Uslu (2020) dalam studinya melaporkan bahwa kualitas karya ilmiah berkontribusi 73,71% pada peringkat PT. Tentunya kemanfaatan bagi masyarakat akademik (sitasi), industri (paten) dan umum (kebijakan publik, literasi publik) merupakan tujuan dari publikasi tersebut. Kuantitas publikasi idealnya seiring dengan kualitasnya, sehingga kemanfaatannya sesuai dengan yang diharapkan. Inilah tantangan terbesar bagi pengambil kebijakan, pimpinan PT, maupun peneliti di Indonesia.
Capaian Publikasi
Dalam 7 tahun terakhir, perkembangan publikasi ilmiah Indonesia membanggakan. Meskipun dana riset relatif kecil dibandingkan negara jiran, namun dari segi kuantitas per tahun mengalahkan Malaysia sejak 2018. Pada 2012 jumlahnya hanya seperlima dari Malaysia, namun pada 2020 mencapai 131%.
Terkait kualitas, secara umum Singapura memiliki proporsi publikasi terbaik di ASEAN. Dalam 10 tahun terakhir, publikasi berkualitas (Q1 - ranking jurnal di atas 75%) yang dihasilkan mencapai 67,38%. Sedangkan publikasi pada jurnal kategori Q4 hanya 3,85%. Proporsi Malaysia relatif berimbang, dengan dominasi Q1 sebesar 31,74%, adapun Q4-nya sebesar 23,12%.
Menariknya, Indonesia memiliki proporsi terbalik. Jika pada 2012 publikasi pada Q1 mencapai 37,07% dan Q4 hanya 19,88%, maka pada 2021 hampir separuh publikasi Indonesia berada pada jurnal Q4, adapun Q1-nya hanya seperenamnya. Tidaklah mengherankan, mengingat hampir separuh publikasi yang dihasilkan Indonesia berupa prosiding seminar (47,47%).
Kondisi ini menunjukkan bahwa karya ilmiah peneliti Indonesia sebagian besar tidak melewati proses review and revise (R&R) yang lebih ketat sebagaimana di jurnal ilmiah. Kemanfaatan bagi masyarakat tentunya lebih rendah, karena kurangnya rigorousity menyebabkan keengganan untuk mengacunya. Selain prosiding, sebagian karya ilmiah Indonesia terpublikasikan pada questionable journals
Questionable Journals
Peneliti dapat mempublikasikan hasil risetnya (karya ilmiah) pada dua jenis jurnal ilmiah: subscription-based (SB) dan open access (OA). SB meminta pengguna (pembaca) untuk membayar, dan dibayarkan oleh perpustakaan, pemerintah, institusi pendidikan tinggi, maupun peneliti secara mandiri. Kondisi ini membatasi pembaca hanya pada anggota organisasi yang telah melanggan jurnal tersebut.
Sebaliknya, OA memungkinkan semua orang atau institusi untuk membacanya secara gratis. Konsekuensinya, peneliti dan sponsornya akan menanggung biaya produksi (article processing charge - APC) dari artikel yang dipublikasikan jurnal tersebut.
Awalnya, OA memiliki misi mulia untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat dengan meningkatkan literasi melalui dengan gerakan give back to society. Misi mulia ini dalam satu dekade terakhir mulai tercemar dengan masifnya OA journals yang bermotif uang. Questionable journals (QJ) dan questionable publishers (QP) masuk di kalangan akademis menyediakan layanan untuk menerbitkan karya ilmiah dengan proses yang cepat dan tidak ketat.
Sebutan populer lainnya adalah predatory journals dan predatory publisers. Sepanjang APC dibayar, maka karya ilmiah dengan kualitas rendah (dan dipertanyakan) akan bisa dipublikasikan. Hal ini terjadi dengan mengeksploitasi sistem yang telah ada, khususnya indeksasi pada database tertentu, seperti Scopus atau Web of Science. Kedua database ini digunakan oleh lembaga pemeringkatan PT dunia, baik Academic Ranking World University (ARWU), Times Higher Education World University Ranking (THE WUR), dan QS WUR.
Maraknya karya ilmiah dengan kualitas yang dipertanyakan pada QJ menjadikan misi give back to the society makin pudar. Sebagai ilustrasi, karya ilmiah pada QJ merekomendasikan obat herbal untuk pengobatan kanker. Namun kurangnya screening dari proses R&R dan metode penelitian belum terverifikasi secara benar, menjadikan masyarakat yang menggunakan rekomendasi tersebut tidak mendapatkan manfaat yang diharapkan. Atau metode baru pembangunan jembatan tidak di-review dan diverifikasi oleh minimal dua ahli secara blind review, dimungkinkan metode baru tersebut akan membahayakan di masa datang.
Dari 10 PT terbaik di Indonesia, keberadaan karya ilmiah yang dipublikasikan patut menjadi keprihatinan. Dari 10 jurnal kontributor terbanyak pada masing-masing PT tersebut, 1-6 jurnal teridentifikasi QJ yang telah dikeluarkan dari database Scopus. Adapun dari total publikasi masing-masing PT, antara 2-18% publikasi karya ilmiahnya pada QJ. Proporsi ini cenderung meningkat untuk PT Indonesia di bawah Top 10.
Rekomendasi
Lee (2019) mensyaratkan sebuah negara bisa maju jika pendidikan tingginya berkualitas dan kapabilitas inovasinya berkelas dunia. Keduanya membutuhkan riset yang berkualitas sehingga inovasi yang dihasilkan akan bernilai tambah tinggi. Nilai tambah tinggi inilah yang menumbuhkan perekonomian dan memfasilitasi Indonesia keluar dari middle income trap.
Perlu langkah yang terstruktur, sistematis, dan masif agar karya ilmiah yang dihasilkan peneliti Indonesia terpublikasi pada jurnal yang bermartabat. Meskipun godaan pragmatisme senantiasa ada, namun martabat diri pribadi, institusi, maupun negara menjadi taruhannya. Dan tentunya riset yang bermanfaat berupa teknologi atau kebijakan yang menjadikan semua lini kehidupan bangsa menjadi lebih efektif, efisien, dan berdaya saing. Daya saing yang mampu meningkatkan kapabilitas inovasi bangsa menuju Indonesia Maju 2045.
Badri Munir Sukoco Guru Besar Manajemen Strategi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
(mmu/mmu)