Rentetan bencana tahun 2018 menghentak kesadaran betapa rentannya kita terhadap hantaman bencana geologi. Banyaknya korban berjatuhan yang tak sempat menyelamatkan diri menggelitik nalar sederhana. Apakah kita tidak memiliki sistem peringatan dini yang cukup memadai? Apakah kita tidak memiliki skema literasi bahwa kita memang berada di atas lempeng tektonik yang kaya potensi bencana?
Gempa Lombok 29 Juli 2018 pada skala M6,4 adalah prolog dari untaian bencana besar. Belum usai proses rehabilitasi dan rekonstruksi, derita susulan datang mendera. 28 September 2018 Palu digoyang gempa besar dengan magnitude M7,4 yang disertai tsunami. Bukan itu saja likuifaksi menjadi penyebab tambahan derita.
Seperti untaian peran di atas pentas. Belum tuntas penanganan di Palu, Gunung Anak Krakatau mengambil alih alur cerita. Menggelontorkan sebagian badan gunungnya ke selat Sunda. Mengirim tsunami ke Lampung dan Banten.
Selain gempa, erupsi atau longsoran abu vulkanik gunung Semeru pada 2021 (dan berulang pada akhir 2022) meluluhlantakkan infrastruktur di kaki gunung tersebut. Dilanjut pada 21 November 2022 terjadi gempa bumi Cianjur, epicenter gempa yang diperkirakan dari sesar Cimandiri ternyata bergeser ke utara di luar jalur sesar. Belum lagi bencana banjir yang membayangi setiap datangnya musim penghujan.
Rentetan bencana-bencana besar tersebut, suka tidak suka, membuka mata dan kesadaran kita. Bahwa Indonesia harus lebih siap untuk menghadapi bencana.
Kerja koordinatif di bawah komando Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan keniscayaan. Lebih dari itu, literasi publik, kerjasama multi pihak, investasi sistem peringatan dini dan pengarusutamaan bencana dalam perencanaan pembangunan adalah beberapa poin utama demi transformasi Indonesia yang tangguh bencana.
Bagaimana ruang peran yang dapat diciptakan oleh kalangan kampus dalam transformasi itu?
Perguruan Tinggi Tangguh Bencana (PTTB)
Perguruan tinggi (PT) dapat memainkan peran strategi dalam dalam mitigasi bencana. Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana, mitigasi bencana didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana. Itu mencakup pembangunan fisik dan penyadaran serta peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2022 menyebutkan bahwa terdapat 125 PTN dan 2982 PTS di tanah air dengan total jumlah mahasiswa di kisaran angka tujuh juta. Ketersediaan sumber daya manusia sebesar itu yang didukung oleh pengetahuan dan ketersediaan teknologi berkait bencana merupakan potensi yang dapat memberi manfaat besar untuk mitigasi bencana di tanah air.
Sejalan dengan itu, bertepatan dengan ulang tahun BNPB tanggal 26 Januari 2019 telah dilakukan launching Perguruan Tinggi Tangguh Bencana (PTTB). Itu menempatkan PT pada keadaan yang memiliki daya untuk mengelola dan meminimalkan risiko bencana. Memperkuat kemampuan pemulihan dan beraktivitas kembali pada masyarakat terdampak bencana. Tak terkecuali asupan pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat untuk pengurangan risiko sebagai bagian dari skema gerakan membangun Indonesia yang tangguh bencana.
Jika semua PTN dan PTS dapat bertumbuh menjadi PTTB, maka tentu risiko kerugian jiwa dan material akibat bencana dapat direduksi. PTTB dapat menjadi penyumbang keselamatan aset dan sumber daya manusia akibat bencana.
Manfaat kedua dari PTTB adalah dapat menjadi hub simpul penghantar sebaran ilmu pengetahuan dan teknologi kebencanaan kepada masyarakat di sekitar PT tersebut. Bentuk tindakannya dapat berupa sosialisasi mitigasi bencana, identifikasi ancaman bencana, dan analisis risiko bencana hingga peta jalur evakuasi.
Kuliah Kerja Nyata Kebencanaan
Salah satu bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat di PT adalah kuliah kerja nyata (KKN). Universitas Sebelas Maret telah menerapkannya sebagai bagian dari tridharma perguruan tinggi. Biasanya dilaksanakan pada masa jeda semester dengan durasi empat puluh lima hari. Pada setiap desa biasanya diterjunkan sekitar sepuluh mahasiswa dengan satu dosen pembimbing lapangan (DPL).
Pembekalan materi kebencanaan tidak saja diberikan kepada mahasiswa peserta KKN. DPL dan masyarakat desa lokasi KKN pun dilibatkan dalam pembekalan tersebut. Hal itu sangat penting demi terbangun sinergi yang baik para pihak sehingga KKN Kebencanaan dapat memberikan impak dan sesuai dengan karakteristik daerah setempat.
Kegiatan KKN semacam ini dapat digunakan sebagai pilihan solusi. Memperkuat kapasitas masyarakat dalam mitigasi bencana khususnya daerah yang terkategori rawan bencana. Pendidikan kebencanaan dapat ditularkan kepada masyarakat via mahasiswa. Dengan demikian, jika terjadi bencana maka masyarakat telah memiliki wawasan, kecakapan dan kesiapan yang lebih baik.
Disamping itu, tangguhnya masyarakat dalam menghadapi bencana akan berselaras dengan program BNPB dalam membangun desa dan kelurahan tangguh bencana (Destana) seperti dimaksud dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 tahun 2012.
Gambaran di atas mempertegas peran strategis PT dalam mitigasi bencana sebagai bentuk sumbangsih kepada masyarakat. Peluang peran yang lain adalah dukungan kepada Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam hal perumusan kebijakan yang menyertakan pertimbangan bencana. Termasuk pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan. Lebih dari itu kemampuan PT untuk menghadirkan teknologi dan sistem peringatan dini merupakan sumbangan yang akan memberi impak signifikan. Koordinasi PT dengan pemangku kepentingan dapat menjadi mata rantai terwujudnya Indonesia yang tangguh bencana.
Sorja Koesuma Pusat Studi Bencana LPPM UNS
Simak juga 'Jokowi soal Sistem Penyaluran Bantuan Kebencanaan: Buat Paling Simpel!':