Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua bergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.
Sindiran tersebut disampaikan oleh Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman yang hidup pada abad ke-19 (1898-1956). Saat ini kita telah memasuki abad ke-21; kesadaran akan politik masih menjadi masalah yang belum tuntas khususnya pada kalangan muda. Hal ini dibuktikan berdasarkan survei yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) untuk memotret pandangan pemuda terhadap situasi politik di Tanah Air.
Survei ini dilaksanakan pada 8 - 13 Agustus 2022 dengan melibatkan 1.200 responden yang tersebar secara proporsional di 34 provinsi. Hasilnya sangat mengejutkan; hanya 11 % responden yang tercatat ikut serta dalam partai politik atau organisasi sayap politik.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah demonstrasi yang dilakukan secara aman pada 2021 sebanyak 1.962. Jumlah tersebut menurun dibandingkan empat tahun sebelumnya, yaitu 2017, 2018, 2019, dan 2020 dengan jumlah demonstrasi aman masing-masing sebanyak 3.830, 3.235, 3.564, dan 2.626 demonstrasi. Tren penurunan ini terjadi bukan karena faktor kinerja pemerintah yang sudah maksimal, melainkan banyak yang merasa bahwa aspirasi yang disampaikan hanya sia-sia. "Lebih baik diam daripada selalu menunggu dengan sabar untuk sebuah kabar," ujar si apatis.
Hal ini tentu menjadi masalah kita bersama karena pada akhirnya kondisi berkelanjutan ini akan menyebabkan lahirnya pemimpin-pemimpin transaksional yang berkecenderungan partisipasi mereka dalam pemilihan umum sebagai calon kepala daerah, legislatif, maupun presiden dianggap sebagai sebuah investasi yang berujung pada motif transaksi aksiologis.
Kurangnya kesadaran politik pada masyarakat khususnya generasi muda bisa menjadi ancaman masa depan untuk bangsa mengingat bahwa 2024 akan ada pergeseran demografi pemilih dalam pemilihan umum (pemilu). Proporsi pemilih berusia 17 hingga 39 tahun diproyeksikan mendekati angka 60 persen. Ini artinya pemudalah yang memiliki peran besar dalam menentukan hasil dari pemilu periode mendatang.
Buta Politik
Segala sesuatu dalam kehidupan kita sangat dipengaruhi oleh kebijakan atau keputusan politik. Oleh karenanya, pengertian politik perlu diketahui oleh semua orang. Kata politik diambil dari bahasa Yunani yakni politikos yang berarti dari, untuk, atau yang seluruhnya berkaitan dengan warna negara. Secara singkat dan sederhana, politik merupakan teori, metode, atau teknik untuk mempengaruhi individu.
Politik juga dapat dikatakan sebagai tingkatan suatu kelompok atau individu yang membicarakan tentang hal-hal yang terjadi di dalam masyarakat hingga negara. Jika membicarakan mengenai politik, memang tidak akan jauh-jauh dari negara, kekuasaan, pengambilan keputusan. Padahal sebenarnya politik jauh lebih luas dari itu semua.
Meskipun sudah tidak asing lagi di telinga kita sangat disayangkan, per hari ini masih banyak dari kita yang acuh tak acuh terhadap politik bahkan tak sedikit dari kita yang beranggapan bahwa politik merupakan hal yang kotor bahkan sangat kotor. Hal ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan akan pengertian politik dan sebab yang lain, yakni perilaku buruk yang dilakukan para politisi seperti melakukan tindak korupsi demi kepentingan mereka atau kelompok mereka, melakukan suap menyuap, dan melakukan kolusi. Hal ini tentunya menimbulkan stigma buruk akan politik oleh mereka yang masih polos atau belum tahu menahu terkait politik.
Amanah Reformasi
Pada 1998 gerakan reformasi di Indonesia terjadi akibat krisis ekonomi, politik, hukum, keamanan, sosial-budaya, dan krisis kepercayaan. Gerakan ini dipelopori oleh kalangan muda khususnya mahasiswa. Tujuan reformasi menurut Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 adalah mewujudkan pembaruan di segala bidang pembangunan nasional, terutama bidang ekonomi, politik, hukum, agama serta sosial dan budaya.
Kurang lebih 25 tahun yang lalu dengan segala ketulusan hati para pemuda dari seluruh penjuru Nusantara berkumpul untuk menuntut dan menggugat pemerintah dan kekuasaan yang bernegara dan berpemerintahan secara berlebihan, menganggap negara adalah segala-galanya dan pemerintahan seolah-olah selalu benar dan tidak pernah sala. Lahirlah Reformasi 1998 yang tidak hanya melakukan perubahan rezim, tapi juga perubahan konstitusi negara.
Telah tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Yang inti dari amandemen konstitusi itu adalah bangsa Indonesia menganggap rakyat lebih penting daripada negara.
Kita bisa membayangkan Ketika para mahasiswa pada saat itu buta politik dan tidak memiliki kepekaan sosial bisa jadi per hari ini kita tidak dapat merasakan sistem demokrasi yang sebebas hari ini, tinggal bagaimana kita mengisi dan menjalankan sistem yang ada dengan sehat dan sebaik mungkin. Sebagaimana amanah dari reformasi, menghadirkan kesetaraan hukum serta mendorong masyarakat sipil yang kritis.
Telapak Tangan Pemuda
Beberapa waktu yang lalu tak sedikit gejolak yang terjadi pada masyarakat akibat dari kebijakan dan keputusan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat misalnya, pada saat pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang menuai pro dan kontra karena terdapat beberapa pasal kontroversial di dalamnya, hingga yang hangat diperbincangkan sampai hari ini yakni isu penundaan pemilu yang sudah sangat jelas melanggar konstitusi.
Ancaman terhadap demokrasi bukanlah semata karena kekuasaan, melainkan juga karena kebodohan. Maka harus ada langkah kongkret dari seluruh masyarakat khususnya pemuda dalam menyikapi persoalan-persoalan sosial. Menyambut Pemilu 2024 merupakan ikhtiar demokratis untuk memilih pemimpin serta perwakilan rakyat terbaik yang mampu memimpin bangsa mewujudkan Indonesia sebagai negeri maju, bermartabat, adil, dan makmur.
Oleh karenanya seluruh pemuda haruslah memaksimalkan partisipasinya, jangan sampai jumlah pemilih yang diproyeksikan mendekati angka 60 persen itu justru menjadi bumerang di kemudian hari akibat dari kurangnya kesadaran pada politik. Kita sebagai anak bangsa harus secara tulus menjadi bagian dari penentu masa depan bangsa. Mari kita memerdekakan diri kita, memperjuangkan nasib dan kehidupan kita sebebas-bebasnya serta seluas-luasnya membangun cita-cita dari pendiri bangsa kita.
Mari kita perjuangkan bersama. Kemunafikan harus kita hentikan; bangs ini harus berjalan diisi dengan mentalitas baru yang akan memimpin bangsa ini. Karena semakin kasar transaksi yang dilakukan pemimpin kepada rakyatnya, makan semakin kasar pemerintahan itu menzalimi rakyatnya.
Ainulyansyah Nurdin S Koordinator Isu Sosial dan Politik BEM se-Kalimantan
(mmu/mmu)