam menjadi aneka ragam, dari satu menjadi banyak, dari kesatuan menjadi keragaman yang saling mewarnai. Wajah Tuhan menampak diri dalam nuansa keindahan beragam identitas itu.

Kiranya perjalanan spiritual melalui puasa menemukan kontekstualisasi iman beragama dari titik ini. Melalui puasa wajah lembut agama paling subtil menampakkan diri lewat personalitas setiap pribadi yang sabar, tenang, dan damai. Dalam hidup beragama yang bermartabat, puasa adalah prasyarat paling subtil yang menghargai martabat manusia.
Marz Wera researcher tinggal di Jakarta
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads