Perjalanan Menuju "Self Love"

ADVERTISEMENT

Kolom

Perjalanan Menuju "Self Love"

Ika Lewono - detikNews
Jumat, 03 Mar 2023 15:20 WIB
resto self love
Ilustrasi: dok. detikcom
Jakarta -

Jauh sebelum saya bisa menulis seperti yang saya lakukan sekarang ini, saya tidak pernah melihat kalimat mencintai diri sendiri lebih dari sekadar susunan kata yang banyak saya baca di novel-novel. Kalau ditanya mengapa, ya barangkali karena saya tidak pernah mengucapkan kata 'cinta' atau 'mencintai' di keseharian saya sejak kecil. Dan, sampai sekarang pun lidah saya masih sering tidak mau bekerja sama untuk mengucapkan kata 'cinta' dengan gamblang.

Mencintai diri sendiri, baru saya temui titik awalnya sekitar tiga setengah tahun yang lalu. Saat itu saya merasa ada sesuatu yang salah pada diri saya, dan juga dengan jalan hidup yang telah saya jalani selama ini. Hanya saja, saya tidak tahu apa dan juga di mana letak salahnya. Yang saya tahu, untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa saya merasa tidak bahagia.

Perasaan tidak bahagia itu kian hari kian membesar. Saya melihat diri saya sendiri menjadi orang yang mudah dikuasai oleh amarah. Dan, bukan itu saja, saya juga dipenuhi oleh rasa iri, cemburu, juga dendam, tanpa benar-benar menyadari alasan apa yang tersimpan di balik semua emosi yang saya rasakan itu.

Semua perasaan tidak menyenangkan tadi menyebabkan saya membuat banyak keputusan yang tidak tepat di segala hal. Salah satunya soal keuangan. Saya membuat diri saya jatuh dalam lingkaran utang dengan bunga tinggi. Saya berutang bukan hanya di satu tempat saja, tapi di sejumlah tempat, dan kepada beberapa orang yang berbeda. Saya menyebabkan diri saya sendiri terlibat dalam kesulitan keuangan yang tidak berkesudahan.

Lalu, apakah setelah itu saya langsung menyadari bahwa perasaan tidak bahagia dan masalah keuangan yang saya hadapi itu ada hubungannya dengan mencintai diri sendiri? Tentu saja tidak. Saat itu saya terlalu sibuk mencari pinjaman, atau 'gali lubang tutup lubang' untuk menutup utang, serta sibuk pula menyalahkan orang lain atas kesulitan yang menimpa diri saya.

Namun, entah bagaimana, saya menyadari bahwa saya harus secepatnya menemukan jalan keluar dari lingkaran ini. Mungkin kesadaran itu muncul karena saya sudah sangat kelelahan akibat terus berputar di jalan yang sama. Atau, mungkin juga hal itu muncul sebagai jawaban dari doa-doa panjang yang sering saya ucapkan dalam tangis dan marah. Ya, yang mana pun, pada intinya saya mulai mencari tahu lebih jauh apa sebenarnya yang telah terjadi pada diri saya ini.

***

"Cerita tentang uang adalah cerita tentang bagaimana kita memandang dan menghargai diri kita sendiri" - Hany Gungoro, CFA (Business and Financial Consultant).

Perjalanan saya dalam mencari jalan keluar dari kesulitan keuangan membawa telinga saya terentang lebar untuk memahami arti dari kalimat tersebut. Kalimat yang membuka mata saya, dan menjadi awal dari banyak fakta tidak menyenangkan lain yang saya temui dalam diri saya. Dua di antaranya adalah hal terbesar yang membuat saya semakin ingin menelusuri lebih jauh tentang makna dari kalimat mencintai diri sendiri.

Yang pertama, kenyataan bahwa saya memiliki low self-esteem, atau rasa rendah diri yang cukup mengkhawatirkan. Sewaktu pertama kali mendengarnya, saya masih berusaha untuk mencerna dan memahami artinya. Dengan kata lain, ada penyangkalan dari dalam diri saya yang mengatakan, masak iya sih saya termasuk orang yang rendah diri? Pikiran saya menolak mengakuinya, walaupun semua tanda-tanda yang mengarah pada low self-esteem, memang terjadi di keseharian saya selama ini.

Contohnya, saya sangat sensitif terhadap kritik apapun yang ditujukan kepada diri saya ini. Walaupun kritik yang disampaikan adalah sesuatu yang konstruktif, saya akan menanggapinya dengan sikap yang sangat defensif. Saya sangat mudah tersinggung, dan menolak untuk mendengarkan pendapat orang lain.

