Upaya Defensif Melawan Penundaan Pemilu
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Upaya Defensif Melawan Penundaan Pemilu

Selasa, 28 Mar 2023 13:15 WIB
Rahmat Said
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
rahmat said
Rahmat Said (Foto: dok. pribadi)
Jakarta - In a society governed passively by free markets and free elections, organized greed always defeats disorganized democracy ~ Matt Taibbi.

Menangnya penggugat dalam gugatan yang dilayangkan oleh Partai Prima dalam perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt.Pst telah menyita atensi publik. Kontroversi putusan tersebut dapat diuraikan setidaknya ke dalam tiga poin, yaitu kewenangan mengadili, asas erga omnes, dan penundaan pemilu. Celakanya, diterimanya gugatan tersebut menggunakan tameng asas ius curia novit yang berarti hakim dianggap tahu akan undang-undang yang melahirkan konsep hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada atau tidak tahu aturan hukumnya.

Bagi orang yang awam bisa saja menerima, namun jika dilihat lebih dalam lagi dari perspektif ilmu hukum, maka ini sangat di luar nalar dan bangunan argumentasi hukum yang rapuh. Maka tulisan ini mencoba menjernihkan, menguraikan, merespons, dan mengafirmasi sekaligus menjawab tiga isu penting yang terdapat dalam putusan tersebut.

Pertama, mengenai kompetensi pengadilan, secara teoritis ada pembedaan antara kekuasaan absolut dan kekuasaan relatif. Kekuasaan absolut ini pada prinsipnya berkaitan dengan kekuasaan mutlak pengadilan dalam mengadili perkara, dalam hal ini jika ada komplain terhadap verifikasi peserta pemilu seharusnya Partai Prima mengalamatkan gugatannya pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Bawaslu. Hal ini berkaitan dengan kewenangan administratif pemilu ada pada ranah Bawaslu dan PTUN, bukan berada pada ranah Pengadilan Negeri.

Kedua, penerapan asas erga omnes, secara singkat arti dari asas ini adalah putusan harus diberlakukan secara umum dan diindahkan oleh lembaga negara. Sedangkan Pengadilan Negeri memutus sengketa privat dan putusannya juga hanya mengikat para pihak saja, oleh karena itu penyimpangan ini jelas telah terjadi dan tidak berdasar pada asas hukum, tidak berlebihan jika mempertanyakan ada apa dibalik putusan ini? Secara singkat putusan ini mengangkangi batasan-batasan dalam pemberlakuan putusan Pengadilan Negeri.

Ketiga, amar putusan yang mengharuskan menunda pemilu. Walaupun belum incrach dan masih menunggu apakah ada upaya hukum banding dari KPU, jika tidak, maka sesuai amar putusan, pemilu diperintahkan dilaksanakan pada setidaknya pada 2025. Padahal secara faktual tim Bawaslu tingkat kecamatan dan desa atau kelurahan serta perangkat pemilu lainnya telah disiapkan dengan apik demi menyambut pesta demokrasi tahun 2024 yang lagi-lagi terancam tandas.

Putusan Sakti

Berbeda dengan surat sakti, putusan sakti yang satu ini memang sengaja diformulasikan seakan-akan mengangkangi peraturan perundang-undangan yang berlaku, asas-asas hukum serta doktrin hukum yang telah lama dipegang teguh. Tak terkecuali bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang di awal semester selalu diberikan pengantar pembedaan antara hukum publik dan hukum privat.

Jika ditelisik, maka putusan Pengadilan Negeri sifatnya masuk ke dalam hukum privat; putusannya hanya mengikat para pihak dan tidak berlaku secara umum dalam artian tidak masuk ke dalam ranah hukum publik. Pun ada asas ius curia novit yang berarti hakim dianggap tahu akan hukumnya, bukan berarti hakim dalam hal ini bebas melakukan atraksi dan akrobatik putusan yang terkesan mengada-ngada.

Pernah disinggung konsep Autocratic Legalism yang dikemukakan oleh Larry Diamond dan Kim Scheppele sebagai bentuk dari kemunduran demokrasi, Jika dikaitkan dengan putusan yang sekarang ini bukan hanya kemunduran demokrasi, tetapi pemberangusan terhadap demokrasi dan pembajakan demokrasi yang dijamin dalam konstitusi. Kemunduran ini digambarkan dengan erosi yang terjadi diberbagai unsur demokrasi atau lembaga negara.

Ketika kemunduran ini terjadi pada ranah konstitusi, maka inilah yang disebut sebagai Autocratic Legalisme.

Penundaan Pemilu

Saat negara memutuskan akan melakukan penundaan terhadap pemilu, maka saat itu juga pemerintah atau negara memiliki PR yang besar, yaitu membangun argumentasi hukum yang tepat dan mengaitkan dengan kondisi riil yang ada dalam masyarakat. Mari kita lihat Pasal 7 UUD NRI 1945 menekankan bahwa pemilu dilaksanakan tiap 5 (lima) tahun sekali, pada konstitusi juga tidak mengatur sama sekali perpanjangan masa jabatan terhadap presiden.

Terkait dengan upaya penundaan pemilu rasa-rasanya tidak mungkin dilakukan kecuali terjadi keadaan darurat. Pasal 431 sampai dengan Pasal 433 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu menekankan adanya persyaratan yang perlu dipenuhi jika memang ingin menunda pelaksanaan pemilu, yaitu sebagian atau seluruh bagian di Indonesia dalam keadaan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam dan lainnya yang menyebabkan pemilu tidak dapat dilaksanakan.

Tentu berdasarkan pada Konstitusi dan peraturan perundang-undangan tidak ada satu pun celah untuk menunda pelaksanaan pemilu menggunakan instrumen Putusan Pengadilan Negeri, mengenai konsep segelintir orang yang memanfaatkan instrumen peraturan untuk mengadakan agenda degradasi demokrasi layaknya konsep Autocratic Legalism, maka perlu dilakukan upaya defensif secara masif dari berbagai elemen masyarakat.

Upaya Defensif

Secara luas upaya defensif dapat diartikan sebagai upaya untuk melindungi atau mempertahankan sesuatu. Jika disandingkan antara Putusan PN Jakpus tentang gugatan Partai Prima dan penundaan pemilu, hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia sekarang adalah melakukan upaya defensif terhadap segala macam upaya dan pembajakan terhadap pemilu.

Jika berkarier di dunia akademisi, maka hal yang penting dilakukan adalah bersama melancarkan kritikan dan bangunan argumentasi mengenai kewajiban negara dalam menyelenggarakan pemilu yang konsisten. Begitupun yang berkarier di dunia birokrasi dan politisi, mari mengambil peran penting dalam melakukan upaya defensif secara masif melakukan perlawanan terhadap upaya-upaya pembajakan terhadap pemilu yang sudah di depan mata.

Akhirnya sebelum mengangkat isu "copras capres" dan memperdebatkan dan menjagokan kandidat presiden dan wakil rakyat, mari sama-sama memastikan agar Pemilu 2024 sesuai jadwal yang telah disepakati dan ditetapkan yaitu pada 14 Februari 2024 mendatang, serta satu kata terhadap upaya pembajakan dan pengangkangan terhadap demokrasi yaitu "lawan".

Rahmat Said, S.H Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM 2022/2023, Wakil Ketua HMP UGM

(mmu/mmu)




Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads