Ironi Masuk Sekolah Jam Lima Pagi

ADVERTISEMENT

Kolom

Ironi Masuk Sekolah Jam Lima Pagi

Refael Molina - detikNews
Selasa, 14 Mar 2023 10:30 WIB
Sejumlah pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) mengikuti aktivitas belajar mengajar di SMA Negeri I Kupang di Kota Kupang, NTT, Rabu (1/3/2023).  Pemerintah provinsi NTT menerapkan kebijakan aktivitas sekolah bagi SMA/SMK Negeri di NTT dimulai pukul 05.00 WITA dengan alasan untuk melatih karakter siswa/siswa SMA/SMK di NTT.  ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/aww.
Kebijakan masuk sekolah jam lima pagi di NTT (Foto: Kornelis Kaha/Antara)
Jakarta -

Pemimpin yang tidak dialogis tetapi bersikeras memaksakan keputusan – mereka tidak mengorganisir rakyat. Mereka memanipulasi, mereka tidak membebaskan atau memerdekakan: Mereka menindas. Pernyataan Paulo Freire puluhan tahun lalu dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas (1970) layak disematkan kepada Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Victor Bungtilu Laiskodat (VBL).

Betapa tidak, instruksinya kepada sejumlah sekolah agar masuk sekolah pukul 05.00 WITA. Ini sebuah sejarah pertama di Indonesia. Instruksi itu pun telah dimulai pada 28 Februari 2023 dan direncanakan diterapkan di 10 SMA/SMK/MA di Kota Kupang, di antaranya SMA Negeri 1, SMA Negeri 2, SMA Negeri 3, SMA Negeri 5, SMA Negeri 6, SMK Negeri 1, SMK Negeri 2, SMK Negeri 3 dan SMK Negeri 4.

Orang nomor satu di NTT itu ingin agar dengan sekolah mulai pukul 05.00, NTT bisa menciptakan para pelajar dan sekolah yang unggul. Bahkan Gubernur Laiskodat menginginkan satu atau dua sekolah dari daerah ini harus masuk 200 sekolah unggulan nasional.

Meski baru saja diterapkan, oleh dua sekolah pada hari pertama, jagad maya dihebohkan dengan ragam komentar bernada kontroversi. Tak sedikit warga yang kontra terhadap kebijakan itu, ketimbang yang pro. Keresahan guru dan orangtua pun beragam. Mulai dari masuk sekolah yang dianggap terlalu pagi, yang mengharuskan guru, siswa, dan orangtua harus bangun lebih awal, hingga risiko ke sekolah bagi siswa yang jauh dari sekolah.

Ini tentu saja melawan habit, bahkan kebiasaan bangun dan tidur masyarakat pada umumnya. Jika bukan dikatakan kebijakan yang menindas, ini sebuah kebijakan yang tidak dialogis, itu saja, sebagaimana ditandaskan Paulo Freire, pakar pendidikan asal Brazil di atas.

Kita tentu ingat, gaya kepemimpinan ala VBL itu –sudah menjadi rahasia umum– bukan kasar, tapi tegas. Kita juga tentu diingatkan dengan narasi-narasi out of the box. Misalnya saja, VBL pernah meminta para petani agar jangan tidur, karena banyak lahan tidur di NTT disebabkan oleh masyarakatnya yang suka tidur (malas).

Ia juga bahkan pernah meminta pemuda/pemudi khususnya lulusan para Sarjana Pertanian/Peternakan/Perikanan agar bisa masuk kebun, padang, sawah, laut, dan hutan bekerja di bawah terik matahari dan di tengah hujan atau badai sekalipun. Ini bagi saya wajar, karena disampaikan secara lisan dan sebagai bentuk motivasi. Apakah kemudian akan diikuti oleh masyarakat dan kaum muda NTT atau tidak, tentu semuanya berpulang pada orang yang mendengar. Apalagi belum ada aturan tetap yang mengikat.

Namun, untuk soal masuk sekolah jam lima pagi, memang benar-benar terjadi, karena sudah disampaikan melalui regulasi jelas --sebuah kebijakan. Ini mau tidak mau pihak sekolah dalam hal ini guru dan siswa harus ikut kalau tidak mau disebut membangkang. Hal yang sama tentu saja akan diikuti orangtua siswa, karena mereka harus meninggalkan habit lama, bangun harus lebih dulu untuk menyiapkan segala keperluan anak.

Pertanyaannya, apakah ini adalah cara terbaik yang sudah dipikirkan matang oleh gubernur terbaik kita saat ini? Apalagi, saat ini gubernur kita katanya memiliki Staf Khusus yang membidangi pendidikan. Semuanya digaji dengan nominal fantastis. Namun kebijakan-kebijakan yang keluar belakangan ini justru penuh dengan kontroversi. Apakah VBL tak mendengar pendapat staf khususnya, atau malah staf khususnya takut dengan sang gubernur. Hanya Tuhan, gubernur, dan staf khusus yang tahu.

Selain masuk sekolah pukul 05.00 WITA, publik juga diingatkan kembali soal edaran berbahasa Inggris pada setiap Rabu di seluruh NTT, kala VBL pertama kali duduk di Gedung Sasando. itu diberi nama keren "English Day". Namun, pengalaman empiris, edaran ini pun tidak berjalan mulus. Padahal, ini sangat baik jika kemudian dilakukan secara kolektif mulai dari sekolah-sekolah contoh berstandar internasional atau dinas-dinas contoh yang biasanya melakukan kerja sama luar negeri dan sebagainya.

