Seorang teman mengirimkan satu gambar ke grup WhatsApp kami. Sekilas terlihat seperti gambar biasa, sekantong beras dengan ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Tetapi begitu dicermati, ternyata ada doa zakat fitrah dalam bahasa Arab yang keliru, yang jika diterjemahkan berbunyi: "Saya keluarkan istri saya."
Tentu kalimat itu bukan niat yang sesungguhnya. Kita sama-sama tahu bahwa niat yang dimaksud adalah: "Saya keluarkan zakat fitrah atas nama istri saya," suatu zakat yang menjadi kewajiban bagi orang-orang yang berpuasa dan mampu. Tetapi satu kekeliruan kecil berdampak sangat besar karena telah mengubah niat muzakki.
Meskipun terdengar guyon, tapi gambar beras zakat tersebut menyadarkan kita pada dimensi-dimensi sosial yang disentuh oleh bulan Ramadan. Ibadah puasa yang secara zahir merupakan pengendalian diri dari hal-hal yang membatalkan seperti makan dan minum (bersifat transenden), rupanya memiliki konsekuensi penyerta berupa penjagaan hubungan baik antar sesama manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain zakat, ada konsekuensi sosial lain yang menjadi penyerta ibadah puasa. Umat muslim meyakini bahwa tujuan utama berpuasa adalah agar menjadi insan yang bertakwa (termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 183). Satu hal yang menarik adalah ketakwaan memiliki indikator yang cukup panjang, di antaranya yang disebutkan dalam surat Ali-Imran ayat 134 yang artinya:
Yaitu orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.
Hal ini menarik dicermati. Perintah puasa yang bertujuan meningkatkan takwa ternyata memiliki konsekuensi sosial yang masif. Pertama, sebagai orang yang ingin mencapai derajat takwa, maka mau tidak mau orang yang berpuasa harus menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit.
Jika kita mengamati fenomena puasa dari tahun ke tahun, kita akan sadar bahwa saat ini gerakan memberikan takjil gratis semakin membudaya di masyarakat. Orang berbondong-bondong mempersiapkan menu berbuka untuk dibagikan, walaupun dalam keseharian mereka belum tentu orang yang berpunya. Tetapi momen puasa menghidupi semangat filantropi sehingga mereka rela menyisihkan harta, walaupun hanya sekadar berbagi teh atau gorengan. Bahkan ada orang yang sengaja menyisihkan gajinya setiap bulan khusus untuk memberikan takjil ketika puasa.
Kedua, sebagai orang yang ingin mencapai derajat takwa, maka suka tidak suka orang yang berpuasa harus bisa menahan amarahnya. Tantangan terberat bagi orang yang berpuasa sebenarnya bukanlah menahan lapar dan dahaga, melainkan mengendalikan emosinya. Pada hari-hari ketika sambat semakin dianggap biasa, kita diminta mengendalikan diri pada bulan puasa. Nabi Muhammad bahkan meminta umatnya menyikapi gangguan-gangguan kecil yang menyulut emosi cukup dengan mengatakan: saya sedang berpuasa.
Saya yakin hal ini dipahami betul oleh orang-orang yang berpuasa karena mereka juga sadar puasanya tidak akan bernilai apa-apa jika ia mengumbar emosinya. Maka dari itu pada bulan puasa kita melihat orang-orang menjadi lebih santun. Kalaupun ada orang dengan gelagat seperti terpancing emosi, biasanya ada temannya yang mengingatkan: sabar, sedang puasa. Tanpa sadar, keduanya saling mengkondisikan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, karena di luar bulan puasa bisa jadi temannya yang justru mengompori.
Kalau Maxwell Maltz mengatakan bahwa butuh 21 hari bagi manusia untuk membentuk kebiasaan baru, maka pelatihan kesabaran dengan setting alamiah dan durasi yang lebih panjang ini semestinya juga akan membentuk karakter-karakter baru bagi para alumni bulan Ramadan.
Ketiga, sebagai orang yang ingin mencapai derajat takwa, maka orang yang berpuasa harus bisa memaafkan kesalahan orang lain. Ini adalah konsekuensi yang paling logis dari pengendalian emosi. Ketika amarah dilarang diekspresikan, maka memaafkan menjadi jalan keluar paling sehat karena menyimpannya sebagai dendam hanya akan menimbulkan gangguan fisik dan psikologis. Sedangkan memaafkan memiliki konsekuensi kebalikannya, karena dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being), menurunkan stres, dan menumbuhkan empati.
Menariknya, kita tidak hanya diminta untuk memaafkan umat dari kalangan yang satu golongan saja, melainkan umat manusia secara keseluruhan karena dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata "an-naas" yang berarti manusia. Artinya tidak ada eksklusivitas bahwa umat muslim harus dimaafkan, sedangkan yang lain boleh dimusuhi. Ini tentu tidak sesuai dengan kata Islam itu sendiri yang bermakna damai.
Dan, pemaafan selama sebulan puasa dipertegas lagi dengan tradisi bermaaf-maafan ketika Idul Fitri. Ganjalan-ganjalan yang masih bersemayam di hati akan luruh seiring tangan yang saling menjabat. Jika nilai-nilai ini diresapi, maka ketakwaan yang menjadi tujuan puasa akan menjadikan masyarakat semakin kohesif sehingga tidak ada lagi perpecahan.
Fajar Ruddin dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Simak juga 'Kurma Episode 8: Membayangkan Makanan Saat Puasa, Batal Atau Tidak?':