Belakangan, dengan pengetahuan ini, saya baru bisa melihat dengan jelas tentang mengapa saya menjadi seseorang yang pemarah seperti yang telah saya sebutkan di awal cerita ini tadi.

Tanda yang lain lagi, saya selalu melihat kemampuan orang lain lebih hebat, lebih cemerlang. Saya merasa diri saya ini tidak ada apa-apanya. Akibatnya, saya lebih sering memilih untuk menjauhi interaksi sosial karena merasa takut, dan tidak percaya diri ketika berhadapan dengan orang lain.

Saya memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menerima kenyataan, serta memahami bahwa saya memang memiliki kadar rasa rendah diri yang cukup tinggi sebagai akibat dari kurangnya rasa penghargaan dan tidak adanya rasa cinta untuk diri saya sendiri.

***

Hal terbesar kedua yang saya temukan adalah kesadaran bahwa ternyata hal pertama kali yang terlintas dalam pikiran saya ketika mendengar kata 'uang' adalah rasa takut, khawatir, dan cemas. Saya takut kekurangan uang. Saya takut tidak memiliki uang untuk membiayai kebutuhan hidup. Saya juga takut tidak memiliki cukup uang untuk membayar semua utang-utang saya itu.

Rasa takut itu timbul sebagai akibat bahwa saya tidak merasa cukup pantas untuk memiliki uang banyak. Sungguh, kenyataan itu juga termasuk hal yang masih sulit untuk saya pahami, apalagi untuk saya terima. Siapa pula yang tidak mau memiliki uang banyak bukan?

Banyak faktor yang menjadi sebab dari dua hal besar yang saya temukan tadi. Salah satu yang paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga tempat saya dibesarkan. Saya tumbuh dan dibesarkan oleh kedua orangtua yang lengkap, namun bisa dikatakan tidak cukup harmonis. Saya tidak mendapat pengetahuan tentang apa dan bagaimana bentuknya mencintai diri sendiri karena memang kedua orangtua saya juga tidak memahami, ataupun mengalaminya pada diri mereka sendiri.

Ada masanya saya menyalahkan kondisi dan situasi kedua orangtua saya itu sebagai penyebab dari semua yang terjadi pada diri saya. Namun, hal itu tidak membantu saya untuk memperbaiki diri. Justru sebaliknya, ketika saya berhenti menyalahkan orang lain, ataupun menyesali semua kejadian tidak menyenangkan yang telah terjadi, banyak hal baik yang kemudian terjadi atas diri saya.

***

Kini, setelah saya mencari tahu dan mempelajari banyak hal tentang pentingnya mencintai diri saya sendiri ini, apakah saya langsung bisa mempraktikkannya dengan mudah? Jawabannya, tidak.

Saya telah begitu lama percaya bahwa diri saya kurang berharga, kurang pantas, kurang layak. Dan, untuk membalikkan kepercayaan itu pada kenyataan yang sebaliknya, perlu usaha yang dilakukan terus-menerus dan tidak dalam waktu yang sebentar.

Sampai hari ini saya masih terus mempraktikkan berbagai cara untuk lebih menyayangi dan mencintai diri saya sendiri. Salah satunya adalah dengan menuliskan cerita tentang diri saya seperti yang sedang saya lakukan sekarang ini.

Di luar sana, banyak pendapat yang mengatakan bahwa mencintai diri sendiri itu egois. Suatu pandangan yang, percaya atau tidak, memang menjadi stereotip umum, dan ditanamkan turun-temurun pada sebagian orang. Barangkali, tanpa disadari, saya termasuk salah satu orang yang percaya akan pandangan tersebut, sebagai akibat dari pemahaman yang telah tertanam sedari kecil dulu.

Lalu, benarkah mencintai diri sendiri itu sama dengan egois? Well, saya bukanlah ahli yang memiliki kompetensi untuk menjawab pertanyaan itu. Namun, ada pemahaman baru yang saya dapatkan dari perjalanan saya sejauh ini. Yaitu, jika saya tidak mencintai diri saya sendiri terlebih dahulu, bagaimana saya bisa mengerti caranya mencintai orang lain? Dan, jika diri saya sendiri tidak dipenuhi oleh rasa cinta, akankah ada rasa cinta yang cukup untuk diberikan kepada orang lain?

Ketika saya tidak memberikan rasa cinta untuk diri saya sendiri, itulah artinya egois. Dan, saya telah bersikap egois terhadap diri saya sendiri untuk waktu yang cukup lama.

Ika Lewono sehari-hari mengurus rumah tangga, berkebun, menulis, freelance property agent; tinggal di Jakarta

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT