Pernyataan Kajati DKI Jakarta jelas menuai banyak kritikan dari warganet. Dari awal, kasus ini sudah menjadi perhatian publik, ditambah lagi sentimen publik terhadap keluarga Dandy yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPP). Lalu sudah tepatkah tawaran restorative justice kepada keluarga korban?
Restorative Justice sebagai Asas
Istilah restorative justice belakangan ini sering kita dengar, terutama dalam proses peradilan. Namun perlu diuraikan lebih jelas terkait apa itu restorative juctice supaya kita semua tahu secara gamblang seperti apa konsep ini.
Restorative justice merupakan suatu pendekatan peradilan yang berfokus pada kebutuhan para korban dan pelaku, serta masyarakat yang terlibat, bukan untuk semata-mata menghukum pelaku. Konsep restorative justice sebagai pengganti konsep pembalasan dan penjeraan tidak lagi memandang pidana penjara sebagai satu-satunya hukuman bagi pelanggar hukum.
John Braithwaite, Howard Zehr, dan Mark Umbreit menjadikan restorative justice sebagai upaya meniadakan hukuman untuk suatu perbuatan yang salah dengan memberikan tanggung jawab pada pelaku dan melibatkan peran serta dari para pihak yang berperkara (pelaku, korban, dan masyarakat).
Restorative justice memberi konsep adanya permintaan maaf, restitusi, dan pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan dan upaya penyembuhan serta reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat kembali dengan atau tanpa tambahan hukuman yang memberikan kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki diri. Bentuk idealnya meliputi memperbaiki, memulihkan, mendamaikan, dan mengintegrasikan kembali pelaku dan korban satu sama lain dan untuk komunitas bersama mereka.
Pendekatan restorative justice masuk dalam program prioritas nasional, sebagaimana pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 β 2024 pada program nasional ke-7 yaitu adalam rangka memperkuat stabilitas politik, hukum, pertahanan dan keamanan (polhukhankam) dan transformasi pelayanan publik. Salah satu hal yang menjadi fokus utama adalah perbaikan sistem hukum pidana dan perdata melalui strategi penerapan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Hal ini dilakukan melalui optimalisasi penggunaan regulasi yang tersedia dalam peraturan perundang-undangan yang mendukung keadilan restoratif, optimalisasi peran lembaga adat dan lembaga yang terkait dengan alternatif penyelesaian sengketa, mengedepankan upaya pemberian rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban, termasuk korban pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagai asas, restorative justice merupakan pendekatan yang lebih baik dari pada penghukuman. Pendekatan penghukuman hanya berfokus pada pembalasan kepada pelaku, tidak mempertimbangkan pemulihan korban. Namun pada tataran pelaksanaan, restorative justice sering identik dengan penghentian perkara semata. Hal ini dikarenakan seringkali aparat penegak hukum menggunakan penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif.
Penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif kadang dianggap tidak tepat dalam penggunaannya. Masih ingat salah satu kasus pemerkosaan anak berusia 15 tahun di Brebes yang berakhir dengan penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif? Tentu kita berharap kejadian ini tidak terulang kembali. Tidak semua kasus bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif.
Pemulihan Korban
Jika yang dimaksud oleh Kajati DKI Jakarta sebagai asas restorative justice tentu saya sangat setuju. Restorative justice tidak semata-mata soal penghentian perkara, namun lebih memperhatikan pemulihan korban.
Korban dalam hal ini David mengalami luka berat dan harus mendapatkan perawatan. Asas restorative justice akan memberi kesempatan kepada korban untuk mendapatkan pemulihan. Pemulihan yang dimaksud bisa berupa penggantian biaya pengobatan ataupun perawatan lanjut.
Misalkan saja tidak diterapkan asas restorative justice pada kasus ini, pelaku (Dandy) akan dipidana penjara, anggap saja 2 sampai 3 tahun, belum lagi dapat potongan remisi dan hak integrasi. Pidana penjara yang akan dijalani tidak akan selama itu. Sedangkan korban tidak mendapatkan pemulihan dalam bentuk apapun. Lantas apakah menghukum seberat-beratnya pelaku bisa dikatakan adil dan berpihak pada korban?
Untuk itu dalam kasus ini saya mendukung penerapan asas restorative justice. Lalu apakan setelah diterapkan restorative justice perkara akan dihentikan? Jawabannya tentu tidak. Perkara tetap dilanjutkan dengan pertimbangan hukuman yang setimpal. Hukuman tidak hanya berupa pidana penjara saja. Terdapat juga alternatif pidana yang bisa digunakan dalam penyelesaian perkara. Perdamaian pelaku dengan korban penting untuk pemulihan korban, bukan untuk penghentian perkara.
Kembali lagi, restorative justice merupakan sebuah pendekatan, bukan mekanisme. Selama ini baik publik ataupun aparat penegak hukum masih kurang tepat dalam memahami restorative justice. Perlu digarisbawahi bahwa menerapkannya bukan sama dengan damai dan menghentikan perkara. Asas restorative justice mengutamakan hak korban yang berorientasi pada pemulihan untuk semua.
Menurut saya masyarakat kita saat ini masih terlalu punitif. Seolah-olah permasalahan yang ada hanya bisa diselesaikan dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya. Padahal hukuman tidak akan memperbaiki sesuatu. Apakah setelah pelaku dihukum berat korban akan pulih? Apakah setelah dihukum berat pelaku akan menjadi lebih baik? Tidak.
Simak juga 'Jaksa Agung Pamer 2.103 Kasus Selesai Lewat Restorative Justice':
(mmu/mmu)