Soal English Day, VBL pernah sebut bahwa Pulau Timor adalah pulau yang paling hebat di dunia, karena ada dua negara. Jadi, bagi saya akan tepat kalau Bahasa Inggris digalakkan, maka tentu saja Indonesia, melalui NTT, akan mulus bekerja sama dengan Timor Leste, bahkan negara tetangga lainnya, seperti Australia dan Selandia Baru. Demi memajukan pendidikan NTT, bahkan aspek lainnya untuk menyambut tahun emas Indonesia, bisa jadi generasi emas NTT, dimulai dari edaran ini. Namun, kenyataannya kita bisa saksikan sendiri. Semuanya hanya utopi belaka.

****

Lalu bagaimana dengan kabar Sophia? Minuman keras bermerek asal NTT pertama yang di-launching VBL itu? Netizen NTT, entah guyon atau serius menghubungkannya dengan English Day dan sekolah jam 5 pagi, meski masih debatable. Ada-ada saja netizen kita.

Belum habis soal Sophia, mereka juga menyinggung kelor, tanaman ajaib dunia yang dimiliki NTT itu. Meski keajaibannya baru diketahui masyarakat NTT ketika mendengar pemaparan visi-misi VBL kala tampil di sebuah TV waktu itu. Namun, jauh-jauh hari masyarakat NTT sudah jadikan ini sebagai makanan, bahkan saya anggap sudah menjadi sebuah budaya dalam urusan kuliner kita, karena kelor sudah seperti sekeping mata uang dengan makanan khas NTT lainnya --jagung, ubi, dan kacang.

Benar, kelor diangkat lagi oleh VBL, karena tingkat Indeks Pembangunan Manusia NTT masih di bawah rata-rata provinsi lain di Indonesia. Contoh kecil bisa dilihat dari kualitas lulusan SD, SMP maupun SMA, bahkan pengangguran terbuka di NTT yang terbilang masih tinggi. Belum lagi soal stunting yang masih menghantui kita di NTT. Salah satu solusi jitunya adalah konsumsi kelor.

Namun, kita kok jarang menyaksikan, setidaknya VBL itu sedang makan kelor, minimal lewat iklan-iklan di media massa, baik televisi, radio maupun media cetak dan online atau baliho di jalan-jalan utama, itu saja sudah cukup. Karena lagi-lagi, pemimpin itu, setidaknya harus memberi contoh bukan sekadar narasi bernada memaksa.

Saya juga tidak tahu, apakah untuk meningkatkan kualitas pendidikan NTT hanya dengan cara tunggal itu, ya, masuk sekolah jam lima pagi, dan tidak ada cara lain yang lebih efektif? Apakah untuk menghasilkan orang cerdas di NTT, atau bahkan di Indonesia dan seluruh dunia harus masuk sekolah jam lima pagi? Memang jam lima pagi adalah waktu yang tepat untuk belajar, tetapi soal masuk sekolah pada jam itu perlu didiskusikan, bahkan jika agak ilmiah, diteliti dan dikaji dulu. Sebab, ini adalah sebuah tesis yang mesti diuji, dikaji dalam ranah antitesis yang diharapkan akan menghasilkan sintesis, yang bisa diterima oleh semua masyarakat.

Kebijakan apapun harusnya didahului kajian matang, apakah tepat atau tidak -- apa nilai plus dan minusnya jika diimplementasikan? Itu dulu yang mesti dilakukan. Saya kira, kita bisa saja belajar jauh-jauh mencontoh gaya belajar anak-anak di negara yang pendidikannya maju, semacam Finlandia atau Amerika. Namun, saya pikir, negeri ini tidak kekurangan orang-orang dengan kecerdasan yang mumpuni, baik intelektual, sosial, emosional, dan spiritual. Entah yang tua maupun yang muda.

kita bisa belajar di negeri sendiri. Cukup kita tanya saja kepada satu orang pakar pendidikan asal Indonesia atau NTT, saya hakul yakin, dia bisa beri penjelasan bagi kita, gaya belajar disertai waktu yang tepat bagi anak-anak NTT untuk belajar. Tinggal melakukan kajian dan penelitian, hasil rekomendasinya disampaikan ke pemerintah, lalu disosialisasikan dan diterapkan.

Untuk penutup, saya mau tambahkan bahwa jam lima pagi,memang waktu yang tepat bagi pelajar kita untuk belajar, tapi tidak selamanya harus dilakukan di sekolah. Ini justru tak sejalan dengan kebijakan Kemendikbudristek saat ini, yakni Merdeka Belajar. Belajar bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja. Saat ini banyak sumber dan referensi belajar, jika bukan di sekolah ya di rumah (dengan orangtua atau keluarga), di masyarakat, di desa, museum, pasar, toko, lapangan bola atau tinggal buka internet, semuanya tersedia.

Mengapa tidak? Itu semua bisa jadi sumber belajar. Lantas, apakah jam lima di sekolah itu harus dikhususkan atau dikultuskan dengan keyakinan bahwa anak-anak NTT mudah menyaring dan menyimpan ilmu dalam pikiran mereka kelak? Sekali lagi, mari kita tanyakan kepada pakar pendidikan kita.

Jadi bagaimana pun dan apa pun kebijakannya, harus bisa mengakomodasi seluruh masukan dari pemangku kepentingan, khususnya sekolah (guru dan siswa), dan orangtua/wali. Jika tidak, maka kebijakan ini hanyalah sebuah ironi, yang dianggap tidak membereskan masalah pendidikan kita. Kata yang tepatnya adalah tidak membebaskan dan memerdekakan, tapi menindas, sebagaimana apa yang disampaikan Paulo Freire.

Refael Molina pemerhati pendidikan

Simak juga 'Surya Paloh Bela Gubernur NTT soal Aturan Masuk Sekolah Jam 05.30':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT