Candu Stoik: Antara Cita dan Problematika

ADVERTISEMENT

Kolom

Candu Stoik: Antara Cita dan Problematika

Ilyas Syatori - detikNews
Jumat, 03 Mar 2023 14:00 WIB
ilustrasi wanita baca buku
Ilustrasi: thinkstock
Jakarta -

Di umur dunia yang semakin senja dengan beragam problematika dan krisis yang kian hari kian tak terprediksi, tersebutlah generasi yang gamang akan dirinya sendiri baik secara individual maupun sosio-kultural. Mereka terhimpit beragam cita-cita kemapanan (pasar) yang meniscayakan munculnya residu yang tak sederhana. Generasi muda hari ini yang memang sedang dihimpit krisis, namun penuh romantisasi (optimis?) dibanding pendahulunya yang telah kehabisan akal dengan cita-citanya sendiri.

Himpitan-himpitan inilah yang dalam waktu belakangan ini memunculkan narasi besar kerinduan anak muda kepada sesuatu yang esensial dan lebih kekal yang sebelumnya dipenuhi dengan pilihan-pilihan artifisial dan temporer belaka. Sebut saja kerinduan mereka terhadap sesuatu yang esensial dengan ramainya perbincangan mengenai filsafat Stoikisme.

Kajian filsafat Stoik menjadi populer di kalangan anak muda; buku-buku dengan tema ini menjadi best-seller, dan perbincangan-perbincangan di warung kopi tak ketinggalan pula dengan tema ini. Bahkan muncul istilah populer dan unik di kalangan anak muda bahwa tanda menjadi anak hype adalah ketika ke warung kopi sambil menenteng salah satu buku paling populer tentang Stoik (baca: Filosofi Teras).

Secara teori memang sebenarnya filsafat Stoik tak menuntut penalaran yang berat seperti filsafat pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh filsafatnya lebih mengarah kepada sisi praksis daripada penalaran yang ketat. Dalam konteks tertentu, filsafat Stoik mirip dengan filsafat Sufisme Timur.

Secara sederhana filsafat Stoik mengajarkan manusia untuk lebih objektif memandang segala hal yang terjadi dalam hidup. Objektifikasi ini mengarahkan pada pola penalaran sederhana bahwa segala hal yang terjadi adalah netral untuk selanjutnya dipilah berdasar variabelnya apakah berada dalam kuasa atau sebaliknya. Siklus penalaran ini diyakini oleh filsafat Stoik sebagai cara memperoleh kebahagiaan dalam kondisi apapun.

Lantas, tren di kalangan anak muda semacam ini layakkah untuk diapresiasi atau bahkan dirayakan? Mengingat Indonesia sangat jarang sekali terjadi sebuah tren berbasis literasi kecuali dulu kala ketika para founding father kita masih muda.

Bukan Sekadar Problem Individual

Zizek dan Chekhov sangat keras mengkritik kembali munculnya sikap ignorant anak muda yang diromantisasi dengan embel-embel "kembali ke spiritualitas, kembali ke diri" (Stoik) yang kini menggejala di Indonesia terlebih di kalangan menengah kota.

Stoik menurut Chekhov adalah ajaran yang tidak praktis dan tidak wajar sebab hanya mengajarkan kita untuk mengabaikan realitas dinamika hidup yang niscaya seperti kaya-miskin, sakit-sehat, susah-bahagia, dan sebagainya. Menuju suatu idealisme khas kelas mapan. Masa bodoh ketika kita sehat ternyata ongkosnya begitu mahal, atau ketika bahagia harus masuk sirkuit pasar kapitalisme yang selain tak murah juga destruktif.

Dengan sinis Zizek dalam On Believe mengatakan bahwa kecenderungan orang untuk kontemplasi-introspeksi diri tak akan mengubah dominasi kapitalisme atas dunia ini. Artinya, dominasi hegemoni kuasa-pasar tetap berlanjut bahkan sampai dunia hancur lebur sebab ulah kapitalisme. Justru akan menjadi celah kapitalisme untuk semakin menghegemoni.

Absurditas ini terletak pada sisi internal seorang muda yang merindukan ketenangan dengan mengabaikan sisi kritikal dalam hidup yang kompleks. Bagaimana mungkin ia menjadi tenang hanya dengan memilah mana yang perlu ia perhatikan dan ia abaikan di dalam pikirannya --seperti ajakan Stoik?

Dalam ajaran Stoik kita juga diajak menerima segala hal yang berada di luar batas kendali kita. Di sini memang tidaklah masalah, bukan? Menjadi masalah jika implementasi pemilihan skala prioritas dikembalikan lagi kepada para individu yang sudah kadung dihegemoni kuasa pasar, persaingan artifisial, dan burn out oleh kerja yang tak manusiawi. Dan, kaum muda jelas mengalami ini.

Kita sangat mudah menemui anak muda yang, sekali lagi dengan dalih agar menjadi tenang sebab menjadi Stoik, tutup kuping dan mulut terhadap problematika aktual yang bahkan mereka sendiri hadapi.

Dengan dalih ini pula ia menjadi seperti yang diharapkan oleh agenda kapital agar tetap bugar ketika bekerja untuk kemudian pada akhir pekan meluangkan waktunya berkeliling pusat perbelanjaan atau staycation ke hotel, jelas dengan bujet yang pas-pasan sebab gaji hanya mentok UMR walau kerja setengah mati.

Baiklah, jika contoh terlalu jauh dari sirkel kita, bagaimana dengan anak muda yang hanya bermain game, nonton anime, dan kegiatan menyenangkan lainnya sebagai upaya meredakan tekanan hidup? Keadaan ini akan diulang terus-menerus oleh mereka.

Lebih lanjut tentang ide Stoik yang mengajak kita untuk "menerima hal yang berada di luar kendali kita" memang terlihat dramatis dan moralis sekali sebab kecenderungan manusia memang fatalis-nihilis. Namun lagi-lagi rusak implementasinya jika hanya dilihat dalam kerangka pribadi yang berubah menjadi "ignorant bastard" terhadap problematika sekelilingnya.

Kita mudah sekali mendapati jawaban "itu bukan atas kendaliku, biarkan 'atasan' saja yang menyelesaikan" ketika kaum muda ditanya perihal konservasi alam atau pendidikan yang tak mencerdaskan, misal.

Memang secara historis ide tentang Stoik ini muncul dari kalangan priyayi-feodal Eropa kala itu yang hidup sudah kadung enak dan banyak dipraktikkan oleh raja-raja. Artinya, secara historis ide Stoik ini memang problematis sebab muncul dari arogansi individualitas kebangsawanan terhadap problematika dunia. Oleh karenanya dalam fenomena hari ini model pemikiran Stoik lebih kompatibel dengan kelas menengah urban.

Tentu esensi dari ajaran ini sedikit-banyak mengeliminasi upaya menuju kesadaran kolektif (solidaritas) atau struktural menjadi seolah-olah setiap problematika yang ada adalah beban individu semata. Sebagai penutup, saya mengutip motivasi sebagai jawab atas keruwetan hari ini. "Tidak akan berubah nasib suatu kaum (muda) kecuali kapitalisme memberinya modal untuk membuat start up." Sudah, itu saja! Dan, mustahil!

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT